"Kami dengar keluargamu bangkrut, Alin?"
Mendengar pertanyaan itu, semua orang sontak terdiam. Saat ini, Alin memang sedang berkumpul bersama keluarga besar sang kekasih–sesuatu yang biasa dilakukan beberapa bulan sekali. Namun, Alin tidak menyangka berita bangkrutnya perusahaan orang tuanya akan cepat menyebar. Yang lebih membuatnya terkejut adalah, ibu kekasihnyalah yang memberinya pertanyaan itu di saat seluruh keluarga besar mereka sedang berkumpul."Benar, Tante. Ada yang menggelapkan uang perusahaan hingga kami kesulitan modal. Para investor juga menarik saham mereka setelah mengetahui ada masalah besar di perusahaan kami hingga akhirnya perusahaan gulung tikar," jawab Alin akhirnya–tanpa ada yang ditutup-tutupi.
Hanya saja, jawaban Alin membuat wajah wanita di hadapannya seketika mengeras. Sebagai sosialita baru di kota, ibu dari Rendra itu tidak mungkin akan terus merestui hubungan anaknya jika calon besannya saja bangkrut.
"Hah. Ternyata berita itu benar, ya,” helanya berat, “jika demikian, hari ini, tante minta kamu dan Rendra untuk menyudahi hubungan kalian disaksikan keluarga besar kami!"
Deg!
Alin tersentak kaget. Dia tidak mengira calon mertuanya itu akan berubah pikiran dalam waktu yang sangat singkat. Tapi, mengapa?
Bukankah selama ini, wanita itu tampak menyukainya? Ia bahkan ingat beberapa bulan lalu wanita itu menyuruhnya untuk segera menikahi Rendra.
"Kenapa–"
Belum sempat Alin berbicara, wanita di hadapannya itu kembali memotong ucapannya, "Kamu masih ingin bertanya tentang alasannya? Jelas karena keluargamu sudah bangkrut, Lin. Perusahaan keluarga kami baru stabil dan kami berharap pendamping Rendra bisa membantunya nanti. Kalau kamu yang berada di sisinya, kamu justru jadi benalu.”
Tangan Alin mengepal kuat, dia merasa sangat direndahkan oleh keluarga Rendra.
Terlebih, beberapa anggota keluarga yang biasa memperlakukannya baik, juga mulai menatapnya sinis.
"Apa yang dikatakan menantuku benar. Kami selalu melihat bibit, bebet, dan bobot," ucap Nenek sang kekasih mendadak. Tatapan tajam diarahkannya pada Alin. “Semua harus setara, sedangkan keluargamu kini jauh lebih rendah dari keluarga kami. Apa yang bisa kau lakukan nanti?”
Mengetahui tak ada dukungan sedikit pun untuknya, Alin menoleh ke arah Rendra yang masih diam.
"Bagaimana denganmu, Mas? Apa kamu masih bersedia mempertahankan hubungan kita?" tanya Alin pelan. Ia berharap pria itu diam-diam mengatur rencana untuk membelanya.
Namun, harapannya pupus kala mendengar ucapan pria itu.
"Maaf, Lin. Sebaiknya, kita sudahi saja hubungan kita karena aku tidak mungkin hidup dengan orang yang berada jauh di bawahku. Itu akan merepotkan.”
“Ya, lagi pula Rendra sudah dekat dengan wanita lain yang lebih segalanya darimu, Lin," ujar ibu Rendra tiba-tiba,“keluarga kami akan melamarnya minggu depan. Jadi, kami harap kamu tidak jadi pengganggu di hubungan baru anakku.”
Tanpa sadar, mata Alin berkaca-kaca setelah mendengar pernyataan Rendra dan Ibunya. Dia sangat kecewa dengan sikap Rendra yang berbalik seratus delapan puluh derajat padanya. Padahal, pria itulah yang mengejar-ngejar dirinya dan menghujaninya perhatian.
Namun, Alin menahan emosinya. Dengan penuh ketenangan, ia bertanya dengan dingin, “Jadi, selama ini kamu mendekatiku hanya karena harta?"
"Ternyata kamu bodoh, ya! Aku tidak mungkin menikah dengan wanita yang hanya modal cantik dan cinta saja!" tegas Rendra.
"Justru, kalian yang akan malu karena memiliki pikiran yang sempit,” balas Alin berani, “Apa di mata kalian hanya harta yang menjadi penentu derajat seseorang?"
Mendengar ucapan menantang dari Alin, semua tersentak.
