Share

Marah

Mama Alin tidak serta merta langsung mempercayai jawaban Alin. Yang dia tahu, selama ini kekasih Alin sangat menyayangi anaknya.

"Kamu jangan bercanda, Nak!” tegur mami.

"Aku tidak bercanda, Mi. Aku mengatakan yang sebenarnya," jawab Alin.

"Tapi kenapa, Nak? Bukankah kalian sebentar lagi akan melaksanakan lamaran?"

Bibir Alin mendadak kelu saat hendak menjawab pertanyaan maminya. Dia sangat berat mengatakan alasannya pada maminya.

"Apa Rendra berselingkuh di belakangmu?"  tanya Rita memicing.

Degg!

Alin tersentak dengan pemikiran maminya yang tepat sasaran. Alin menghela nafasnya dengan panjang. Dia berusaha tenang dan merangkai kalimat yang tepat agar maminya tidak terpancing emosi. 

"Benar, Mi. Mas Rendra bahkan telah mengakhiri hubungan kami tadi malam, tepat di depan seluruh keluarganya," jawab Alin dengan tenang.

Brakk!

Mami Alin menggebrak meja dengan keras. Dadanya bergemuruh menahan amarah yang sudah membuncah. 

"Bukankah selama ini mereka yang selalu menginginkan kalian agar segera mengikat hubungan?"

"Iya, Mi. Tapi itu dulu, sebelum keluarga kita bangkrut," jawab Alin sendu.

"Kurang ajar si Rendra, berani-beraninya dia mempermainkan dan merendahkanmu di depan keluarganya. Lihat saja, Mama akan ke sana untuk memberinya perhitungan," ujarnya penuh amarah.

"Tidak, Mami jangan nekat ke sana. Alin nggak mau jika sampai kehadiran Mami di sana malah membuat mereka semakin menginjak harga diri Mami dan Papi. Cukup Alin saja yang mereka hina, Alin nggak rela jika Mami dan Papi juga ikut mereka rendahkan," ucap Alin mencegah.

Wajah mami Alin berubah menjadi sendu. Dia menatap putrinya yang tetap tegar walau sangat terlihat memendam kesedihan dan kekecewaan.

"Lin, kenapa mereka tega melakukan ini pada padamu, Nak? Padahal dulu keluarga kita selalu membantu mereka saat orang lain tidak peduli pada keluarga mereka," ujar Mami Alin.

"Ma, selama ini mereka tidak pernah benar-benar tulus dengan keluarga kita, Ma. Dulu, mereka mendekat karena keluarga kita masih punya power, Ma. Tapi setelah usaha keluarga kita diambang kebangkrutan, mereka mulai menunjukkan perangai asli mereka pada keluarga kita," jawab Alin menimpali.

Mami Alin langsung memeluk putrinya dengan sangat erat. Dia sangat sedih dengan nasib malang putrinya diperlakukan seperti sampah.

"Mami tahu Nak, kamu pasti sangat hancur saat ini. Menangislah Nak, keluarkan semua kekecewaanmu. Jangan dipendam dan ditahan lagi," ucap Mami Alin.

Alin menumpahkan semua air matanya dipelukan sang ibunda. Dia benar-benar mengeluarkan semua kekecewaan yang dia rasakan.

***

Sementara itu, Papi Alin yang baru saja pulang sedikit heran melihat dua wanita yang sangat dia cintai sedang berpelukan. Terlebih, saat ia melihat putrinya yang menangis di pelukan istri tercinta.

"Ma, kenapa Alin menangis?" tanya Papi penasaran.

Alin dan maminya segera melepaskan pelukannya begitu mendengar suara kepala keluarga itu mendekat ke arah mereka. 

"Rendra, Pi! Tega-teganya, dia mencampakkan Alin dan menginjak harga diri kita di depan keluarganya setelah tahu keluarga kita bangkrut, Pi. Mami nggak terima putri kita diperlakukan seperti sampah!" seru Mami penuh emosi.

Papi mengepalkan tangannya untuk menyalurkan emosi yang dia pendam. Ia menghela nafasnya dengan panjang melihat kekecewaan sang istri. Lelaki itu juga melirik Alin yang tengah mengusap air matanya.

"Papi sudah mengetahui tentang hal ini, Mi. Jujur saja, Papi sendiri juga sangat terkejut dengan sikap keluarga mereka yang berubah dalam waktu singkat. Apa lagi, dulu mereka selalu menggaung-gaungkan putri kita sebagai calon menantu mereka," ucap Papi menahan amarah.

"Dari mana Papi tahu kalau Rendra sudah membuangku, Pi?" tanya Alin tiba-tiba.

