Pria itu sebenarnya sudah menduga jika Alin akan menolak bekerja sama dengannya. Tapi, Devan tidak punya pilihan lain karena ia tak punya punya banyak waktu. Jadi, dia akan mengeluarkan kartu as-nya untuk membujuk Alin agar menyetujui tawarannya.
"Tenang saja, saya akan menjamin jika kamu akan diuntungkan dengan adanya pernikahan kontrak ini. Apa kamu tidak ingin membalas dendam dan menghancurkan mereka yang sudah menginjak harga dirimu karena keluargamu bangkrut? Apa kamu tidak ingin membuktikan pada keluarga mantanmu kalau kamu bisa bangkit dan mengalahkan mereka?"
Alin memicingkan matanya, dia menduga Devan menyimpan rahasia yang Alin belum ketahui.
"Dari mana Anda tahu tentang permasalahan hubungan saya dengan kekasih saya? Sepertinya Anda sudah mengulik tentang kisah percintaan saya ya rupanya? Apakah Anda memang sudah mencari tahu terlebih dahulu?" tanya Alin memastikan.
"Bisa dibilang begitu, aku sudah tahu semuanya!" jawab Devan.
"Katakan padaku, apa yang kau ketahui?" tanya Alin lagi.
Devan tiba-tiba tersenyum dengan arogan. "Aku tidak akan mengatakannya padamu saat ini karena belum saatnya kamu mengetahui semuanya. Dan saat kamu mengetahuinya, kamu pasti akan menyesal karena pernah menyimpan rasa dengannya. Yang pasti, lelaki itu tidak pantas bersanding denganmu dan sudah seharusnya kamu melepaskannya, Alin.”
“Tapi, tidak masalah. Jika kamu mau menerima tawaranku tadi, maka dengan senang hati aku akan membantumu memberi pelajaran berharga pada keluarga mantanmu dan juga membuat mereka menyesal telah mencampakkanmu, bagaimana?" sambungnya kemudian.
"Apa kau sedang mencoba bernegosiasi denganku? Sepertinya kau punya tujuan lain di sini," jawab Alin.
"Ya dan tentu itu tidak masalah, bukan? Apalagi kita akan saling diuntungkan di sini," ujar Devan mencoba memprovokasi.
“Sepertinya menarik, tapi apa hanya itu saja imbalan yang saya dapatkan? Sepertinya kerja sama ini sedikit memberatkan posisi saya di sini,” jawab Alin.
Sudut bibir Devan terangkat ke atas.
Sepertinya, dia salah menilai Alin. Walau terlihat lemah, tapi wanita ini sepertinya sulit untuk diperalat.
“Aku akan membantu perusahaan keluargamu untuk bangkit lagi jika kau bersedia menerima tawaranku tadi. Bukankah keluargamu saat ini sedang butuh banyak suntikan dana untuk kembali bangkit? Pikirkan itu baik-baik.”
Sudut alis Alin terangkat sebelah saat mendengar jawaban Devan. Dia tampak terdiam memikirkan tawaran yang Devan berikan.
"Boleh juga tawaranmu, tapi aku akan memikirkannya nanti. Sekarang tolong antarkan aku pulang ke rumah. Aku tidak mau kedua orang tuaku khawatir dengan keadaanku!" jawab Alin cepat.
"Tapi maaf aku tidak suka menunggu lama, kau harus memutuskannya sekarang juga, dan kau tidak boleh pulang malam ini. Kau harus tetap tinggal di sini setidaknya sampai besok pagi, dan ini perintah langsung dariku!" sanggah Devan sedikit kaku.
"Hei siapa kau beraninya mengatur hidupku? Jangan memaksa dan memerintahku karena kau bukan atasanku!" tolak Alin dengan lantang.
"Jangan lupakan jika aku calon suamimu, Alindra Puspita Notonegoro. Sekarang ini malam sudah larut, semua sopir di rumah ini sudah beristirahat dan aku tidak ingin mengganggu waktu istirahat mereka. Jadi sebaiknya kau harus mengerti! ucap Devan penuh penekanan.
"Tapi aku belum menyatakan setuju dengan tawaranmu tadi, jadi sebaiknya Anda tidak usah terlalu percaya diri dulu, Tuan!"
"Sayang sekali aku tidak menerima penolakan. Diammu tadi sudah kuanggap sebagai persetujuan. Mulai besok aku akan membuatkan beberapa poin kontrak kerja sama kita. Dan jangan lupa mulailah mengurangi sedikit saja sikap badungmu jika sedang bersamaku, aku tidak ingin image-ku tercoreng karena sikapmu. Apa kau paham?"
