"Haa? Maksudnya? Bisa tolong ulangi kalimat Anda tadi?" tanya Alin memastikan.
"Oh tidak ada, sudahlah cepat duduk sekarang!" ucap Devan kembali ke mode menyebalkan. Alin mencebik sambil duduk.
"Ada perlu apa saya dipanggil ke sini? Dan kapan saya bisa pulang?"
"Silahkan kamu baca," ucap Devan sambil menyerahkan lembaran pada Alin.
"Surat apa ini?" tanya Alin sambil mulai membaca poin-poin yang sudah tercantum.
"Kamu bisa membaca kan? Atau perlu aku bacakan?"
Alin memutar bola matanya. Dia mulai membaca setiap baris tulisan pada surat perjanjian yang dibuat Devan.
"Surat perjanjian kontrak nikah?"
Mata Alin membulat sempurna kala semua perjanjian yang sudah tercantum merugikannya.
"Hei, mana bisa seperti ini? Surat kontrak ini tidak sah, aku tidak setuju. Semua isinya sangat memberatkanku!" ujar Alin protes.
"Bagian mana yang memberatkanmu? Bukankah di dalam kontrak itu aku sudah memberikan kemudahan padamu? Bahkan jika kamu memintaku untuk menghancurkan keluarga Baskoro pun akan aku lakukan."
"Tapi bukankah ini hanya pernikahan kontrak? Kenapa harus tidur di satu kamar yang sama?" protes Alin.
"Apa kamu mau sandiwara kita terbongkar dan semua rencana ini berantakan?"
Alin bungkam, dia benar-benar tidak bisa berkutik dengan semua syarat yang dibuat Devan.
"Lalu sebenarnya apa tujuan Anda mengajak saya menikah? Jujur saya masih belum bisa meraba isi hati Anda!" tanya Alin lagi."Terlalu rumit untuk dijelaskan, tapi intinya jika kau mau menerima tawaranku, maka aku akan menjamin jika kita akan saling diuntungkan. Sepakat?" Alin menghela nafasnya dengan panjang. Dia berpikir pasti akan rugi jika menolak tawaran ini."Sepakat. Tapi ingat kita hanya akan bersikap mesra jika ada orang lain saja, selebihnya kita hanya akan berinteraksi sebagai teman biasa jika tidak ada siapa pun. Dan kita hanya boleh tidur sekamar, bukan seranjang!" ucap Alin menjabarkan keinginannya."Baiklah, itu bisa diatur. Nanti malam aku ada acara pertemuan dengan beberapa klien penting, dan kamu harus menemaniku.""Hei aku mau pulang, Tuan jangan lupakan itu!" sungut Alin mengingatkan.Devan hanya melihat Alin sekilas. "Tidak ada bantahan. Kau akan pulang tapi hanya sebentar, setelah itu kembali lagi ke sini!" jawab Devan. "Satu lagi, panggil aku Honey.""Hei, kau bahkan lebih pantas menjadi Pamanku alih-alih pasangan!" ejek Alin tanpa perasaan."Terserah apa katamu. Sebaiknya kau segera pulang karena sopir yang mengantarmu sudah menunggu. Belajarlah menghargai waktu!" tukas Devan sambil memantau laporan perusahaan."Cckck dasar kulkas menyebalkan!" umpat Alin.***
Dia segera berlalu ke kamarnya dan mengambil tas dan ponselnya. Dia segera pulang ke rumah karena takut maminya khawatir dengan keadaannya.
Sepanjang perjalanan Alin terus merenungi keputusannya menerima tawaran yang diberikan Devan. Dia dilema dengan keputusannya sendiri.'Apa keputusanku ini sudah benar?' batin Alin yang sedikit gamang.
Tanpa disadari, dia sudah sampai di rumahnya. Alin terus meyakinkan diri untuk terus menjalankan rencana yang sudah dia pikirkan ini.
