Share

Showtime!

"Calon istri?" tanya mami Alin membeo. "Tunggu, sebenarnya siapa yang Anda maksud sebagai calon istri, Tuan?" 

"Dia!" Devan menunjuk Alin yang berdiri mematung.

Baik papi maupun mami Alin sangat terkejut terlebih melihat Alin yang tidak menunjukkan reaksi apapun.

"Lin, apa benar yang dikatakan Tuan Devan, Lin?" tanya mami tidak percaya.

"Benar, Mi, Pi. Maafkan Alin karena belum sempat membicarakan hal ini pada kalian berdua. Alin terpaksa—"

Ucapan Alin terpotong saat Devan menginterupsi.

"Bagaimana, Papa Mertua? Anda bisa melihat sendiri kan kalau putri Anda juga menginginkan pernikahan ini terjadi?" tanya Devan menyunggingkan senyum.

"Jadi, sebenarnya kalian sudah saling mengenal sebelumnya?" tanya papi dengan cepat.

Lelaki paruh baya itu melirik putrinya yang masih menunduk. 

"Iya, Pi. Baru tadi malam," cicit Alin.

"Baru tadi malam?" Papi menghela nafasnya, "Nak, apakah kamu benar-benar yakin dengan keputusanmu ini?" tanya papi lagi.

"Iya, Pi aku yakin dengan keputusan yang sudah aku ambil. Seperti kata Tuan Devan jika kesempatan tidak akan datang dua kali. Aku akan membuktikan pada Rendra dan keluarganya jika mereka sudah mengusik orang yang salah," jawab Alin dengan mantab.

"Pi, sebenarnya ada apa dengan kalian berdua? Apa yang sudah kalian sembunyikan dari Mami?" tanya Mami penasaran. 

Atas persetujuan Devan, akhirnya papi menjelaskan pada mami perihal tawaran yang diberikan Devan padanya hari ini. 

"Tidak, Mami tidak setuju, Pi. Bagaimana mungkin kamu mau mengorbankan putri kita hanya demi menyelamatkan perusahaan?" Mami beralih melihat putrinya dan Devan bergantian, "kalian berdua juga, apa kalian pikir menjalani pernikahan itu mudah? Pernikahan itu berat, jangan sampai kau membuat putriku sengsara hanya karena menuruti egomu semata!" ujarnya pada Devan.

"Begini Nyonya, walau kami baru saling mengenal tapi saya yakin bisa bertanggung jawab terhadap Alin. Anda tenang saja Nyonya, saya tidak akan menelantarkan putri Anda. Saya akan menjamin semua kebutuhannya bahkan bila perlu saya juga akan memberinya fasilitas dan kemewahan melebihi apa yang kalian berikan padanya," tukas Devan.

"Tapi ini bukan tentang fasilitas dan kemewahan, Tuan Devan yang terhormat!" ucap mami penuh penekanan.

"Mi, sudah Mi. Percayalah sama Alin, Mi. Alin sudah memikirkan semua ini dengan matang, Mi. Demi keluarga kita, demi harga diri Mami dan Papi," sahut Alin menenangkan ibunya.

"Lin, jangan memaksakan dirimu hanya demi mengembalikan nama baik keluarga kita. Mami dan Papi masih bisa mengatasi ini, Nak. Tidak baik menjalani pernikahan dengan keterpaksaan," ucap mami menasehati.

"Tidak ada rasa terpaksa dalam diri Alin, Mi. Tong berikan restu Mami dan Papi kepada kami," ucap Alin memohon.

"Pi kamu jangan langsung menyetujui rencana gila mereka dong, Pi. Menikah itu perlu persiapan yang matang sedangkan keluarga kita saja masih dalam kondisi seperti ini," ucap mami pada papi.

"Mi, putri kita sudah beranjak dewasa. Yakinlah jika pilihannya saat ini sudah benar. Dan kita sebagai orang tua harus mendukung keputusan anak kita, Mi," jawab papi.

