Devan melipat tangannya di dada sambil terus memperhatikan ekspresi wajah Alin yang terlihat masih bimbang.
"Kalau aku tidak yakin dengan keputusanku, mana mungkin aku sampai mau merepotkan diri untuk membujukmu agar bersedia menikah denganku? Memangnya kau ini siapa?"Mata Alin memicing, senyum smirk tercetak di bibir mungilnya."Wah ternyata sepenting itu ya peran saya di hidup Anda?" tanya Alin."Jangan terlalu percaya diri dulu, aku memilihmu karena berbagai pertimbangan. Bukankah kau dan keluargamu juga diuntungkan di sini?" balas Devan sinis."Ya, kau benar. Terserah kau saja," sahut Alin ketus.Mereka saling diam dan mencoba menyelami pikiran masing-masing. Suara deburan ombak yang menghantam karang bagaikan alunan relaksasi yang menenangkan pikiran."Kapan kau akan memperkenalkanku pada seluruh keluargamu?" tanya Alin tiba-tiba."Secepatnya. Lebih cepat lebih baik," jawab DevaPapi Alin yang sedang mengurus berkas pengajuan kerja sama dengan perusahaan Devan langsung meninggalkan pekerjaannya setelah mendapat kabar dari sang istri jika alergi yang diderita Alin kambuh. Sesampainya di rumah, lelaki itu mendapati sang istri tengah menangis di ruang sofa. "Mi, ayo kita berangkat ke rumah sakit sekarang!" ajak papi. "Anak kita, Pi. Mami takut terjadi sesuatu dengan Alin," ujarnya sambil memeluk papi. "Alin anak yang kuat, Mi. Dia tidak akan semudah itu rapuh. Bersiaplah, kita akan segera berangkat menyusul Alin." *** Mereka bergegas meluncur ke rumah sakit . Sesampainya di sana, keduanya langsung disambut oleh asisten Devan yang sengaja menunggu mereka di depan rumah sakit. "Tuan, Nyonya mari ikut saya ke ruangan Nona Alindra," ujar asisten Devan. Mereka berdua segera mengikuti langkah asisten Devan menuju ruangan tempat Alin dirawat. Sesampainya di ruangan, mami langsung mendekat ke sisi ranjang Alin. Wanita paruh baya itu menatap sendu putrinya yang m
Ancaman mama sukses membuat Devan diam tak berkutik. Selama ini Devan selalu menolak dijodohkan dengan alasan sudah mempunyai kekasih namun tidak pernah diajak ke rumah ibunya walau sang ibu selalu meminta untuk membawanya datang.“Iya Ma iya, pokoknya nanti deh Devan bakal secepatnya membawa kekasih Devan ke rumah utama,” jawab Devan menenangkan.“Jangan bohong lagi sama Mama, Van. Nggak baik lho terus menerus membohongi orang tua,” sindir sang ibu.Devan hanya cengengesan ketika menghadapi ibunya yang sedang mengomel. Tak berselang lama, pelayan datang memberi tahu jika makan siang sudah siap.“Ma, kita makan siang dulu, ya. Devan sudah lapar,” ajak Devan.Mereka bergegas menuju ke ruang makan. Saat sedang menikmati makan siang mereka, mami yang masih penasaran dengan wanita yang sempat diajak kencan oleh Devan kembali menanyakannya.“Van, sebenarnya siapa sih, Van wanita yang kamu ajak kencan semalam? Tadi Ma
Setelah mengatakan kalimat pedas itu, Devan langsung meninggalkan wanita itu sendirian di kafe. Dia bergegas menuju rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, dia segera menuju ruangan VVIP. Saat dia membuka pintu, dia melihat Alin sedang disuapi oleh ibunya. “Om, Tante, sudah lama di sini?” tanya Devan sambil menyalami kedua orang tua Alin. “Sudah sejak pagi tadi, Nak,” jawab papi mewakili. “Lin, bagaimana keadaan kamu sekarang?” tanyanya lembut pada Alin. “Sudah jauh lebih baik, Mas. Kata Dokter besok sudah bisa pulang,” jawab Alin. “Syukurlah kalau begitu." Devan lalu beralih menatap kedua orang tua Alin bergantian, "Om, Tante maafkan saya karena lalai menjaga Alin. Ke depannya saya akan memastikan kejadian seperti ini tidak akan terjadi lagi,” ucap Devan memohon. “Tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri, Mas. Andai aku tahu jika di makanan yang aku makan tadi malam ada udangnya aku pasti nggak akan makan kok. Ini bukan kesalahanmu, Mas!” ujar Alin menenangkan. “Sebaiknya meman
Wanita itu terkesiap melihat kedatangan Devan. Dia langsung berdiri dari duduknya dan berusaha terlihat ramah. “Maaf, aku ke sini atas permintaan Tante Ratna, Kak!” jawabnya.“Sekali lagi kutegaskan, aku bukan kakakmu.”“Ma-af, Tuan,” ucapnya menunduk.“Satu lagi, bukankah katamu kau akan berangkat ke luar negeri? Kenapa masih di sini?” Gadis itu menggigit ujung bibirnya, “Aku menunda keberangkatanku hingga besok,” cicitnya sambil menunduk.“Pelayan!” teriak Devan dengan menggelegar.Salah satu pelayan tergopoh-gopoh menghadap Devan.“Siapa yang menyuruhmu mempersilahkan masuk tamu tidak dikenal?” tanya Devan garang.“Maaf, Tuan, Nyonya Besar yang menyuruh saya membukakan pintu. Saya mohon Tuan, jangan pecat saya,” ucap pelayan itu dengan nada memohon.“Ya sudah lanjutkan pekerjaanmu!” “Terima kasih, Tuan.” Pelayan itu berlalu dari hadapan Devan dengan kelegaan yang luar biasa.Diam-diam gadis itu mengepalkan tangannya. Sedangkan Devan langsung berlalu mencari ibunya tanpa menghira
