공유

Bab 3

Bab 3

Memberi Tahu Nathan

"Nathan! Keluar!" Tok! Tok! Tok! Teriak Nabilla. Napasnya terengah-engah. Tangan kecilnya terus menggedor rumah teman sekelasnya itu. Dia tak sabar pintu yang tertutup itu segera terbuka. 

"Kayak suara Nabilla! Anak preman itu ngapain ke sini. Nggak sholat magrib apa dia?" ucap Nathan ngomong sendiri. Nggak habis pikir dengan teman sekelasnya itu. 

Tok! Tok! Tok! 

"Nathan! Cepat keluar! Bud*g atau gimana sih kamu itu?!" teriak Nabilla lagi. Dia memang tak sabar menunggu tanggapan teman sekelasnya itu. Nathan di dalam kamarnya membuang kasar napasnya. 

"Astagfirullah ... siapa sih, magrib-magrib kayak gini datang ke rumah?!" tanya Razmi ngomong sendiri. Kemudian dia beranjak dan keluar dari kamarnya. 

Ya, suara lantang dan melengking Nabilla, cukup mengganggu gendang telinga satu rumah ini. Razmi melangkah menuju ke kamar anaknya. 

Belum sampai mengetuk, pintu kamar anak lelakinya terbuka. 

"Magrib-magrib gini siapa yang cari kamu, Than?" tanya Razmi kepada anaknya. Nathan dengan santai mengangkat bahunya. Ekspresi kesal dengan Nabilla sudah dia perlihatkan di depan mamanya. 

Razmi mengatur napasnya sejenak. Tak habis pikir anak temannya itu datang di saat hendak mendekati waktu magrib, yang memang kurang sekian menit saja. 

"Kayaknya anak nakal itu, Ma!" jawab Nathan. Razmi mengerutkan kening. 

"Anak nakal?" Razmi mengulang kata itu. Karena dia memang belum paham maksud anaknya. Nathan manggut-manggut dengan malas. 

"Iya ... si Nabilla, suaranya memang ganggu banget," jelas Nathan. Hatinya kesal dengan Nabilla. Karena nggak di sekolah nggak di rumah, dia hanya jadi hama. Alias pengganggu ketenangannya. 

"Nathan! Keluar!" Tok! Tok! Tok! Teriak Nabilla lagi. Dia masih terus memanggil dan mengetuk kasar .pintu rumah teman sekelasnya itu. 

Razmi menarik napasnya kuat-kuat dan menghembuskan kasar. Begitu juga dengan Nathan. Mereka saling mengontrol diri. Saling mengontrol emosi. 

"Astagfirullah ... anak itu sebenarnya diajari tata krama atau nggak, sih?" ucap Razmi kesal. Ya dia mulai kesal dan mulai terganggu dengan ketokan dari Nabilla, yang memang semakin membuatnya tak nyaman.  

"Dia kan preman, Ma, yaudah Nathan temui dia dulu!" balas Nathan. Dengan cepat Razmi menganggukkan kepala. 

Nathan segera melangkah menuju ke pintu utama rumahnya itu. Pun Razmi, dia penasaran juga kenapa anak tetangganya itu, datang ke sini dengan sangat amat tak sopan seperti itu.

Kreeekk ....

Akhirnya Nathan membuka pintu rumahnya. Hampir saja Nabilla mau mengetuk lagi rumah itu. Lebih tepatnya menggedor. Berhubung pintu rumah itu sudah terbuka, Nabilla merasa lega. Karena bagi Nabilla, menunggu saat pintu rumah itu dibuka, benar-benar terasa lama. 

"Heh ... kamu itu sebenarnya diajari tata krama nggak sih?" teriak Nathan, ekspresi wajahnya sudah memerah. Nabilla malah mengacak pinggang seolah menantang. Tak terima juga dia bilang tak diajari tata krama. 

"Heh ... santai aja dong! Salah siapa lama buka pintunya?" sungut Nabilla. Nathan seketika membelalakkan matanya. 

"Kamu ...."

"Stop! Kok malah bertengkar. Nabilla, kamu tahu nggak kalau sebentar lagi magrib? Harusnya kamu wudlu dan sholat berjamaah sama orang tuamu? Bukan kliyaran ke sini," potong Razmi. Tangan Nathan sudah mengepal. Emosinya sudah terpancing. 

"Nah, iya ... dasar preman pasar bumbon!" balas Nathan seraya sedikit mendorong badan Nabilla, Nabilla sedikit mundur beberapa langkah.

"Nathan! Kamu laki-laki nggak boleh kayak gitu sama perempuan!" ucap Razmi, dia tak suka melihat anak lelakinya kasar dengan perempuan. 

"Tahu, Ma. Nathan hanya kasar sama dia aja! Dia itu preman pasar bumbon!" balas Nathan. Razmi mengatur napasnya sejenak. 

"Nathan ...." ucap Razmi dengan mata mendelik ke arah anak lelakinya. Nathan akhirnya nurut. 

"Maaf Tante, aku tahu ini mau dekati Magrib. Aku juga sudah wudlu, eh jadi batal di pegang kura-kura ini!" balas Nabilla seraya menunjuk ke arah Nathan. Seketika mata Nathan mendelik. 

"Dasar ...."

"Stop! Nathan, jangan diladenin! Kamu Nabilla, ngapain ke sini?" potong Razmi lagi, kemudian bertanya kepada Nabilla niat dia datang ke rumahnya saat mendekati Magrib seperti ini. 

"Namanya juga preman pasar bumbon, Ma, mana tahu dia waktu sholat kayak gini," balas Nathan, mata Nabilla seketika semakin melebar. Bola mata dua bocah kelas tiga sekolah dasar ini, saling beradu pandang. 