Mulut Alin menganga lebar, dia tidak habis pikir akan dipertemukan dengan lelaki tidak jelas seperti Devan ini.
"Dasar pemaksa,” ucap Anjani mengumpat. "Asal kau tahu aku tidak suka dipaksa, Tuan Devan!" sambung Alin sedikit berteriak. "Dan aku juga bisa pulang sendiri!"
"Sudahlah jangan banyak membangkang dan jangan berteriak, ini di rumah bukan hutan. Tidakkah kau mengerti jika sekarang ini sudah larut malam? Sebaiknya pergilah ke kamarmu dan beristirahat. Ingat kau baru boleh pulang besok," ucap Devan tak bisa dibantah.
Alin segera pergi dari ruangan Devan.
Brakkkkkk!
Dia membanting pintu ruang kerja Devan dengan sangat keras hingga membuat Devan refleks mengelus dada karena berjengit kaget.
"Gila, galak juga perempuan itu," gumamnya.
***
Di sisi lain, Alin masuk ke kamar yang tadi ia tempati dengan perasaan dongkol. Dia sangat menyesal telah dipertemukan dengan lelaki gila seperti Devan.
"Tuhan, kenapa Engkau mempertemukanku dengan lelaki gila seperti Devan?" Alin mengusap wajahnya dengan kasar.
Rasanya, ia ingin pergi dari sana. Hanya saja, karena tidak diperbolehkan pulang oleh Devan, Alin akhirnya menghubungi maminya jika dia akan menginap di rumah temannya.
Setelah selesai menelepon maminya, Alin melihat pantulan dirinya di cermin.
"Kamu cantik Lin, kamu terlalu berharga untuk disia-siakan manusia tidak tahu terima kasih seperti Rendra. Kamu harus bisa bangkit Lin. Kamu harus bisa membuat Rendra menyesal sudah mengkhianatimu!" gumam Alin mengafirmasi dirinya sendiri.
***
Tanpa terasa, malam pun telah berganti pagi.
Suara ketukan pintu membangunkan Alin dari alam mimpi.
Sebenarnya, Alin sangat malas bangun tapi berhubung ini bukan rumahnya jadi mau tidak mau dia harus segera bangun.
Dia mengucek matanya dan melihat jam dinding.
"Ternyata sudah jam enam." Alin segera membuka pintu karena orang dibalik pintu terus menerus mengetuk pintu tanpa mempedulikan apakah Alin terganggu atau tidak.
"Sebentar!"
Ceklek!
"Maaf ada apa ya ini?" tanya Alin setelah dia membuka pintu.
"Selamat pagi Nona, kami ditugaskan oleh Tuan Devan untuk melayani Anda, Nona!"
Alin menganga tak percaya. Baru kali ini dia mendapat perlakuan bak seorang ratu dari seseorang yang baru saja dikenalnya. Dia sangat Tanpa menunggu jawaban Alin, mereka langsung membawa perempuan 23 tahun itu masuk dan menggantikan pakaiannya dengan kimono.
Pelayan juga menaburkan bunga di bath up dan menyalakan lilin aromatherapy. Alin sangat menikmati semua treatment yang diberikan oleh pelayan suruhan Devan. Dia sampai tertidur saking nyamannya dengan pijatan yang dilakukan oleh beberapa pelayan itu.
Setelah selesai melakukan serangkaian perawatan diri, Alin dirias dengan riasan natural agar tampak lebih segar.
"Kak, apa tidak terlalu berlebihan fasilitas yang diberikan untuk saya? Saya ini hanya tamu lho di sini," tanya Alin heran.
"Tidak, Nona. Fasilitas ini memang sudah disediakan khusus untuk Nona Alin. Nah sudah selesai, Anda tampak begitu cantik, Nona," puji pelayan.
Dalam hati, Alin pun membenarkan perkataan sang pelayan. Setelah selesai berhias, dia segera turun ke bawah karena pelayan sudah memanggilnya atas perintah Devan.
"Permisi, Tuan. Saya sudah di sini,” ucap Alin sambil berdiri.
Devan yang masih fokus melihat tabletnya langsung mengalihkan pandangannya ke Alin. Dia terpana saat melihat penampilan Alin.
"Sempurna!" gumam Devan tanpa berkedip, "tidak salah aku memilihmu."