Mereka semua terkekeh dengan candaan yang dilontarkan mama Devan. Setelah dipersilahkan duduk, mama Devan segera menyuruh pelayan membuatkan minuman dan camilan. “Kamu usianya berapa, Nak Alin?” tanya mama. “Baru jalan 23 tahun, Tante,” jawab Alin menunduk. “Wah masih belia, ya. Kami yakin mau menerima anak Tante yang sudah bujang lapuk itu?” sindir mama pada anaknya. “Mama, jangan gitu dong. Masa anak sendiri di katain bujang lapuk?” ujar Devan protes. “Iya, Tante saya akan menerima Mas Devan dengan segala kekurangannya.” “Kamu jangan gugup gitu dong, Sayang. Tante nggak akan makan kamu kok, tenang saja!” ujar mama Devan mencairkan suasana. Mereka berbincang hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan jam makan siang. “Lin, makan siang di sini saja ya. Tante sudah menyuruh pelayan memasak banyak tadi. Ayo ayo kita kita ke ruang makan.” “Iya, Tante.” Mama Devan menggiring Alin ke ruang makan dan mengabaikan Devan yang masih ada diantara mereka. Di ruang makan pun, mama Devan se
Alin mendongak kala Rendra mendekat ke tempat duduknya hanya untuk melontarkan kalimat ejekan. “Memangnya apa urusanmu hingga kau harus repot mengomentari setiap aktivitasku?” tanya Alin balik. “Santai saja Lin tidak usah emosi begitu, dong. Untuk apa kau datang ke perhiasan mahal seperti ini? Kau tidak akan mampu membeli perhiasan semahal ini!” ejek Rendra. Alin tersenyum sinis menghadapi hinaan Rendra. Dia masih tampak menunggu lelaki itu mengucapkan kalimat selanjutnya. Sementara Rendra yang melihat banyak model perhiasan yang sedang dipilih Alin semakin getol untuk mempermalukannya. “Lihatlah, kau bahkan sampai menyuruh pelayan mengambil beberapa model perhiasan? Hei, kamu itu sudah miskin, Lin, apa kau sudah lupa? Mbak saya mau membeli cincin yang dipegang oleh wanita itu,” tunjuknya pada perhiasan yang dipegang Alin. “Tidak bisa, aku yang mengambilnya terlebih dahulu. Jadi kau tidak boleh merebut pilihanku!” ujar Alin dingin.“Hei sadarlah Nona, kau tidak akan mampu membayar
Tangan Alin mengepal dengan fitnah yang Rendra ucapkan. Dia tak mengira Rendra akan sejauh ini menyakiti perasaannya.“Hati-hati dengan ucapanmu, Tuan Rendra. Jangan sampai fitnahmu hari ini menjadi bumerang untukmu di kemudian hari,” ucap Devan mengingatkan.“Aku tidak memfitnah, Tuan. Aku mengatakan yang sebenarnya!” ujar Rendra berkilah.“Sayangnya saya tidak akan semudah itu percaya dengan semua pengakuan Anda. Saya tahu Alin bukan wanita murah yang dengan suka rela akan menyerahkan tubuhnya pada lelaki tak berpendidikan seperti Anda.” Devan langsung menoleh ke arah pelayan yang masih memegang kotak perhiasan dan cincin yang dipilih Alin. “Segera siapkan pesanan calon istri saya sekarang!” perintahnya.“Baik, Tuan.” “Sayang pokoknya aku mau perhiasan yang itu. Aku nggak mau yang lain,” rengek kekasih Rendra tiba-tiba.“Iya Sayang kamu tenang dulu ya. Aku akan memberikannya untuk kamu,” ujar Rendra sambil menoel p
Keesokan paginya, Alin tengah bersiap menemui sahabatnya untuk membahas kerja sama yang sempat mereka rencanakan beberapa bulan sebelum perusahaan papi Alin bermasalah. Mereka membuat janji temu di cafetamia.“Hay, Lin sudah lama ya di sini?” sapa sahabat Alin ramah.“Oh hay Nov, aku baru datang kok. Duduk gih, aku panggil waiters lagi ya,” tawar Alin diangguki sahabatnya.Mereka mulai fokus membahas bisnis yang akan mereka jalankan.“Jadi gimana, Nov? Kita jadinya bisnis apa?” tanya Alin.“Kenapa kita nggak mencoba buat bisnis skincare sama pakaian saja, Lin? Soalnya kalau dilihat-lihat fashion dan skincare itu nggak akan pernah ada habisnya, Lin. Kaum milenial zaman sekarang tidak pernah meninggalkan skincare dan outfit,” sanggah sahabat Alin.Alin tampak berpikir sejenak, “benar juga yang kamu katakan, Nov. Tapi kita juga harus memikirkan risiko yang mungkin terjadi jika kita bergerak di bidang fashion, Nov. Kita harus mengikuti kiblat fashion zaman sekarang, sedangkan kalau kita