Bahkan, ayah Rendra yang sedari tadi diam pun menjadi terusik. Selama ini, dia memang selalu mencarikan menantu yang kaya agar setara dengan keluarganya. Semua dilakukan agar perusahaan keluarga mereka berhasil. Lantas, apa yang salah dengan itu? Toh, buktinya mereka sudah masuk di daftar keluarga terkaya di kota mereka.
"Kenapa kau begitu naif, Nak? Di dunia ini apa yang tidak bisa kita beli dengan harta? Mungkin, saat ini kau bisa bicara seperti itu karena kau sedang berada di bawah. Dan Om maklumi itu, tapi tolong sebaiknya kau sadar diri dan segera mundur saja dari hubungan kalian. Karena sejak kabar kebangkrutan keluargamu menyebar, Om sudah mencarikan perempuan lain yang jauh lebih kaya di atasmu!" tegasnya, “Rendra juga tampaknya lebih menyukai perempuan itu.”
"Alin, kamu itu sekarang udah jadi orang miskin. Jadi, aku saranin sebaiknya kamu sadar diri sedikitlah sama posisimu saat ini. Nggak usah belagu jadi orang!" sahut saudari perempuan Rendra pedas.
Alin kian meradang dengan hinaan demi hinaan yang terus terlontar dari mulut keluarga Rendra.
"Baiklah. Kalau itu memang mau kalian akan saya turuti. Mulai sekarang, saya tidak punya hubungan apapun lagi dengan Rendra dan kalian semua. Anggap saja kita tidak pernah saling mengenal,” ucap Alin penuh penekanan.
“Saya juga tidak akan melupakan hari ini, hari di mana kalian menginjak harga diri saya hanya karena harta. Dan saya akan pastikan kalau penghinaan kalian hari ini akan jadi penyesalan untuk kalian sendiri suatu hari nanti. Camkan itu!"
Alin segera bangkit untuk meninggalkan kediaman keluarga besar Rendra. Namun, sebelum dia benar-benar melangkah ke luar, dia berbalik dan menatap seluruh keluarga Rendra.
"Jangan lupa saat keluarga saya masih ada di atas, kalian pun juga menjilat keluarga saya. Jadi, sebenarnya di sini kalian pun sama saja, sama-sama benalu dan toxic!"
"Kurang ajar kau Alin, sudah miskin masih saja berlagak sombong!"
Namun, Alin tak menghiraukan hinaan mereka dan tetap mantap meneruskan langkahnya.
***
Ia pergi dari rumah Nenek Rendra dengan membawa sejuta luka yang mereka torehkan.
Sakit, itulah yang saat ini Alin rasakan.
Dia berjalan tanpa arah dan berharap nyawanya dicabut saja.
Seolah mendengar harapan Alin, sebuah mobil tanpa sengaja menabraknya.
Bugh!
Alin jatuh dan kepalanya membentur ke aspal. Ia merasakan kegelapan menyelimuti penglihatannya.
Sementara itu, sopir mobil yang menabrak Alin kini sangat terkejut.
Ia langsung ke luar untuk melihat kondisi perempuan yang terkapar itu tanpa menyadari sang bos yang juga sampai keluar mobil.
“Maaf, Pak Devan. Saya–”
Hanya saja, ucapannya terhenti kala melihat pemandangan di hadapannya.
Bos yang selalu dingin dan tak tersentuh itu kini tampak menggulung lengan kemeja putihnya sampai siku dan menggendong perempuan asing yang tidak sadarkan diri?!
