Share

Tujuh

Hari ini, Naya memilih jalan-jalan ke mall tentu saja untuk refreshing. Beberapa hari ini Naya memang mendiamkan Dewa entah dirinya masih enggan untuk menatap dan berbicara dengan suaminya itu.

Sebenarnya apa mau suaminya itu?

Menikah dengan Dewa memang bukan keinginannya, bahkan belum ada dua minggu pernikahan selalu saja ada hal yang membuat mereka bertengkar. Naya tau seperti apa seorang Dewa, awalnya Naya berpikir menikah dengan Dewa bukanlah hal yang susah karena yang Naya tau laki-laki itu terlalu sibuk dengan pekerjaanya.

“Gimana rasanya menikah? Bahagia?” tanya Citra sembari bertopang dagu.

Saat ini mereka ada di salah satu restoran jepang yang menjadi tempat mereka bertemu sekaligus makan siang.

Naya menghela nafas. “Capek tau, Cit.” lirih Naya.

“Capek?”

“Dia semakin nuntut gue untuk menerima dia, tapi dia sendiri seolah acuh sama gue!”

“Pelan-pelan aja. Lo kan baru tau pak Dewa aslinya gimana, karena dulu kalian kenal hanya sebatas bos dan karyawan kan. Jadi ya harus saling menyesuaikan dulu.”

Naya mengangguk. Karena benar awal pernikahan memang baru penjajakan dulu, apalagi dirinya juga belum mencintai Dewa.

“Mendingan lo kerja lagi,” usul Citra.

‘Benar, kenapa gue nggak kepikiran buat kerja lagi aja’ serunya dalam hati.

“Kenapa, lo senyum-senyum.”

“Kenapa gue nggak kepikiran buat kerja lagi ya, padahal kalau gue kerja pikiran gue pasti nggak akan stuck di pernikahan ini aja, dan gue sekarang tau bosennya jadi pengangguran,” ujar Naya terkekeh.

“Tapi bilang izin dulu sama suami.” peringat Citra membuat Naya cemberut.

“Gini ya, susahnya kalau udah ada suami, mau apa-apa kudu ijin dulu sama suami,”

“Iyalah, karena lo sekarang milik pak Dewa bukan orang tua lo lagi. Jadi ya harus ijin sama suami lo.”

Mendengar respon Citra membuatnya berdecak.

“Nay, gue tau lo masih pengen bebas kaya dulu. Tapi lo udah milih buat menikah jadi ya lo harus siap juga konsekuensinya.”

Walaupun dirinya kesal, namun yang di katakan sahabatnya itu benar.

-

Citra sudah kembali ke kantor, wanita itu masih tinggal di cafe tempat dimana mereka bertemu. Lagi pulang jika dirinya pulang juga malas karena hanya keheningan dan kesepian yang akan Naya dapatkan di sana.

Dewa juga pasti masih bergelut dengan berbagai berkas, laporan dan lain sebagainya. Daripada dirinya di rumah sendirian, lebih baik dirinya tetap disini setidaknya bisa melihat orang-orang berlalu lalang. Naya memandang orang-orang di sekelilingnya, ada yang sedang berpacaran, lunch bareng keluarga namun dirinya sendirian di tempat seramai ini.

Naya melihat seseorang yang berjalan ke arahnya.

Bukankah itu?

Ya, dia mantan istrinya Dewa.

Naya ingat dengan wajah itu, karena sering bolak-balik ke kantor untuk menemui Dewa. Dan dua minggu lalu wanita itu juga datang ke pernikahan menjadi tamu tak diundang dan membuat moodnya berantakan.

Melihat wanita itu semakin mendekat dengan rambut sebahu berwarna pirang, wajah yang memiliki kulit putih dengan make up yang selalu cetar, dengan tatapan mata yang tajam dan bibir yang pink membuatnya terlihat sangat cantik.

Naya yang wanita saja merasa iri melihat wanita di depannya itu, dan hingga sekarang dirinya masih penasaran alasan mereka bercerai.

“Dewa mana?”

Mantan istri Dewa itu duduk di depannya dan mata yang menatap Naya tajam.