Dengan berat hati, akhirnya mami menerima keputusan Alin. Sedangkan Devan melirik arloji mahalnya. Baginya waktu adalah uang dan dia sangat pantang membuang waktu.

"Alin segera ikut saya sekarang juga, saya izin membawa Alin pergi. Waktu saya sudah terbuang banyak karena hal ini," ucap Devan tanpa bisa dibantah.

Ketiganya terdiam.

Meski khawatir, akhirnya, mami dan papi mengizinkan Devan membawa Alin. 

Hanya saja, sepanjang perjalanan, keduanya saling diam tanpa ada yang memulai pembicaraan.

Devan terus fokus menatap tabletnya, sedangkan Alin memandang luar jendela. Dia menatap anak-anak kecil yang tengah berdiri dan meminta-minta.

"Apa yang sedang kamu pikirkan? Jangan melamun, tidak baik untuk kesehatan jiwamu."

Alin terkesiap mendengar kalimat yang diucapkan Devan. 

"Aku tidak sedang melamun. Aku hanya sedang menikmati suasana saja," ujar Alin beralasan.

"Terserah kau saja!" Devan kembali fokus ke tabletnya.

"Kita mau ke mana?" tanya Alin tiba-tiba.

"Ke salon kecantikan," jawab Devan singkat.

"Untuk apa kita ke sana?" bingung Alin.

"Untuk mendandanimu, Nona. Jangan lupa jika nanti malam kamu harus menemaniku menemui klienku. Jadi aku ingin kamu harus tampil cantik paripurna," ujar Devan tanpa memandang Alin.

"Tapi kan aku bisa dandan sendiri Tuan!" 

Devan mulai jengah dengan setiap pertanyaan dan sanggahan yang Alin lontarkan. 

"Sebaiknya diamlah, jangan banyak protes. Aku tidak suka kamu terlalu banyak bicara," ucap Devan dingin.

Mendengar itu, Alin langsung mengunci mulutnya. Ini kali pertama ia melihat pria itu berbicara amat serius padanya.

Jujur saja, Alin bahkan sempat lupa jika pria di hadapannya itu jauh di atasnya dan terkenal sebagai pengusaha bertangan emas.

Untungnya, tak butuh lama, mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah salon kecantikan ternama.

Devan langsung turun dan menemui di pemilik salon tersebut yang mendadak heboh karena kehadiran bujangan paling diinginkan di kota itu.

"Astaga Tuan Devan, kenapa Anda tidak mengabari dulu jika akan ke sini?" tanya pria gemulai itu dengan genit.

"Berikan paket perawatan terbaik untuk calon istriku, layani dia dengan baik dan pastikan calon istriku puas dengan pelayanan salon ini. Aku ingin kau membuatnya menjadi berbeda. Kau punya waktu hingga sore nanti untuk membuatku terpukau dengan tangan dinginmu itu!" ucap Devan tanpa basa basi.

"Tuan Devan, kau selalu saja bersikap seperti kulkas. Tapi aku senang karena sebentar lagi Anda akan menikah. Akhirnya seorang Tuan Devan akan segera melepas masa lajang. Baiklah, aku akan bikin si cantik ini menjadi lebih cantik lagi," jawab si pria gemulai itu dengan semangat.

"Sudahlah jangan banyak bicara dan segera lakukan tugasmu dengan baik!" ucap Devan dingin.

Ia bahkan langsung meninggalkan Alin bersama pria gemulai tadi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sebenarnya, ada beberapa pekerjaan yang harus dia selesaikan di perusahaan.

Di sisi lain, Alin hanya bisa pasrah ketika dibawa oleh lelaki gemulai itu ke sebuah ruangan untuk melakukan perawatan rambut terlebih dan perawatan lainnya.

Pelayanan yang diberikan di salon itu benar-benar membuat Alin terlena.