Dengan mantap, dia melangkah ke luar mobil menuju rumahnya.'Sebentar lagi rumah ini akan segera dilelang. Aku harus bisa mempertahankan rumah ini bagaimanapun caranya," batin Alin sambil menatap rumah penuh kenangan itu. Dia segera masuk ke dalam rumah untuk mencari maminya.***"Assalamualaikum, Mi aku pulang!" teriak Alin sambil mencari keberadaan maminya.Karena tak kunjung ada sahutan, Alin bergegas mencari maminya ke belakang. Tak berapa lama akhirnya ada suara sahutan dari arah dapur."Alin, Mami di dapur. Tolong sini sebentar ya, Nak!" jawab mami sedikit berteriak.Mendengar itu, Alin bergegas mengikuti asal suara wanita itu dan berakhir di dapur."Mami, aku cari ternyata lagi di dapur. Mau aku bantuin, Mi?" "Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Iya boleh kebetulan Mami lagi ban-" Perkataan mami terhenti ketika dia menoleh ke arah putrinya dan melihat ada perban yang melingkari kepala putrinya itu."Nak, kepala kamu kenapa?" tanya mami panik."Nggak apa-apa kok Mi, sebentar lagi paling juga sembuh. Tadi malam aku keserempet mobil, Mi tapi orangnya sudah bertanggung jawab juga kok!" jawab Alin berusaha meredam kekhawatiran sang ibunda."Ya ampun Nak, pantas saja semalam perasaan Mami nggak enak. Sudah lebih baik kamu istirahat saja ya, Nak nggak usah bantuin Mami," perintah mami pada Alin."Ya sudah Mi kalau begitu, eh tapi kok dari tadi Alin nggak lihat Bibi ya Mi?" tanya Alin penasaran.Mami Rita menghela nafasnya, "Bibi sudah pulang kampung tadi pagi. Mami dan Papi tidak mampu menggaji Bibi lagi, Lin. Sopir pun juga sudah bersiap pulang kampung besok. Mereka juga nitip salam sama kamu Lin."Alin menunduk pasrah. Mereka memang sangat dekat dengan para asistennya. Namun keadaan ekonomi keluarga mereka saat ini sangat tidak memungkinkan jika mereka harus mempertahankan asisten mereka. Mereka harus bisa bertahan dan bangkit kembali."Oh iya, Papi ke mana Mi?" tanya kemudian."Tadi Papi kamu tiba-tiba dapat telepon yang katanya dari utusan pemilik Bimantara Group. Mereka juga meminta bertemu dengan Papimu, katanya sih mereka tertarik menanam saham di perusahaan Papi makanya Papi langsung mengajak bertemu hari ini. Semoga saja ini awal yang baik untuk perusahaan kita, Lin!" jawab Mami Rita penuh harap.Sedangkan Alin, malah termenung dalam diamnya. Pikirannya berkelana ke mana-mana tentang sang pewaris Bimantara Group itu.'Apa ini semua rencana Mas Devan?' batin Alin menerka-nerka.***Sementara di tempat lain, setelah Alin meninggalkan rumah besarnya, Devan segera meluncur ke perusahaannya. Sepanjang perjalanan dia terus memantau tabletnya tanpa menoleh ke luar sedikit pun. Sesampainya di perusahaan, dia disambut oleh Niko sang asisten sekaligus kaki tangannya."Selamat datang, Tuan. Saya senang akhirnya Tuan sudah kembali lagi dari luar negeri," ucap Niko sambil berjalan mengiringi Devan."Bagaimana dengan tugas yang kuberikan? Apa kau sudah menghubungi Tuan Wira?" tanya Devan tanpa basa-basi."Sudah, Tuan. Tuan Wira akan datang ke perusahaan sebentar lagi. Saya yakin beliau pasti tertarik dengan tawaran yang Tuan berikan.""Bagus. Aku suka dengan kinerjamu, bulan depan gajimu naik tiga kali lipat.""Benarkah, Tuan? Terima kasih banyak Tuan."Niko sendiri kegirangan setelah Devan menaikkan gajinya tiga kali lipat. Setelah mengatakan itu Devan segera keluar dari lift. Namun matanya disambut dengan pemandangan kurang mengenakkan saat melihat beberapa staf dan karyawan memakai baju minim dan terkesan genit."Selamat pagi Tuan Niko dan juga Tuan Devan!" ucap salah satu karyawan dengan nada manja.Devan mengabaikan sapaan karyawan dan tetap dalam mode cool. Dia segera masuk ke dalam ruang CEO diikuti oleh asistennya."Sombong banget sih CEO kita," ujar salah satu karyawan."Emangnya lo berharap beliau gimana? Ramah