"Haa? Maksudnya? Bisa tolong ulangi kalimat Anda tadi?" tanya Alin memastikan."Oh tidak ada, sudahlah cepat duduk sekarang!" ucap Devan kembali ke mode menyebalkan. Alin mencebik sambil duduk."Ada perlu apa saya dipanggil ke sini? Dan kapan saya bisa pulang?""Silahkan kamu baca," ucap Devan sambil menyerahkan lembaran pada Alin."Surat apa ini?" tanya Alin sambil mulai membaca poin-poin yang sudah tercantum."Kamu bisa membaca kan? Atau perlu aku bacakan?"Alin memutar bola matanya. Dia mulai membaca setiap baris tulisan pada surat perjanjian yang dibuat Devan."Surat perjanjian kontrak nikah?"Mata Alin membulat sempurna kala semua perjanjian yang sudah tercantum merugikannya."Hei, mana bisa seperti ini? Surat kontrak ini tidak sah, aku tidak setuju. Semua isinya sangat memberatkanku!" ujar Alin protes."Bagian mana yang memberatkanmu? Bukankah di dalam kontrak itu aku sudah memberikan kemudahan padamu? Bahkan jika kamu memintaku untuk menghancurkan keluarga Baskoro pun akan aku
Devan mengabaikan sapaan karyawan dan tetap dalam mode cool. Dia segera masuk ke dalam ruang CEO diikuti oleh asistennya."Sombong banget sih CEO kita," ujar salah satu karyawan."Emangnya lo berharap beliau gimana? Ramah terus balas sapaan lo dengan senyum gitu? Jangan mimpi woe, kita bisa kerja di sini aja masih bagus. Saran gue mendingan lo jangan terlalu sering pakai baju minim gitu deh, soalnya dengar-dengar Pak Devan nggak suka lihat karyawan perempuan pakai baju begituan," saran salah satu karyawan mengingatkan."Yaelah … kalau ngiri, ya ngiri aja! Nggak usah sok nasihatin." Karyawan genit itu melengos meninggalkan beberapa karyawan lain tengah berbisik membicarakannya. Dengan percaya diri, karyawan genit itu kembali melangkah masuk ke ruangan Devan dengan berjalan melenggak lenggok. Dia mengenakan pakaian yang membuat asetnya tercetak jelas. Karyawan genit itu bahkan sengaja membuka salah satu kancing bajunya yang terlihat sempit itu hingga membuat dadanya menyembul. Tok to
Mama Alin tidak serta merta langsung mempercayai jawaban Alin. Yang dia tahu, selama ini kekasih Alin sangat menyayangi anaknya. "Kamu jangan bercanda, Nak!” tegur mami. "Aku tidak bercanda, Mi. Aku mengatakan yang sebenarnya," jawab Alin. "Tapi kenapa, Nak? Bukankah kalian sebentar lagi akan melaksanakan lamaran?"Bibir Alin mendadak kelu saat hendak menjawab pertanyaan maminya. Dia sangat berat mengatakan alasannya pada maminya. "Apa Rendra berselingkuh di belakangmu?" tanya Rita memicing.Degg!Alin tersentak dengan pemikiran maminya yang tepat sasaran. Alin menghela nafasnya dengan panjang. Dia berusaha tenang dan merangkai kalimat yang tepat agar maminya tidak terpancing emosi. "Benar, Mi. Mas Rendra bahkan telah mengakhiri hubungan kami tadi malam, tepat di depan seluruh keluarganya," jawab Alin dengan tenang.Brakk!Mami Alin menggebrak meja dengan keras. Dadanya bergemuruh menahan amarah yang sudah membuncah. "Bukankah selama ini mereka yang selalu menginginkan kalian
"Calon istri?" tanya mami Alin membeo. "Tunggu, sebenarnya siapa yang Anda maksud sebagai calon istri, Tuan?" "Dia!" Devan menunjuk Alin yang berdiri mematung.Baik papi maupun mami Alin sangat terkejut terlebih melihat Alin yang tidak menunjukkan reaksi apapun. "Lin, apa benar yang dikatakan Tuan Devan, Lin?" tanya mami tidak percaya. "Benar, Mi, Pi. Maafkan Alin karena belum sempat membicarakan hal ini pada kalian berdua. Alin terpaksa—"Ucapan Alin terpotong saat Devan menginterupsi. "Bagaimana, Papa Mertua? Anda bisa melihat sendiri kan kalau putri Anda juga menginginkan pernikahan ini terjadi?" tanya Devan menyunggingkan senyum. "Jadi, sebenarnya kalian sudah saling mengenal sebelumnya?" tanya papi dengan cepat.Lelaki paruh baya itu melirik putrinya yang masih menunduk. "Iya, Pi. Baru tadi malam," cicit Alin. "Baru tadi malam?" Papi menghela nafasnya, "Nak, apakah kamu benar-benar yakin dengan keputusanmu ini?" tanya papi lagi. "Iya, Pi aku yakin dengan keputusan yang