"Bagaimana dengan pelayanan kami, cin?" tanya pria gemulai itu.

"Pelayanan kalian sangat bagus Kak, saya sangat suka," puji Alin jujur.

"Wah terima kasih cin. Kamu beruntung deh bisa mendapatkan hati Tuan Devan. Dia itu pokoknya paket lengkap deh. Sudah tajir melintir, royal lagi. Sayangnya sampai usia hampir kepala empat masih betah saja dia melajang," ujar lelaki gemulai itu jujur.

Alin mulai tertarik dengan topik yang dibicarakan orang ini dengannya. 

"Jadi Anda ini sudah mengenal Tuan Devan sejak lama ya?" tanya Alin penasaran.

"Iya cin, dulu waktu salon ini hampir gulung tikar Tuan Devan yang nolongin buat kasih modal sampai akhirnya salon ini bisa berdiri lagi sampai sekarang. Walau orangnya dingin, tapi sebenarnya dia sangat baik lho cin," jawab lelaki gemulai itu penuh semangat sembari melanjutkan berbagai perawatan untuk calon Nyonya Bimantara itu.

Tak terasa, Alin berada di salon itu sampai sore tiba. 

Dia bahkan sudah didandani secantik mungkin oleh pemilik salon tersebut sesuai permintaan Devan. Tak lupa dia juga memakai gaun yang sudah dipesan Devan dan langsung dikirimkan ke salon itu siang tadi.

"Pantas saja Tuan Devan sampai tergila-gila, ternyata cantiknya memang nggak ketulungan. Tuan Devan pasti pangling dengan hasil karyaku," puji pria gemulai itu setelah melihat hasil polesannya.

Alin tersipu mendengar pujian orang di depannya ini.

Benar saja, Devan yang baru sampai pun sampai tidak mengedipkan matanya saat melihat Alin. Tatapannya tampak sangat terlihat memuja kecantikan Alin.

"Kamu terlihat sempurna," ucapnya terpana.

"Bagaimana Tuan? Apakah Anda puas dengan pelayanan saya?" tanya lelaki gemulai itu memancing.

"Saya sangat puas, saya akan bayar lima kali lipat untuk pekerjaan kamu hari ini!" tegas Devan.

Lelaki gemulai itu nampak kegirangan. Tidak sia-sia usahanya hari ini karena Devan selalu memberinya bayaran yang tinggi.

Sedangkan Devan, ia langsung menggandeng tangan Alin dan mengajaknya segera pergi dari tempat itu. Mereka pergi ke sebuah restoran mewah untuk menemui klien Revan.

Hanya saja, saat hendak ke luar mobil, Devan mendadak menatap Alin dalam.

Semburat merah muncul di wajah perempuan itu. "Ke--kenapa?"

"Jaga sikapmu selama di dalam nanti. Kalau tidak ada yang bertanya padamu, kau harus tetap diam," ujar Devan datar.

"Baik, Tuan."

"Tuan?" ulang Devan sedikit kesal. "Alin, kita ini pasangan. Jangan lupa panggil aku 'Mas'." 

"I-iya Mas," jawab Alin kaku.

Terlebih, kala menyadari "Mas Devan" tidak melepaskan genggaman tangannya sepanjang jalan ke dalam restoran.

Dan hal itu tentu saja menarik perhatian beberapa pengunjung yang mengenal Devan.

Alin sedikit kurang nyaman dengan tatapan beberapa wanita berkelas yang terlihat seperti ingin memakannya saat ini. Namun, Devan tetap cuek dan tidak mempedulikannya.

Ceklek!

Pelayan membukakan pintu di ruangan yang sudah dipesan.

Namun, langkah Alin terhenti setelahnya. Ia terpaku melihat lelaki yang telah menunggu mereka.

"Alin, apa yang kamu lakukan di sini?" 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Destin Wijaya
epepghhhhgggcccccvgvvvvvv
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status