Alin tak tahu apa yang terjadi. Ia baru saja tersadar dari pingsan. Namun, ia begitu bingung dengan ruangan asing tempatnya berada saat ini.
"Aku di mana? Bukannya tadi aku sedang di jalan ya?" gumamnya sambil memegang kepalanya yang masih pening. “Tunggu … kepalaku diperban?”
Belum sempat memproses semuanya, tiba-tiba Alin mendengar suara bariton yang membuatnya terkejut.
"Bagaimana keadaanmu saat ini? Bagian mana yang masih sakit? Kalau kau mau cepat mati harusnya kau masuk jurang saja, jangan menabrakkan diri ke mobilku!"
Alin yang masih merasakan sedikit pusing mendongak menatap lelaki yang baru saja datang ke kamar yang ditempatinya itu.
"Maaf, tapi Anda ini siapa? Lalu kenapa Anda menolong saya?"
"Bodoh! Kamu tertabrak mobilku. Kalau kau mati, maka aku juga akan ikut terseret. Lagian kamu ini sangat tidak tahu caranya berterima kasih, ya," sindir lelaki itu.
"Baiklah Tuan yang terhormat, terima kasih sudah berbaik hati menolong saya dari maut walau sebenarnya saya berharap mobil Anda menabrak saya sampai saya mati!" ucap Alin.
"Hmm sepertinya saat ini kau sangat ingin mengakhiri hidupmu ya, Nona Alindra Puspita Notonegoro. Apakah kebangkrutan keluargamu membuatmu dijauhi dan dikucilkan oleh orang-orang? Atau karena kau frustasi tidak bisa memenuhi gaya hidupmu lagi?" tanya Devan menohok.
Alin menatap tajam ke arah lelaki itu. Matanya membidik tepat ke manik mata lelaki itu namun tampaknya dia orang yang tidak mudah diintimidasi.
"Kenapa kamu menatapku seperti itu, Nona?"
"Anda tidak perlu tahu apa yang menyebabkan saya seperti ini, karena ini bukan urusan Anda, Tuan,” ucap Alin tegas, “selain itu, dari mana Anda tahu nama saya dan juga masalah yang sedang membelit keluarga saya?”
"Sebaiknya, kamu istirahat saja dulu untuk memulihkan tenaga. Jangan bebani pikiranmu dengan pertanyaan berat seperti itu. Kalau sudah sehat, kau boleh bertanya sepuasnya padaku."
“Lalu, berhenti menyebutku Tuan. Namaku Devan.”
Setelah mengatakan itu, ia langsung melenggang ke luar dari kamar tempat Alin berada–meninggalkan Alin .
"Hei, Tuan jangan main pergi dong. Saya butuh penjelasan Anda!" teriak Alin dengan kencang.
Namun sayangnya teriakan Alin tidak didengar oleh lelaki itu.
Frustasi, ia pun memutuskan untuk beristirahat saja.
***
Namun, pada malam hari, Alin terbangun dari tidurnya. Dia merasakan tenggorokannya kering kerontang. Karena tidak ada air yang tersedia di dalam kamar, mau tidak mau akhirnya Alin harus ke dapur untuk mengambil air.
Lampu sudah dimatikan saat Alin turun ke bawah. Akhirnya, dia menggunakan ponselnya untuk menjadi senter.
Hanya saja, saat sedang menuangkan air ke dalam gelas, tiba-tiba lampu menyala dan membuatnya kaget.
"Apa kau mau mencuri di rumahku?" tanya Devan mendadak..
Alina sontak berjingkat karena lelaki itu tiba-tiba sudah di sampingnya.
"Ti-tidak, aku hanya haus dan ingin meminta sedikit air di rumah ini," jawab Alin cepat.
"Setelah selesai minum ikutlah denganku ke ruanganku. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu!" ucap lelaki itu dingin.
Devan juga mengambil air dalam kulkas lalu meneguknya hingga tandas. Setelahnya, dia melewati Alin yang masih memegang gelasnya.
Alin tetap bergeming di tempatnya. Dia sedang memikirkan segala kemungkinan jika dia mengikuti perintah lelaki yang sudah menolongnya ini.
"Tidak usah berpikir macam-macam, aku tidak akan menyakitimu,” ucap Devan seolah tahu isi pikiran Alin saat ini.
"Bagaimana dia bisa tahu apa yang aku pikirkan sekarang?" gumamnya sendiri.
"Memangnya, apa yang tidak kutahu tentang dirimu."
Deg!
Kali ini, jantung Alin bahkan hampir copot.
"Tidak usah terkejut, sebaiknya bergegaslah ke ruanganku."
Meski khawatir, Alin akhirnya mengikuti langkah kaki lelaki itu hingga mereka sampai di sebuah ruangan kerja yang sangat luas dan nyaman.