Bibir Alin terkunci rapat. Dia tidak berani sedikit pun bersuara tanpa perintah Devan. Tangannya terus menggenggam erat tangan lelaki di sampingnya. "Selamat malam, Tuan Drajat, Tuan Rendra. Satu kehormatan kami bisa memenuhi undangan kalian," ucap Niko mewakili. "Selamat malam Tuan Niko, Tuan Devan. Terima kasih sudah berkenan meluangkan waktu untuk hadir di sini," jawab Drajat berusaha ramah. Dua lelaki berbeda generasi itu berusaha menahan rasa terkejutnya di depan Devan.Lelaki tua itu mengulurkan tangannya pada Devan namun Devan mengabaikannya. Akhirnya lelaki itu menarik lagi tangannya dengan tetap mengukir senyum kepalsuan. "Sepertinya kalian sangat mengenal wanita yang berada di samping saya ya?" tanya Devan tiba-tiba. "Ti-tidak Tuan, kami tidak mengenalnya sama sekali," sahut Drajat gelagapan.Sedangkan Rendra, ia tak berhenti menatap Alin dengan tatapan memuja. Matanya tak berkedip menikmati kecantikan sang mantan yang semakin terlihat setelah dia usir dari hidupnya.Se
Alin masih terus menyimak setiap perkataan Devan tanpa menyelanya sedikit pun. "Walau kita menikah karena sebuah kerja sama dan tanpa di dasari cinta, tapi aku ingin kita tetap saling mengenal satu sama lain terlebih dahulu. Bagaimana menurut pendapatmu?" sambung Devan bertanya. "Aku rasa ada benarnya juga, kita memang harus saling mengenal. Sekarang katakan apa yang ingin kau ketahui dariku, Tuan?" "Sudah berulang kali kukatakan jangan panggil aku Tuan, Alin!" tegas Devan datar. "Tapi saat ini kita hanya berdua saja, Tuan. Jangan lupakan itu," jawab Alin tenang. "Kau memang bebal, Lin!" ujar Devan bersungut. "Aku ingin tahu, kenapa kau sangat menggilai lelaki pecundang seperti Rendra?"Alin menghela nafasnya dengan panjang. Dia sangat malas membahas perihal Rendra saat ini. "Apa tidak ada pertanyaan lain yang lebih berbobot? Bukankah kau sudah menyelidiki kehidupanku?" tanya Alin dingin.Devan terperanjat dengan jawaban Alin. Perubahan sikapnya membuat Devan semakin penasaran d
Devan melipat tangannya di dada sambil terus memperhatikan ekspresi wajah Alin yang terlihat masih bimbang."Kalau aku tidak yakin dengan keputusanku, mana mungkin aku sampai mau merepotkan diri untuk membujukmu agar bersedia menikah denganku? Memangnya kau ini siapa?"Mata Alin memicing, senyum smirk tercetak di bibir mungilnya."Wah ternyata sepenting itu ya peran saya di hidup Anda?" tanya Alin."Jangan terlalu percaya diri dulu, aku memilihmu karena berbagai pertimbangan. Bukankah kau dan keluargamu juga diuntungkan di sini?" balas Devan sinis."Ya, kau benar. Terserah kau saja," sahut Alin ketus.Mereka saling diam dan mencoba menyelami pikiran masing-masing. Suara deburan ombak yang menghantam karang bagaikan alunan relaksasi yang menenangkan pikiran."Kapan kau akan memperkenalkanku pada seluruh keluargamu?" tanya Alin tiba-tiba."Secepatnya. Lebih cepat lebih baik," jawab Deva
Papi Alin yang sedang mengurus berkas pengajuan kerja sama dengan perusahaan Devan langsung meninggalkan pekerjaannya setelah mendapat kabar dari sang istri jika alergi yang diderita Alin kambuh. Sesampainya di rumah, lelaki itu mendapati sang istri tengah menangis di ruang sofa. "Mi, ayo kita berangkat ke rumah sakit sekarang!" ajak papi. "Anak kita, Pi. Mami takut terjadi sesuatu dengan Alin," ujarnya sambil memeluk papi. "Alin anak yang kuat, Mi. Dia tidak akan semudah itu rapuh. Bersiaplah, kita akan segera berangkat menyusul Alin." *** Mereka bergegas meluncur ke rumah sakit . Sesampainya di sana, keduanya langsung disambut oleh asisten Devan yang sengaja menunggu mereka di depan rumah sakit. "Tuan, Nyonya mari ikut saya ke ruangan Nona Alindra," ujar asisten Devan. Mereka berdua segera mengikuti langkah asisten Devan menuju ruangan tempat Alin dirawat. Sesampainya di ruangan, mami langsung mendekat ke sisi ranjang Alin. Wanita paruh baya itu menatap sendu putrinya yang m