terus balas sapaan lo dengan senyum gitu? Jangan mimpi woe, kita bisa kerja di sini aja masih bagus. Saran gue mendingan lo jangan terlalu sering pakai baju minim gitu deh, soalnya dengar-dengar Pak Devan nggak suka lihat karyawan perempuan pakai baju begituan," saran salah satu karyawan mengingatkan."Yaelah … kalau ngiri, ya ngiri aja! Nggak usah sok nasihatin." Karyawan genit itu melengos meninggalkan beberapa karyawan lain tengah berbisik membicarakannya. Dengan percaya diri, karyawan genit itu kembali melangkah masuk ke ruangan Devan dengan berjalan melenggak lenggok. Dia mengenakan pakaian yang membuat asetnya tercetak jelas. Karyawan genit itu bahkan sengaja membuka salah satu kancing bajunya yang terlihat sempit itu hingga membuat dadanya menyembul. Tok to
Mama Alin tidak serta merta langsung mempercayai jawaban Alin. Yang dia tahu, selama ini kekasih Alin sangat menyayangi anaknya. "Kamu jangan bercanda, Nak!” tegur mami. "Aku tidak bercanda, Mi. Aku mengatakan yang sebenarnya," jawab Alin. "Tapi kenapa, Nak? Bukankah kalian sebentar lagi akan melaksanakan lamaran?"Bibir Alin mendadak kelu saat hendak menjawab pertanyaan maminya. Dia sangat berat mengatakan alasannya pada maminya. "Apa Rendra berselingkuh di belakangmu?" tanya Rita memicing.Degg!Alin tersentak dengan pemikiran maminya yang tepat sasaran. Alin menghela nafasnya dengan panjang. Dia berusaha tenang dan merangkai kalimat yang tepat agar maminya tidak terpancing emosi. "Benar, Mi. Mas Rendra bahkan telah mengakhiri hubungan kami tadi malam, tepat di depan seluruh keluarganya," jawab Alin dengan tenang.Brakk!Mami Alin menggebrak meja dengan keras. Dadanya bergemuruh menahan amarah yang sudah membuncah. "Bukankah selama ini mereka yang selalu menginginkan kalian
"Calon istri?" tanya mami Alin membeo. "Tunggu, sebenarnya siapa yang Anda maksud sebagai calon istri, Tuan?" "Dia!" Devan menunjuk Alin yang berdiri mematung.Baik papi maupun mami Alin sangat terkejut terlebih melihat Alin yang tidak menunjukkan reaksi apapun. "Lin, apa benar yang dikatakan Tuan Devan, Lin?" tanya mami tidak percaya. "Benar, Mi, Pi. Maafkan Alin karena belum sempat membicarakan hal ini pada kalian berdua. Alin terpaksa—"Ucapan Alin terpotong saat Devan menginterupsi. "Bagaimana, Papa Mertua? Anda bisa melihat sendiri kan kalau putri Anda juga menginginkan pernikahan ini terjadi?" tanya Devan menyunggingkan senyum. "Jadi, sebenarnya kalian sudah saling mengenal sebelumnya?" tanya papi dengan cepat.Lelaki paruh baya itu melirik putrinya yang masih menunduk. "Iya, Pi. Baru tadi malam," cicit Alin. "Baru tadi malam?" Papi menghela nafasnya, "Nak, apakah kamu benar-benar yakin dengan keputusanmu ini?" tanya papi lagi. "Iya, Pi aku yakin dengan keputusan yang
Bibir Alin terkunci rapat. Dia tidak berani sedikit pun bersuara tanpa perintah Devan. Tangannya terus menggenggam erat tangan lelaki di sampingnya. "Selamat malam, Tuan Drajat, Tuan Rendra. Satu kehormatan kami bisa memenuhi undangan kalian," ucap Niko mewakili. "Selamat malam Tuan Niko, Tuan Devan. Terima kasih sudah berkenan meluangkan waktu untuk hadir di sini," jawab Drajat berusaha ramah. Dua lelaki berbeda generasi itu berusaha menahan rasa terkejutnya di depan Devan.Lelaki tua itu mengulurkan tangannya pada Devan namun Devan mengabaikannya. Akhirnya lelaki itu menarik lagi tangannya dengan tetap mengukir senyum kepalsuan. "Sepertinya kalian sangat mengenal wanita yang berada di samping saya ya?" tanya Devan tiba-tiba. "Ti-tidak Tuan, kami tidak mengenalnya sama sekali," sahut Drajat gelagapan.Sedangkan Rendra, ia tak berhenti menatap Alin dengan tatapan memuja. Matanya tak berkedip menikmati kecantikan sang mantan yang semakin terlihat setelah dia usir dari hidupnya.Se