"Duduklah!" perintahnya.
Alin segera duduk di sofa yang sudah tersedia. Setelah dia duduk, lelaki itu langsung menjelaskan semua yang menjadi pertanyaan di benak Alin.
"Sebelumnya perkenalkan, aku Devan Prayudha Bimantara. Pewaris tunggal Bimantara Group. Kau pasti tidak asing dengan perusahaan itu, kan?"
Alin mengangguk. Ia mengetahui nama pria itu yang terkenal sebagai CEO dingin bertangan midas. Segala yang disentuhnya akan menghasilkan profit luar biasa. Sayangnya, ia melajang sampai usia 39 tahun. Bahkan, Alin mendengar gosip bahwa pria itu gay.
“Apa kau mendengarku?”
Alin sontak tersadar dari lamunannya. "Maaf. Jadi, Anda Tuan Devan yang terkenal itu? Baiklah, saya paham. Kalau boleh tahu, dari mana Anda mengetahui identitas keluarga saya?"
"Sepertinya kamu sekarang sudah tahu siapa aku.” Devan tampak menjeda kalimatnya. “Mengenai identitasmu, siapa yang tak tahu sepak terjang keluargamu di dunia bisnis? Sayang sekali, Ayahmu sangat ceroboh dan bodoh karena mempekerjakan manusia-manusia tamak itu hingga membuatnya harus gulung tikar karena keserakahan mereka.”
Alin membenarkan setiap perkataan lelaki di depannya ini. Tapi, dia juga kurang menyukai cara penyampaiannya karena lelaki di hadapannya ini yang terkesan selalu membanggakan dirinya dan selalu berkata tajam.
"Tapi, bukankah suatu keberuntungan kalau kau bisa dengan mudah berinteraksi langsung denganku sedangkan di luar sana banyak penisnis yang ingin menjalin kerja sama denganku saja sangat kesulitan untuk menemuiku termasuk Papimu?” sambung Devan tiba-tiba.
Alin menghela nafas kasar.
"Anda benar. Tapi, apa tujuan Anda menyelamatkan saya tadi siang? Harusnya Anda biarkan saja saya meregang nyawa. Percuma juga kan saya hidup, semua yang sudah saya perjuangkan sudah hancur dan berantakan."
"Dari nada bicaramu, sepertinya kamu ini sangat putus asa sekali ya? Dasar pemudi lemah. Baru diuji masalah asmara saja sudah loyo," sarkas Devan, “kau tidak kasihan pada orang tuamu?”
Alin terdiam. Ia merasa bersalah karena ucapan pria itu. Tapi, apa haknya mengejek perempuan itu.
Segera saja, Alin menatap pria di hadapannya itu dengan tatapan permusuhan. "Apakah Anda menyuruh saya ke mari hanya untuk mendengarkan ejekan-ejekan Anda pada saya? Kalau iya, sebaiknya saya ke luar saja!"
Devan yang mulai merasakan ada emosi dalam diri Alin, segera menata ucapannya agar wanita di depannya ini tidak semakin naik pitam.
"Hei aku sudah menolongmu, tidakkah kamu ingin membalas kebaikanku? Anggap saja ini sebagai balasan karena saya telah menyelamatkan hidupmu."
"Jadi Anda pamrih dan ingin saya membalas budi atas pertolongan Anda hari ini? Lalu apa yang Anda inginkan sebenarnya?" tanya Alin sedikit emosi .
"Tenangkan dirimu. Sebenarnya, aku ingin melakukan sebuah penawaran denganmu!" jawab Devan.
"Penawaran apalagi maksud Anda?" ucap Alin membeo.
"Menikahlah dengan saya!"
"Apa?" Alin sontak berdiri dan menggebrak meja karena terkejut. "Apa Anda sudah gila? Kita tidak pernah saling mengenal sebelumnya!" sambung Alin penuh emosi.
Jangan ia pikir karena Alin putus asa, pria itu bisa seenaknya saja.
"Tuh, kan mulai. Dengarkan dulu jangan langsung emosi, saya belum selesai menjelaskan!"
"Habisnya Anda ini lucu sekali, baru bertemu sekali langsung ngajak nikah," ujar Alin ketus.
Devan menghela nafas panjang. Dia menatap lurus ke depan, suaranya pun mulai melunak saat mengajak Alin bernegosiasi.
"Aku sudah memikirkannya dengan matang jauh-jauh hari. Bahkan, sebelum kita bertemu pun aku sudah mencari tahu semua tentang kehidupanmu. Dan kebetulan sekali, kita dipertemukan saat keadaan keluargamu seperti ini. Apalagi, kau sampai menabrak mobilku, " gumam Devan bangga, “sepertinya, ini takdir.”
