Share

Empat

Seperti kesepakatan mereka, hari ini Naya akan tinggal bersama dengan Dewa di rumahnya. Hanya berdua. Membayangkannya saja sudah membuat Naya merinding.

Saat pertama kali dirinya masuk ke rumah Dewa, yang Naya rasakan adalah kosong. Rumah ini tidak ada foto-foto sama sekali bahkan hiasan pun hanya seadanya.

‘Rumahnya sedingin pemiliknya ternyata,’ batin Naya.

Sampai detik ini, Naya masih penasaran kenapa Dewa bercerai dengan mantan istrinya. Yang dirinya tau mantan istrinya itu sangat cantik, tinggi dan seorang dokter.

‘Apa mungkin Dewa menduda selama ini karena belum bisa move on dari mantan istrinya itu? Apalagi mantan istrinya itu masih sering menemui dia di kantor.’

"Ini kamar kita."

Naya seketika tersadar dari pikirannya, dan mengangguk. Ia mengikuti Dewa yang sudah lebih dulu masuk.

"Saya ke ruang kerja sebentar," ujarnya membuat Naya menoleh, kemudian mengangguk.

Setelah suaminya keluar Naya kembali melihat-lihat kamar. Sama seperti bagian ruang tamu tadi, kamar ini pun tampak simpel dengan dominasi warna putih dan abu-abu. Namun, Naya bisa merasakan kenyamanan di sini.

Ia menarik kopernya dan membuka lemari. Lemari ini terdapat dua sisi. Sisi sebelah kanan terlihat ada pakaian Dewa yang tertata rapi. Mayoritas warna baju Dewa hanyalah hitam dan putih.

"Buta warna apa tuh orang?" cibir Naya.

Sedangkan di sisi lain lemari itu masih kosong, mungkin Dewa sengaja mengosongkannya untuk Naya. Segera setelah membuka pintu itu lebar-lebar, Naya pun membongkar kopernya. Satu per satu pakaian ia susun di lemari. 

Setelah selesai, Naya pergi ke kamar mandi, membersihkan diri, lalu kembali ke kamar. Dia mengecek isi kopernya lagi, mencari suatu benda sambil masih memakai handuk kimononya. Sampai akhirnya, ia merasa suatu benda penting tidak ada di sana.

“Sial!” Naya mengumpat kesal.

Kenapa di saat-saat genting seperti ini, ia malah meninggalkan benda keramat itu?

"Masa gue harus minta tolong sama Pak Dewa?" tanyanya pada diri sendiri.

Naya mondar-mandir sambil mengobrak-abrik barang bawaannya untuk mencari barang paling penting itu. Barangkali ia salah menaruh. Namun, diperiksa beberapa kali pun, ia tetap tidak menemukannya.

"Kamu kena–"

“AHH!”

Naya refleks berteriak sambil memeluk tubuhnya sendiri. Ia tidak menyangka kalau Dewa masuk tiba-tiba ke kamar, dalam keadaan dirinya masih memakai handuk kimono.

Dewa berdeham, lalu berbalik badan menghadap pintu. “Apa yang kamu cari?” tanyanya kemudian.

"I-itu, Pak–"

"Saya bukan bapak kamu."

"Yang bilang bapak itu bapak saya siapa?" Naya menyahut pelan, tapi buru-buru kembali tersadar tujuan awalnya karena jika dibiarkan terlalu lama akan semakin gawat.

"Boleh minta tolong ngga, Pak?"

Dewa sama sekali tidak berbalik, tapi masih setia di depan pintu. "Apa?"

"Minta tolong beliin… pembalut….”

Dewa refleks menoleh, tapi begitu melihat Naya masih dalam keadaan sama, ia berbalik badan lagi. Dari arah belakang sini, Naya bisa melihat betapa paniknya laki-laki 32 tahun itu.

Naya pun sebenarnya malu. Namun, ia tidak punya pilihan lain.

"Saya mohon, Pak…," mohon Naya."Kalau ngga, anterin saya ya, Pak."

Naya sendiri rasanya tak yakin, karena perutnya semakin nyeri sekarang. Naya belum tau minimarket terdekat dari rumahnya ini, jadi mau tidak mau harus meminta tolong ke Dewa. 

Naya meringis merasakan nyeri haid yang sangat sakit. Setiap datang bulan, Naya memang selalu merasakan nyeri haid yang sangat luar biasa. Bahkan Naya pernah pingsan hanya karena nyeri haid.

"Tunggu sebentar."

Dewa berbalik sejenak untuk mengambil kunci mobilnya di nakas. Setelah itu, ia pergi keluar. 

Lima belas menit kemudian, Dewa datang membawa kantong plastik berwarna putih itu. Ia mengulurkan ke Naya yang sudah berpakaian lengkap.

"Kok banyak?" tanya Naya melihat beberapa bungkus pembalut.

"Buat stock, biar ngga nyusahin saya," jawab Dewa.

Naya berdecak kesal, laki-laki di depannya ini sepertinya tidak tau kalau wanita sedang datang bulan suasana hatinya tidak baik. Seketika, mood Naya menjadi buruk. 

Naya akhirnya masuk kembali ke kamar mandi untuk memakai pembalut. Ia dengan sekuat tenaga menahan nyeri haidnya, tanpa memperdulikan Dewa.

"Sakitt banget…." ritih Naya tanpa sadar sambil memegang perutnya, ketika keluar dari kamar mandi.