"Cepat bawa mobil ke rumah!" ucapnya tegas, "Nanti, panggilkan juga Dokter untuk perempuan ini!"Alin tak tahu apa yang terjadi. Ia baru saja tersadar dari pingsan. Namun, ia begitu bingung dengan ruangan asing tempatnya berada saat ini. "Aku di mana? Bukannya tadi aku sedang di jalan ya?" gumamnya sambil memegang kepalanya yang masih pening. “Tunggu … kepalaku diperban?” Belum sempat memproses semuanya, tiba-tiba Alin mendengar suara bariton yang membuatnya terkejut. "Bagaimana keadaanmu saat ini? Bagian mana yang masih sakit? Kalau kau mau cepat mati harusnya kau masuk jurang saja, jangan menabrakkan diri ke mobilku!" Alin yang masih merasakan sedikit pusing mendongak menatap lelaki yang baru saja datang ke kamar yang ditempatinya itu. "Maaf, tapi Anda ini siapa? Lalu kenapa Anda menolong saya?" "Bodoh! Kamu tertabrak mobilku. Kalau kau mati, maka aku juga akan ikut terseret. Lagian kamu ini sangat tidak tahu caranya berterima kasih, ya," sindir lelaki itu. "Baiklah Tuan yang terhormat, terima kasih sudah berbaik hati menolong saya dari maut walau sebenarnya saya berhar
Pria itu sebenarnya sudah menduga jika Alin akan menolak bekerja sama dengannya. Tapi, Devan tidak punya pilihan lain karena ia tak punya punya banyak waktu. Jadi, dia akan mengeluarkan kartu as-nya untuk membujuk Alin agar menyetujui tawarannya. "Tenang saja, saya akan menjamin jika kamu akan diuntungkan dengan adanya pernikahan kontrak ini. Apa kamu tidak ingin membalas dendam dan menghancurkan mereka yang sudah menginjak harga dirimu karena keluargamu bangkrut? Apa kamu tidak ingin membuktikan pada keluarga mantanmu kalau kamu bisa bangkit dan mengalahkan mereka?" Alin memicingkan matanya, dia menduga Devan menyimpan rahasia yang Alin belum ketahui. "Dari mana Anda tahu tentang permasalahan hubungan saya dengan kekasih saya? Sepertinya Anda sudah mengulik tentang kisah percintaan saya ya rupanya? Apakah Anda memang sudah mencari tahu terlebih dahulu?" tanya Alin memastikan. "Bisa dibilang begitu, aku sudah tahu semuanya!" jawab Devan. "Katakan padaku, apa yang kau ketahui?" ta
"Haa? Maksudnya? Bisa tolong ulangi kalimat Anda tadi?" tanya Alin memastikan."Oh tidak ada, sudahlah cepat duduk sekarang!" ucap Devan kembali ke mode menyebalkan. Alin mencebik sambil duduk."Ada perlu apa saya dipanggil ke sini? Dan kapan saya bisa pulang?""Silahkan kamu baca," ucap Devan sambil menyerahkan lembaran pada Alin."Surat apa ini?" tanya Alin sambil mulai membaca poin-poin yang sudah tercantum."Kamu bisa membaca kan? Atau perlu aku bacakan?"Alin memutar bola matanya. Dia mulai membaca setiap baris tulisan pada surat perjanjian yang dibuat Devan."Surat perjanjian kontrak nikah?"Mata Alin membulat sempurna kala semua perjanjian yang sudah tercantum merugikannya."Hei, mana bisa seperti ini? Surat kontrak ini tidak sah, aku tidak setuju. Semua isinya sangat memberatkanku!" ujar Alin protes."Bagian mana yang memberatkanmu? Bukankah di dalam kontrak itu aku sudah memberikan kemudahan padamu? Bahkan jika kamu memintaku untuk menghancurkan keluarga Baskoro pun akan aku
Devan mengabaikan sapaan karyawan dan tetap dalam mode cool. Dia segera masuk ke dalam ruang CEO diikuti oleh asistennya."Sombong banget sih CEO kita," ujar salah satu karyawan."Emangnya lo berharap beliau gimana? Ramah terus balas sapaan lo dengan senyum gitu? Jangan mimpi woe, kita bisa kerja di sini aja masih bagus. Saran gue mendingan lo jangan terlalu sering pakai baju minim gitu deh, soalnya dengar-dengar Pak Devan nggak suka lihat karyawan perempuan pakai baju begituan," saran salah satu karyawan mengingatkan."Yaelah … kalau ngiri, ya ngiri aja! Nggak usah sok nasihatin." Karyawan genit itu melengos meninggalkan beberapa karyawan lain tengah berbisik membicarakannya. Dengan percaya diri, karyawan genit itu kembali melangkah masuk ke ruangan Devan dengan berjalan melenggak lenggok. Dia mengenakan pakaian yang membuat asetnya tercetak jelas. Karyawan genit itu bahkan sengaja membuka salah satu kancing bajunya yang terlihat sempit itu hingga membuat dadanya menyembul. Tok to