Alin menautkan alisnya–tak mengerti. Dia baru tahu sisi lain dari pewaris Bimantara Group yang katanya dingin dan tidak mudah tersentuh ini, ternyata juga sedikit gila. Orang-orang sepertinya perlu berpikir lagi sebelum bergosip.
"Saya rasa Anda ini sudah tidak waras, Tuan. Pernikahan itu bukan permainan, dan saya tidak suka bercanda jika soal pernikahan. Tapi dengan mudahnya Anda meminang saya bahkan secara mendadak seperti ini? Apa Anda tidak pernah diajari etika? Saya tidak mengira jika seorang pewaris Bimantara Group ternyata segila ini dalam memaknai esensi pernikahan."
"Saya juga tahu pernikahan itu bukan permainan, saya pun juga tidak sedang bercanda. Tapi saya mohon tolong jangan tolak keinginan saya. Saya memang berniat menjadikanmu sebagai istriku. Kita akan menikah secara sah di mata negara dan agama juga akan melaksanakan pesta yang mewah. Tapi status kita nanti hanya menikah di atas kontrak."
Tangan Alin mengepal. Dengan tegas, ia menjawab, "Apa maksudmu? Kau ingin mempermainkan pernikahan begitu maksudmu? Maaf saya tidak tertarik, silakan Anda cari perempuan lain yang sudi Anda ajak nikah kontrak!"
Anehnya, Devan justru menyunggingkan senyum di wajah.
Pria itu sebenarnya sudah menduga jika Alin akan menolak bekerja sama dengannya. Tapi, Devan tidak punya pilihan lain karena ia tak punya punya banyak waktu. Jadi, dia akan mengeluarkan kartu as-nya untuk membujuk Alin agar menyetujui tawarannya. "Tenang saja, saya akan menjamin jika kamu akan diuntungkan dengan adanya pernikahan kontrak ini. Apa kamu tidak ingin membalas dendam dan menghancurkan mereka yang sudah menginjak harga dirimu karena keluargamu bangkrut? Apa kamu tidak ingin membuktikan pada keluarga mantanmu kalau kamu bisa bangkit dan mengalahkan mereka?" Alin memicingkan matanya, dia menduga Devan menyimpan rahasia yang Alin belum ketahui. "Dari mana Anda tahu tentang permasalahan hubungan saya dengan kekasih saya? Sepertinya Anda sudah mengulik tentang kisah percintaan saya ya rupanya? Apakah Anda memang sudah mencari tahu terlebih dahulu?" tanya Alin memastikan. "Bisa dibilang begitu, aku sudah tahu semuanya!" jawab Devan. "Katakan padaku, apa yang kau ketahui?" ta
"Haa? Maksudnya? Bisa tolong ulangi kalimat Anda tadi?" tanya Alin memastikan."Oh tidak ada, sudahlah cepat duduk sekarang!" ucap Devan kembali ke mode menyebalkan. Alin mencebik sambil duduk."Ada perlu apa saya dipanggil ke sini? Dan kapan saya bisa pulang?""Silahkan kamu baca," ucap Devan sambil menyerahkan lembaran pada Alin."Surat apa ini?" tanya Alin sambil mulai membaca poin-poin yang sudah tercantum."Kamu bisa membaca kan? Atau perlu aku bacakan?"Alin memutar bola matanya. Dia mulai membaca setiap baris tulisan pada surat perjanjian yang dibuat Devan."Surat perjanjian kontrak nikah?"Mata Alin membulat sempurna kala semua perjanjian yang sudah tercantum merugikannya."Hei, mana bisa seperti ini? Surat kontrak ini tidak sah, aku tidak setuju. Semua isinya sangat memberatkanku!" ujar Alin protes."Bagian mana yang memberatkanmu? Bukankah di dalam kontrak itu aku sudah memberikan kemudahan padamu? Bahkan jika kamu memintaku untuk menghancurkan keluarga Baskoro pun akan aku
Devan mengabaikan sapaan karyawan dan tetap dalam mode cool. Dia segera masuk ke dalam ruang CEO diikuti oleh asistennya."Sombong banget sih CEO kita," ujar salah satu karyawan."Emangnya lo berharap beliau gimana? Ramah terus balas sapaan lo dengan senyum gitu? Jangan mimpi woe, kita bisa kerja di sini aja masih bagus. Saran gue mendingan lo jangan terlalu sering pakai baju minim gitu deh, soalnya dengar-dengar Pak Devan nggak suka lihat karyawan perempuan pakai baju begituan," saran salah satu karyawan mengingatkan."Yaelah … kalau ngiri, ya ngiri aja! Nggak usah sok nasihatin." Karyawan genit itu melengos meninggalkan beberapa karyawan lain tengah berbisik membicarakannya. Dengan percaya diri, karyawan genit itu kembali melangkah masuk ke ruangan Devan dengan berjalan melenggak lenggok. Dia mengenakan pakaian yang membuat asetnya tercetak jelas. Karyawan genit itu bahkan sengaja membuka salah satu kancing bajunya yang terlihat sempit itu hingga membuat dadanya menyembul. Tok to