“Dewa pasti lebih mentingin kerjaan daripada kamu!” ujarnya tersenyum miring.

Naya diam malas untuk menanggapi, namun wanita itu kembali menghitung jari tangannya dan tertawa. “Ini baru minggu kedua pernikahan kalian kan? Nggak diajak honeymoon?” tanyanya mengejek.

“Bukan urusan anda…”

“Dulu waktu Dewa menikah sama saya, dia sering ngajak honeymoon bahkan setiap weekend.” potongnya.

Seketika membuat Naya mengepalkan satu tangannya di bawah meja. “Lalu kenapa mas Dewa bisa menceraikan anda! Dan memilih saya?”

Setelah mengatakan itu, Naya segera merapikan tasnya kemudian berdiri meninggalkan wanita itu.

‘Kenapa harus ketemu nenek lampir sih, ahh!’

**

Walaupun dirinya sedang marah dengan sang suami, Naya tetap menyiapkan makan malam untuk suaminya. Walaupun dirinya memilih menyingkir tidak menemani Dewa makan malam dan memilih membaringkan badannya di sofa ruang keluarga, karena masih enggan bertemu dengan suaminya.

“Kanaya.”

Naya diam tidak berniat untuk menjawab ataupun menatap suaminya.

“Tidur di kamar,” perintahnya Dewa.

Sebenernya Naya sudah melupakan pertengkaran mereka kemaren malam, namun pertemuan dengan mantan istri Dewa tadi membuatnya kesal.

Naya memejamkan matanya mengabaikan Dewa, hingga Naya merasakan tangan Dewa menyentuhnya pelan, segera Naya menepisnya.

Bahkan Naya mendengar suaminya menghela nafas.

‘Nyesel kan lo, Nikah sama gue!’

“Saya kekamar duluan,”

Naya diam, membiarkan Dewa meninggalkannya.

**

Naya terbangun sudah ada di kamar, seingatnya dirinya tidur di sofa lalu kenapa dirinya bisa ada di sini ?

'Masa dia mindahin gue?' wajah bingung Naya seketika berubah terkejut karena melihat Dewa yang baru masuk kedalam kamar dengan wajah penuh keringat.

"Saya atau kamu dulu yang mandi?" tanyanya.

"Bapak saja. Saya mau buat sarapan," katanya kemudian berjalan keluar kamar melewati Dewa.

Naya mulai menyiapkan bahan-bahan untuk membuat pancake untuk sarapan mereka berdua, walaupun sedang marah namun Naya tetap melayani Dewa dengan baik.

Setelah selesai menyiapkan makanan di meja makan, pandangan Naya melihat Dewa yang berjalan ke arahnya. Pria itu sudah mengenakan kemeja kerjanya dengan dasi yang menggantung di kerah kemejanya.

"Tolong pakaikan saya dasi."

Naya menatap laki-laki di depannya ini dengan datar, sejak kapan pria di depannya ini memintanya memakai dasi ?

"Punya tangan kan?" tanya Naya malas.

"Saya minta tolong, Kanaya."

Naya menghela nafas, kemudian mendekat kearah suaminya dan menatap suaminya tajam, "Nunduk dikit," karena suaminya itu kelewat tinggi membuat Naya sedikit kesusahan saat hendak menyimpulkan dasi suaminya.

"Terimakasih,"

Naya mengangguk samar, kemudian kembali duduk di meja makan dan mengambilkan pancake untuk Dewa.

"Saya mau kerja lagi," entah keberanian dari mana Naya mengungkapkan isi hatinya, setelah berpikir semalaman.

"Di kantor?" tanya Dewa.

Naya menggeleng tentu kantor bukan pilihan terbaik untuknya, karena akan kembali menjadi pesuruh suaminya itu.

"Dimana?"

"Di kantor tempat kak risky," sebenernya Naya belum tau mau bekerja dimana asalkan dirinya mendapat izin terlebih dahulu dari suaminya.

"Kamu kerja di kantor saja, nanti.."

"Saya ngga mau!" tolak Naya cepat.

"Pilihannya hanya dua, kerja di kantor atau tidak sama sekali."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status