"Nathan ...." ucap Razmi menepuk pelan bahu anaknya. Nathan memainkan bibirnya ke arah Nabilla. 

"Dasar kura-kura! Beraninya hanya ngumpet di tempurung!" balas Nabilla. Belum terima dia dengan sebutan preman pasar bumbon yang di sematkan oleh Nathan. 

"Nabilla ... stop! Cepat jawab ngapain kamu ke sini?" tanya Razmi lagi. Mulai kesal dia dengan kedua bocah yang memang tak pernah akur itu jika ketemu. 

Nabilla kemudian mengatur napasnya sejenak. Mau menjawab pertanyaan Razmi, dia memainkan bibirnya terlebih dahulu. 

"Gini Tante, Billa ke sini, cuma mau kasih tahu kalau papanya Nathan masuk berdua dengan mamaku ke rumah Gita dulu," jawab Nabilla tanpa basa-basi. Seketika kening Razmi melipat. Dia mencerna ucapan anak tetangganya itu. 

"Kamu itu ngaco atau gimana? Papanya Nathan lagi beli rokok," balas Razmi. Matanya seketika mendelik mengarah ke arah anak berambut panjang itu. 

"Dia memang suka ngaco, Ma! Udah kamu pulang sana! Kalau mau ngerjain aku, di sekolahan saja, jangan di rumah, jangan bawa-bawa orang tua!" sahut Nathan, sok dewasa. Mata Nabilla mendelik mendengar tanggapan dari temannya itu. 

"Heh ... yang mau ngerjain kamu siapa? Aku ini ngomong apa adanya. Awas saja kalau papamu sampai ngapa-ngapain mamaku! Habis kamu di sekolahan aku buat!" sungut Nabilla. 

Razmi menelan ludah sejenak. Kemudian dia menekan dadanya pelan. Mengontrol hati agar tak terpancing emosi. 

"Tapi kalau beli rokok saja, harusnya sudah pulang dan nggak seperti biasanya juga, dia maksa magrib-magrib keluar untuk beli rokok!" ucap Razmi dalam hati. 

"Kamu ngancam aku?" sungut Nathan. Matanya melebar mengarah ke arah Nabilla. 

"Nggak ada faidahnya juga ngancam kamu Nathan!" sungut Nabill, pun matanya tak kalah melebar. Kedua anak kelas tiga sekolah dasar itu, memang musuh bebuyutan kalau di sekolahan. 

"Stop! Stop! Kalian ini ribuuutt ... terus! Nabilla kamu yakin papanya Nathan masuk ke rumah Gita dulu sama mamamu?" tanya Razmi. Nabilla menarik kuat napasnya. Kemudian mengembuskan kasar. 

"Ya Allah, Tante ... ini magrib-magrib, ngapain juga aku bohong? Papaku juga sudah datangi rumah Gita dulu kok, kalau nggak percaya ayok kita ke sana!" jawab Nabilla. Razmi kemudian menggigit bibir bawahnya. Nabilla masih terus berusaha meyakinkan Mama teman sekelasnya itu. 

"Ok, kita ke sana sekarang, ya! Kalau kamu bohong, Tante marah besar sama kamu! Tante juga nggak akan maafin kamu!" ucap Razmi. Nabilla memutar bola matanya. 

"Iya. Ayok buruan ke sana!" ajak Nabilla. Tanpa menunggu tanggapan dari Nathan dan Razmi, Nabilla bergegas menuju ke rumah kosong, yang mana dulu rumah milik temannya. Gita. 

Akhirnya Razmi dan Nathan mengikuti langkah kaki Nabilla. Dengan perasaan yang sebenarnya masih belum percaya dengan apa yang dikatakan oleh anak tetangga mereka itu. 

"Apa iya, yang dikatakan oleh Nabilla itu benar? Nggak! Aku yakin nggak benar! Mas Anton pamitnya beli rokok, kok, aku yakin Mas Anton setia denganku. Dia tak mungkin bermain api! Mungkin Nabilla mau prank Nathan saja. Mereka kan memang selalu bertengkar!" ucap Razmi dalam hati. Dia terus menenangkan dirinya sendiri. Dia masih percaya kalau anak tetangganya itu hanya prank anaknya saja. 

Dengan perasaan yang bergemuruh hebat, perasaan yang bimbang, Razmi tetap melangkah menuju ke rumah kosong yang tak jauh dari rumahnya itu. 

Setelah dekat, seketika kakinya menghentikan langkah. Matanya mendelik menatap ke rumah kosong itu. Jantungnya pun ia rasakan seolah sudah tak berdetak lagi. Lututnya pun ia rasakan semakin melemas. Suara riuh sorakan orang-orang yang berkerumun ia dengar. 

"Hah? Kok rumah kosong itu sudah ramai dengan kerumunan orang? Benarkah yang dikatakan oleh Nabilla? Ya Allah ... nggak! Aku yakin bukan Mas Anton!" ucap Razmi ngomong sendiri. Bibirnya menganga dengan dada yang naik turun tidak beraturan. 

"Ampun, Mas ... ampun ...." Suara yang tak asing di gendang telinganya, kini ia dengar secara langsung. Siapa lagi kalau bukan suara tetangganya. Suara Arsilla. Hingga bola matanya semakin melebar saat ia melihat sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

"Astagfirullah!" teriak Razmi. Seketika bibirnya ia bungkam dengan kedua tangannya, saat matanya melihat Tamam menarik rambut Arsilla, yang nyaris tanpa busana. 

********************************

댓글 (1)
goodnovel comment avatar
Fiiz Hap
telanjang bulat
댓글 모두 보기

관련 챕터

최신 챕터

DMCA.com Protection Status