Alin masih terus menyimak setiap perkataan Devan tanpa menyelanya sedikit pun. "Walau kita menikah karena sebuah kerja sama dan tanpa di dasari cinta, tapi aku ingin kita tetap saling mengenal satu sama lain terlebih dahulu. Bagaimana menurut pendapatmu?" sambung Devan bertanya. "Aku rasa ada benarnya juga, kita memang harus saling mengenal. Sekarang katakan apa yang ingin kau ketahui dariku, Tuan?" "Sudah berulang kali kukatakan jangan panggil aku Tuan, Alin!" tegas Devan datar. "Tapi saat ini kita hanya berdua saja, Tuan. Jangan lupakan itu," jawab Alin tenang. "Kau memang bebal, Lin!" ujar Devan bersungut. "Aku ingin tahu, kenapa kau sangat menggilai lelaki pecundang seperti Rendra?"Alin menghela nafasnya dengan panjang. Dia sangat malas membahas perihal Rendra saat ini. "Apa tidak ada pertanyaan lain yang lebih berbobot? Bukankah kau sudah menyelidiki kehidupanku?" tanya Alin dingin.Devan terperanjat dengan jawaban Alin. Perubahan sikapnya membuat Devan semakin penasaran d
Devan melipat tangannya di dada sambil terus memperhatikan ekspresi wajah Alin yang terlihat masih bimbang."Kalau aku tidak yakin dengan keputusanku, mana mungkin aku sampai mau merepotkan diri untuk membujukmu agar bersedia menikah denganku? Memangnya kau ini siapa?"Mata Alin memicing, senyum smirk tercetak di bibir mungilnya."Wah ternyata sepenting itu ya peran saya di hidup Anda?" tanya Alin."Jangan terlalu percaya diri dulu, aku memilihmu karena berbagai pertimbangan. Bukankah kau dan keluargamu juga diuntungkan di sini?" balas Devan sinis."Ya, kau benar. Terserah kau saja," sahut Alin ketus.Mereka saling diam dan mencoba menyelami pikiran masing-masing. Suara deburan ombak yang menghantam karang bagaikan alunan relaksasi yang menenangkan pikiran."Kapan kau akan memperkenalkanku pada seluruh keluargamu?" tanya Alin tiba-tiba."Secepatnya. Lebih cepat lebih baik," jawab Deva
Papi Alin yang sedang mengurus berkas pengajuan kerja sama dengan perusahaan Devan langsung meninggalkan pekerjaannya setelah mendapat kabar dari sang istri jika alergi yang diderita Alin kambuh. Sesampainya di rumah, lelaki itu mendapati sang istri tengah menangis di ruang sofa. "Mi, ayo kita berangkat ke rumah sakit sekarang!" ajak papi. "Anak kita, Pi. Mami takut terjadi sesuatu dengan Alin," ujarnya sambil memeluk papi. "Alin anak yang kuat, Mi. Dia tidak akan semudah itu rapuh. Bersiaplah, kita akan segera berangkat menyusul Alin." *** Mereka bergegas meluncur ke rumah sakit . Sesampainya di sana, keduanya langsung disambut oleh asisten Devan yang sengaja menunggu mereka di depan rumah sakit. "Tuan, Nyonya mari ikut saya ke ruangan Nona Alindra," ujar asisten Devan. Mereka berdua segera mengikuti langkah asisten Devan menuju ruangan tempat Alin dirawat. Sesampainya di ruangan, mami langsung mendekat ke sisi ranjang Alin. Wanita paruh baya itu menatap sendu putrinya yang m
Ancaman mama sukses membuat Devan diam tak berkutik. Selama ini Devan selalu menolak dijodohkan dengan alasan sudah mempunyai kekasih namun tidak pernah diajak ke rumah ibunya walau sang ibu selalu meminta untuk membawanya datang.“Iya Ma iya, pokoknya nanti deh Devan bakal secepatnya membawa kekasih Devan ke rumah utama,” jawab Devan menenangkan.“Jangan bohong lagi sama Mama, Van. Nggak baik lho terus menerus membohongi orang tua,” sindir sang ibu.Devan hanya cengengesan ketika menghadapi ibunya yang sedang mengomel. Tak berselang lama, pelayan datang memberi tahu jika makan siang sudah siap.“Ma, kita makan siang dulu, ya. Devan sudah lapar,” ajak Devan.Mereka bergegas menuju ke ruang makan. Saat sedang menikmati makan siang mereka, mami yang masih penasaran dengan wanita yang sempat diajak kencan oleh Devan kembali menanyakannya.“Van, sebenarnya siapa sih, Van wanita yang kamu ajak kencan semalam? Tadi Ma