"Papi punya beberapa relasi yang masih berhubungan baik dengan Papi. Jadi tidak sulit untuk mendapatkan informasi apapun," jawab Papi sambil menatap lurus ke depan. 

"Lalu bagaimana dengan nasib anak kita sekarang, Pi? Mami nggak sanggup melihat Alin bersedih seperti ini," ucap mami Alin sambil merangkul pundak putrinya.

Papi menoleh ke arah Alin yang masih sesekali menyeka air matanya. Dia tampak mengamati perban yang melingkar di kepala Alin.

"Kepalamu kenapa diperban, Nak?"

"Tadi malam habis tertabrak mobil, Pa. Tapi nanti pasti juga sembuh sendiri kok," jawab Alin dengan cepat.

"Pantas saja kamu tidak pulang semalam," ujar papi dengan tenang.

Melihat suaminya sikap yang tetap tenang saat melihat putrinya terluka membuat mami Alin sedikit terusik. Namun dia hanya bisa menahannya karena dia yakin sang suami pasti punya rencana tersendiri.

"Maafkan Alin, Pi, Mi," ucap Alin menunduk.

"Nak, coba lihat mata Papi sekarang!"

Alin mendongak menatap bola mata papinya yang setajam elang.

"Kamu boleh bersedih dan patah hati, Nak. Tapi jangan sampai kesedihanmu membuatmu menjadi hancur. Jangan membuang waktumu untuk menangisi bajingan itu, Nak. Masih ada kami yang akan terus menyayangimu melebihi apa pun," ucap papi menasihati.

Papi lalu menghapus air mata yang masih tersisa di pipi Alin. Dia juga memeluk putrinya dengan penuh kasih sayang.

"Papi tidak akan membiarkan siapapun menyakiti putri kecil Papi, Lin. Berjanjilah jika ini adalah air mata terakhirmu untuk bajingan itu," ujar papi dengan tenang.

"Alin janji Mi, Pi, Alin nggak akan menangisi bajingan itu lagi. Alin akan membalas perbuatan mereka dan membuat mereka menyesal sudah merendahkan Mami dan Papi," ucap Alin bersungguh-sungguh.

"Bagus, itu baru putri Papi."

Tiiinnnn!

Tiiinnnn!

Tiiinnnn! 

Perhatian ketiganya teralihkan saat mendengar bunyi klakson terdengar dari luar rumah.

"Pi, sepertinya ada yang datang bertamu," kata Alin.

"Siapa yang bertamu? Seingat Papi tidak ada teman Papi yang akan ke sini," jawab Papi.

"Biar Mami saja yang membuka pintunya, Lin. Kamu duduk saja!" ucap Mami Alin ketika putrinya hendak berdiri membuka pintu.

Alin hanya mengangguk menuruti perintah ibunya. Mami Alin segera ke depan untuk membuka pintu, namun alangkah terkejutnya dia ketika melihat banyak bodyguard yang berjaga di depan.

"Maaf, ada perlu apa kalian datang ke mari, Tuan?" tanya Mami Alin hati-hati.

Seorang lelaki berkacamata hitam tampak ke luar dari mobil mewahnya dan berjalan ke arah mami Alin yang berdiri mematung.

"Aku datang untuk menjemput calon istriku." 

Mami Alin tersentak dengan pernyataan lelaki itu. Pikirannya menerka-nerka tentang calon istri lelaki di depannya ini.

'Sepertinya aku pernah melihat orang ini, tapi di mana? Siapa sebenarnya yang orang ini cari?' batinnya sambil memindai lelaki di depannya.

"Apa Anda akan membiarkan tamu Anda tetap berdiri di depan pintu, Nyonya?" 

Mami Alin tersentak dengan teguran lelaki itu, dia segera mempersilahkan lelaki itu untuk masuk ke dalam. Mami Alin segera menghampiri suaminya yang sedang duduk bersama putrinya.

"Pa, ada tamu aneh. Masa dia mencari calon istrinya di sini?" ucap mami Alin sedikit berbisik.

Belum sampai papi menjawab ucapan mami Alin, mereka dikejutkan dengan suara bariton yang menggema di seluruh ruang tamu.

"Selamat siang, Tuan Wira. Apakah saya mengganggu waktu Anda, Tuan?" 

"Tu-Tuan Devan, kenapa Anda ke sini?" panik Wira.

"Kenapa Anda sangat terkejut, Tuan? Tenangkan dirimu, kedatanganku saat ini bukan untuk menagih jawabanmu. Aku datang untuk menjemput calon istriku karena nanti malam aku akan mengajaknya bertemu dengan beberapa klienku," ucap Devan datar.

Tatapannya tak sengaja bertemu dengan gadis yang ia cari. Sementara itu, Alin hanya bisa menahan diri untuk mengendalikan ekspresi terkejutnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status