"Sini." ucap Dewa menepuk kasur sebelahnya.

Naya menatap Dewa yang sudah duduk di atas kasur dengan tatapan penuh tanda tanya. Namun, melihat tatapan Dewa seolah tidak mau dirinya bantah, akhirnya menuruti Dewa dan merangkak menaiki ranjang.

Ia membaringkan badannya di sana. Nyeri yang teramat sakit itu membuat Naya relfeks meringkuk, berharap rasa nyerinya hilang.

"Luruskan kaki kamu, Kanaya." Dewa yang berusaha mengubah posisi Naya yang meringkuk menjadi berbaring terlentang.

"Bapak…." lirihnya saat menyadari tangan besar Dewa menyentuh perutnya.

Dewa tidak berkata apapun, begitu juga Naya yang seketika diam dengan elusan tangan besar suaminya. Rasanya hangat, sehingga mengurangi rasa nyeri di perutnya.

Memang, awalnya Naya sangat terkejut, sampai menengang. Namun lama-lama, tubuh Naya jadi tenang. 

‘Pak Dewa berpengalaman banget ya urusin orang haid? Pasti dia juga begitu ke mantan istrinya….’

***

Naya terbangun ketika merasakan ada beban berat di atas perutnya. Ketika ia membuka mata, ia melihat lengan Dewa yang melingkar di atas perutnya.

Mengingat perlakuan Dewa semalam, membuat pipi Naya memanas. Dewa ternyata tidak sedingin itu. Ia cukup perhatian, juga bisa merawatnya ketika sakit.

Naya melepaskan lengan Dewa di atas perutnya secara perlahan, dan mengantinya dengan guling. Ia pun masuk ke kamar mandi setelahnya. Dewa masih tidur ketika Naya selesai, oleh sebab itu ia pun langsung turun ke bawah untuk menyiapkan sarapan.

Naya memilih memasak nasi goreng dengan telur mata sapi. Baru saja Naya selesai menggoreng telur, Dewa sudah turun dengan pakaian kerjanya. Kemeja putih itu tampak licin dan pas di tubuhnya. Naya sampai terpaku kalau saja tidak mencium bau gosong dari wajan.

"S-sarapan dulu, Pak," ajak Naya.

Naya mengambilkan suaminya nasi goreng, tidak lupa dengan telur mata sapi yang tidak gosong di atasnya. Ia juga menuangkan air minum untuk Dewa.

Tindakannya itu mendapatkan tatapan aneh dari Dewa. Jadi, buru-buru Naya membela diri.

"I-ini sebagai tanda terima kasih saya kok, Pak! " ujarnya mengantisipasi. “Bapak udah ngerawat saya semalaman.”

"Itu sudah kewajiban saya sebagai suami kamu," jawab Dewa lalu menyuap nasi gorengnya.

Naya terdiam, seolah ditampar dengan kalimat itu. Bahkan Naya masih tidak menyangka jika dirinya sudah memiliki suami. Dan masih tidak percaya bahwa mantan atasannya sekarang menjadi suaminya.

Naya berdeham, mengurangi rasa canggung. “Pasti Bapak berpengalaman kan ngerawat cewek lagi haid?”

Lalu, Naya ingin menampar mulutnya sendiri. Kenapa dia menanyakan hal aneh ini?

“Ngga, kemarin itu pertama kalinya,” jawab Dewa singkat. “Saya ngga pernah tau cewek sakit haid gimana.”

Rasa panas langsung memenuhi pipi Naya. Bahkan jantungnya juga berdebar tidak karuan. Tangannya yang sedang menggenggam sendok terasa lemas. Rasanya, ia ingin meleleh di atas kursi itu.

"Ini buat kamu belanja.”

Tiba-tiba saja sebuah kartu berwarna gold muncul di hadapan Naya..

"Buat saya?" tanya Naya.

"Iya, untuk kebutuhan kamu, dan rumah." 

Naya menatap kartu itu cukup lama. Dirinya memang lahir dari keluarga berkecukupan, tapi ini pertama kalinya melihat kartu berwarna emas. Kira-kira, berapa banyak uang yang disimpan di sini, ya?

“Saya sudah selesai.” Dewa bangun, lalu membereskan piringnya. “Biar saya yang cuci piring.”

“Eh, Pak. ngga–”

Tapi terlambat, Dewa sudah berdiri di wastafel dan mencuci piring bekas makannya, juga penggorengan tadi. Merasa tidak enak, Naya buru-buru menghabiskan sarapannya, dan bergabung dengan Dewa.

"Bapak ngga ada alergi makanan?" tanya Naya berbasa-basi.

"Kacang."

"Itu aja?" tanya Naya memastikan.

"Hm.”

"Rencananya, saya mau belanja, dan membeli beberapa kebutuhan rumah. Ngga papa kan, Pak?" tanya Naya takut melakukan kesalahan.

“Uang di kartu itu sudah jadi hak kamu,” ujar Dewa sambil mengeringkan tangannya. “Pakai aja sesuai kebutuhan.”

Naya mengangguk, lalu mengikuti Dewa yang kembali ke meja makan untuk mengambil tasnya. Namun, tiba-tiba saja laki-laki itu berbalik, sehingga Naya hampir menabrak punggungnya.

"Mulai sekarang. Jangan panggil saya bapak lagi, karena saya bukan bapak kamu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status