Wanita itu terkejut saat melihat Alin keluar dari ruang kerja Devan. Sedangkan Devan hanya menyunggingkan senyum samar saat melihat sorot kemarahan di mata Alin. “Alin, apa yang kamu lakukan disini? Berani-beraninya masuk ke ruangan pribadi Tuan Devan!” “Kenapa aku harus takut masuk ke ruangan pribadi Mas Devan? Sebentar lagi, pimpinanmu ini akan menjadi suamiku. Jadi aku bebas melakukan apa pun di sini. Sebaiknya jagalah sikapmu mulai saat ini aku tidak akan membiarkan siapa pun di sini merangkap menjadi jalang!” ucap Alin penuh penekanan. Karyawan itu mengepalkan tangannya hingga uratnya terlihat. Dia tersinggung dengan ucapan pedas yang dilayangkan Alin kepadanya. “Menikah dengan Tuan Devan, Lin? Apa kau sedang bermimpi? Tunggu sebentar, bukannya kau baru saja putus dari Rendra? Kenapa bisa cepat sekali mendapat pengganti hanya dalam hitungan hari?” tanya karyawan itu dengan nada mengejek. Alin tertawa kecil, “apa yang tidak mungkin di dunia ini? Kalian saja yang dulu terlihat
Devan bangkit dari duduknya dan mendekati Alin yang masih berdiri diujung meja. Dia tersenyum penuh arti ke arah Alin yang menegang. Glukk! Gadis itu meneguk ludahnya dengan susah payah. Dia meremas ujung bajunya dengan kencang. “A-apa yang kamu inginkan, Mas?” tanyanya gugup. “Ayo pulang sekarang!” ucap Devan dari jarak dekat. Alin menghembuskan nafas lega saat Devan mengajaknya pulang. “Huh selamat,” ucapnya. “Apa kau pikir aku akan mencelakaimu?” tanya Devan tiba-tiba. “Eh ti-tidak Mas,” jawab Alin tergagap. *** Devan menggandeng tangan Alin saat mereka turun ke lobi kantor. Banyak karyawan yang berbisik mempertanyakan wanita yang ada di samping bos mereka. Tak sedikit pula yang melayangkan tatapan penuh permusuhan pada Alin karena berani menggandeng idola mereka. Alin dan Devan kompak bersikap cuek dengan beberapa karyawan yang sedang memperbincangkan mereka. Mereka terus berjalan sampai ke depan, namun saat hendak masuk ke dalam mobil, tiba-tiba Devan menerima panggilan
Alin seketika menoleh ke sumber suara begitu pun dengan Devan. Alin langsung mendapat ide untuk memberi wanita tua ini sedikit pelajaran. “Memangnya Anda ini siapa sampai berani mengusir saya? Apa Anda pemilik butik ini?” tanya Alin penuh ketenangan. “Aku memang bukan pemilik butik tapi ini adalah butik langgananku. Dan aku tidak suka jika kau berada di butik langgananku. Mengotori pemandangan saja!” jawab orang itu pedas. “Kenapa Anda terlihat kesal dengan kedatangan saya, Nyonya? Padahal sedari tadi Anda yang lebih dahulu mendekati dan menyerang saya,” balas Alin. “Karena kau itu hanya orang miskin yang tidak sepantasnya berada di sini. Untung saja cucuku segera memutuskan hubungan kalian,” ucap orang itu dengan angkuh. “Anda ini sombong sekali, Nyonya. Baru menjadi orang kaya sebentar saja sudah bersikap seperti itu. Seharusnya Anda malu dengan rambut Anda yang sudah memutih itu!” ucap Devan tiba-tiba. Alin tak mengira Devan akan berkata tajam pada wanita tua di sebelahnya ini
Alin terdiam saat ibunya mempertanyakan batinnya. Tidak mungkin dia mengatakan yang sesungguhnya pada sang ibu.“Aku sedang berusaha merangkai kebahagiaan, Mi. Doakan aku agar bisa meraihnya,” ujar Alin pada sang ibunda.“Selalu, Nak. Mami akan selalu mendoakan yang terbaik untuk putri cantik Mami,” jawab mami.***Hari beranjak siang, Alin yang sedang bersantai di kamarnya sambil mengerjakan pekerjaannya di depan laptop mendadak menghentikan aktivitasnya kala Devan terus menerus melakukan spam chat dan meneleponnya berkali-kali.“Orang ini kenapa sih selalu menelepon?” gerutu Alin sambil mengangkat panggilan.TutttAlin menekan tombol dan menjawab panggilan dari Devan.Alin : “Halo, ada apa Mas? Aku tidak kemana pun seharian ini.”Devan : “Aku tidak bertanya. Segera ke sini dan bawakan aku makan siang. Jangan lupa itu tugasmu!” Alin : “Jadi kamu memberondongku dengan banyak pesan dan panggilan hanya karena itu?”Devan : “Ya. Sudah jangan banyak bicara, segeralah berangkat. Ingatlah