Mama Alin tidak serta merta langsung mempercayai jawaban Alin. Yang dia tahu, selama ini kekasih Alin sangat menyayangi anaknya. "Kamu jangan bercanda, Nak!” tegur mami. "Aku tidak bercanda, Mi. Aku mengatakan yang sebenarnya," jawab Alin. "Tapi kenapa, Nak? Bukankah kalian sebentar lagi akan melaksanakan lamaran?"Bibir Alin mendadak kelu saat hendak menjawab pertanyaan maminya. Dia sangat berat mengatakan alasannya pada maminya. "Apa Rendra berselingkuh di belakangmu?" tanya Rita memicing.Degg!Alin tersentak dengan pemikiran maminya yang tepat sasaran. Alin menghela nafasnya dengan panjang. Dia berusaha tenang dan merangkai kalimat yang tepat agar maminya tidak terpancing emosi. "Benar, Mi. Mas Rendra bahkan telah mengakhiri hubungan kami tadi malam, tepat di depan seluruh keluarganya," jawab Alin dengan tenang.Brakk!Mami Alin menggebrak meja dengan keras. Dadanya bergemuruh menahan amarah yang sudah membuncah. "Bukankah selama ini mereka yang selalu menginginkan kalian
"Calon istri?" tanya mami Alin membeo. "Tunggu, sebenarnya siapa yang Anda maksud sebagai calon istri, Tuan?" "Dia!" Devan menunjuk Alin yang berdiri mematung.Baik papi maupun mami Alin sangat terkejut terlebih melihat Alin yang tidak menunjukkan reaksi apapun. "Lin, apa benar yang dikatakan Tuan Devan, Lin?" tanya mami tidak percaya. "Benar, Mi, Pi. Maafkan Alin karena belum sempat membicarakan hal ini pada kalian berdua. Alin terpaksa—"Ucapan Alin terpotong saat Devan menginterupsi. "Bagaimana, Papa Mertua? Anda bisa melihat sendiri kan kalau putri Anda juga menginginkan pernikahan ini terjadi?" tanya Devan menyunggingkan senyum. "Jadi, sebenarnya kalian sudah saling mengenal sebelumnya?" tanya papi dengan cepat.Lelaki paruh baya itu melirik putrinya yang masih menunduk. "Iya, Pi. Baru tadi malam," cicit Alin. "Baru tadi malam?" Papi menghela nafasnya, "Nak, apakah kamu benar-benar yakin dengan keputusanmu ini?" tanya papi lagi. "Iya, Pi aku yakin dengan keputusan yang
Bibir Alin terkunci rapat. Dia tidak berani sedikit pun bersuara tanpa perintah Devan. Tangannya terus menggenggam erat tangan lelaki di sampingnya. "Selamat malam, Tuan Drajat, Tuan Rendra. Satu kehormatan kami bisa memenuhi undangan kalian," ucap Niko mewakili. "Selamat malam Tuan Niko, Tuan Devan. Terima kasih sudah berkenan meluangkan waktu untuk hadir di sini," jawab Drajat berusaha ramah. Dua lelaki berbeda generasi itu berusaha menahan rasa terkejutnya di depan Devan.Lelaki tua itu mengulurkan tangannya pada Devan namun Devan mengabaikannya. Akhirnya lelaki itu menarik lagi tangannya dengan tetap mengukir senyum kepalsuan. "Sepertinya kalian sangat mengenal wanita yang berada di samping saya ya?" tanya Devan tiba-tiba. "Ti-tidak Tuan, kami tidak mengenalnya sama sekali," sahut Drajat gelagapan.Sedangkan Rendra, ia tak berhenti menatap Alin dengan tatapan memuja. Matanya tak berkedip menikmati kecantikan sang mantan yang semakin terlihat setelah dia usir dari hidupnya.Se
Alin masih terus menyimak setiap perkataan Devan tanpa menyelanya sedikit pun. "Walau kita menikah karena sebuah kerja sama dan tanpa di dasari cinta, tapi aku ingin kita tetap saling mengenal satu sama lain terlebih dahulu. Bagaimana menurut pendapatmu?" sambung Devan bertanya. "Aku rasa ada benarnya juga, kita memang harus saling mengenal. Sekarang katakan apa yang ingin kau ketahui dariku, Tuan?" "Sudah berulang kali kukatakan jangan panggil aku Tuan, Alin!" tegas Devan datar. "Tapi saat ini kita hanya berdua saja, Tuan. Jangan lupakan itu," jawab Alin tenang. "Kau memang bebal, Lin!" ujar Devan bersungut. "Aku ingin tahu, kenapa kau sangat menggilai lelaki pecundang seperti Rendra?"Alin menghela nafasnya dengan panjang. Dia sangat malas membahas perihal Rendra saat ini. "Apa tidak ada pertanyaan lain yang lebih berbobot? Bukankah kau sudah menyelidiki kehidupanku?" tanya Alin dingin.Devan terperanjat dengan jawaban Alin. Perubahan sikapnya membuat Devan semakin penasaran d