Alin memutar bola matanya saat mengetahui sang lawan bicara ternyata kerabat mantan kekasihnya. “Mas ayo kita cari gaun lain saja, aku sudah tidak tertarik dengan gaun ini,” ajak Alin pada Devan. Dia lalu menarik tangan Devan meninggalkan orang itu sendirian di sana. Devan memilih menunggu Alin di sofa sambil bekerja. Tanpa di sadarinya, wanita itu kembali mengikuti Alin. Saat Alin kembali memilih gaun yang disukainya, wanita tersebut kembali menyerobot apa yang Alin pilih.“Nyonya, aku tidak jadi memilih mode tadi. Aku menginginkan gaun yang dipilih oleh wanita ini saja,” tuturnya.Alin menatap tajam wanita yang selalu mengambil gaun-gaun pilihannya. Dia merasa perlu memberi pelajaran pada wanita yang tidak punya rasa malu ini.“Sebenarnya apa yang kau inginkan? Kenapa kau terus saja merebut gaun yang sudah kupilih?” tanya Alin jengkel.“Karena aku merasa seleramu cukup bagus, jadi aku berpikir sebaiknya aku akan mengambil semua baju pilihanmu,” jawab wanita itu santai.“Berarti se
Gigi Rendra bergemelatuk mendengar ejekan Alin. Niat hati ingin memanasi mantan dengan di hari bahagianya, ternyata malah dia sendiri yang terbakar. “Jaga mulutmu Lin!” desis Rendra. “Jangan pernah mengancam calon istriku, dasar penjilat!” ujar Devan penuh sarkas. Mereka juga menyalami kedua orang tua Rendra secara bergantian. Namun kata-kata pedas kembali didapat Alin dari kedua orang tua Rendra. “Berani juga kau datang ke acara ini, Nak?” tanya ayah Rendra. “Apa Anda berharap saya akan menangis darah ketika menyaksikan Rendra menikah dengan orang lain? Jangan mimpi!” jawab Alin angkuh. “Sombong sekali kau sekarang, Lin. Baru juga bisa digandeng pengusaha sukses saja sudah sombong. Ingat kau itu hanya orang miskin, bisa saja Tuan Devan membuangnya setelah kebutuhannya terpenuhi. Malang sekali nasibmu,” ujar ibu Rendra pedas. “Aku yang sombong tapi kenapa kalian yang panas? Bukankah tidak ada masalahnya dengan kalian? Atau kalian sebenarnya iri karena aku mendapatkan yang jauh l
Mertua Rendra terkejut dengan ucapan kasar yang dilayangkan Rendra terhadap Alin. Dia tidak menyangka menantunya sekasar itu dalam memperlakukan wanita. “Rendra, jaga ucapanmu! Jangan berlaku kasar dengan wanita!” tegur mertuanya. “Wanita tidak tahu diri seperti dia memang pantas mendapatkannya, Pa!” jawab Rendra. “Bagaimanapun sifat wanita, kamu tidak boleh berlaku kasar. Apa jangan-jangan memang seperti ini karaktermu sesungguhnya? Aku jadi ragu jika kau tidak akan bisa bersikap lembut pada putriku,” ujar mertua Rendra was-was. “Ti-tidak, Pa. Mana mungkin aku berani menyakiti dan berlaku kasar pada istriku. Aku akan memperlakukannya dengan lembut dan akan selalu meratukannya, Pa. Aku berjanji tidak akan memberinya penderitaan secuil pun," ujar Rendra merayu. Ali memutar bola matanya saat mendengar alasan Rendra. Dia yang sudah sangat hafal dengan karakter Rendra merasa jengah dengan berbagai drama yang diperlihatkan Rendra agar terlihat baik di depan orang lain. "Yang benar saj
Seluruh keluarga terkejut dengan permintaan mertua Rendra. Lelaki itu langsung bersujud di kaki mertuanya untuk meminta pengampunan.“Tidak, Pa jangan memaksaku menceraikan Fara. Aku sangat mencintainya dan aku tidak mau kehilangan Fara, Pa. Aku mohon jangan pisahkan kami,” jawab Rendra sambil terus memegang kaki mertuanya.“Tapi aku tidak mau lagi denganmu, Mas. Alin saja bisa dengan mudah kau bodohi, kau bohongi, apa lagi aku. Aku tidak mau hidup dengan lelaki pendusta dan gila selangkangan!""Tutup mulutmu, Fara. Kau sendiri juga dari awal juga sama saja dengan Rendra. Harusnya kau sendiri berkaca sebelum menyebut orang lain sebagai pendusta!" ujar paman Rendra."Hentikan perdebatan kalian. Apa kalian pikir dengan adu mulut bisa menyelesaikan masalah yang sudah terlanjur terjadi?" tanya ayah Rendra–dia melihat satu per satu orang yang ada di ruangan itu. Dia lalu memandang menantunya dengan tatapan permohonan, "tolong, Nak demi menyelamatkan nama baik keluarga jangan meminta cerai