Mama Alin tidak serta merta langsung mempercayai jawaban Alin. Yang dia tahu, selama ini kekasih Alin sangat menyayangi anaknya. "Kamu jangan bercanda, Nak!” tegur mami. "Aku tidak bercanda, Mi. Aku mengatakan yang sebenarnya," jawab Alin. "Tapi kenapa, Nak? Bukankah kalian sebentar lagi akan melaksanakan lamaran?"Bibir Alin mendadak kelu saat hendak menjawab pertanyaan maminya. Dia sangat berat mengatakan alasannya pada maminya. "Apa Rendra berselingkuh di belakangmu?" tanya Rita memicing.Degg!Alin tersentak dengan pemikiran maminya yang tepat sasaran. Alin menghela nafasnya dengan panjang. Dia berusaha tenang dan merangkai kalimat yang tepat agar maminya tidak terpancing emosi. "Benar, Mi. Mas Rendra bahkan telah mengakhiri hubungan kami tadi malam, tepat di depan seluruh keluarganya," jawab Alin dengan tenang.Brakk!Mami Alin menggebrak meja dengan keras. Dadanya bergemuruh menahan amarah yang sudah membuncah. "Bukankah selama ini mereka yang selalu menginginkan kalian
"Calon istri?" tanya mami Alin membeo. "Tunggu, sebenarnya siapa yang Anda maksud sebagai calon istri, Tuan?" "Dia!" Devan menunjuk Alin yang berdiri mematung.Baik papi maupun mami Alin sangat terkejut terlebih melihat Alin yang tidak menunjukkan reaksi apapun. "Lin, apa benar yang dikatakan Tuan Devan, Lin?" tanya mami tidak percaya. "Benar, Mi, Pi. Maafkan Alin karena belum sempat membicarakan hal ini pada kalian berdua. Alin terpaksa—"Ucapan Alin terpotong saat Devan menginterupsi. "Bagaimana, Papa Mertua? Anda bisa melihat sendiri kan kalau putri Anda juga menginginkan pernikahan ini terjadi?" tanya Devan menyunggingkan senyum. "Jadi, sebenarnya kalian sudah saling mengenal sebelumnya?" tanya papi dengan cepat.Lelaki paruh baya itu melirik putrinya yang masih menunduk. "Iya, Pi. Baru tadi malam," cicit Alin. "Baru tadi malam?" Papi menghela nafasnya, "Nak, apakah kamu benar-benar yakin dengan keputusanmu ini?" tanya papi lagi. "Iya, Pi aku yakin dengan keputusan yang
Bibir Alin terkunci rapat. Dia tidak berani sedikit pun bersuara tanpa perintah Devan. Tangannya terus menggenggam erat tangan lelaki di sampingnya. "Selamat malam, Tuan Drajat, Tuan Rendra. Satu kehormatan kami bisa memenuhi undangan kalian," ucap Niko mewakili. "Selamat malam Tuan Niko, Tuan Devan. Terima kasih sudah berkenan meluangkan waktu untuk hadir di sini," jawab Drajat berusaha ramah. Dua lelaki berbeda generasi itu berusaha menahan rasa terkejutnya di depan Devan.Lelaki tua itu mengulurkan tangannya pada Devan namun Devan mengabaikannya. Akhirnya lelaki itu menarik lagi tangannya dengan tetap mengukir senyum kepalsuan. "Sepertinya kalian sangat mengenal wanita yang berada di samping saya ya?" tanya Devan tiba-tiba. "Ti-tidak Tuan, kami tidak mengenalnya sama sekali," sahut Drajat gelagapan.Sedangkan Rendra, ia tak berhenti menatap Alin dengan tatapan memuja. Matanya tak berkedip menikmati kecantikan sang mantan yang semakin terlihat setelah dia usir dari hidupnya.Se
Alin masih terus menyimak setiap perkataan Devan tanpa menyelanya sedikit pun. "Walau kita menikah karena sebuah kerja sama dan tanpa di dasari cinta, tapi aku ingin kita tetap saling mengenal satu sama lain terlebih dahulu. Bagaimana menurut pendapatmu?" sambung Devan bertanya. "Aku rasa ada benarnya juga, kita memang harus saling mengenal. Sekarang katakan apa yang ingin kau ketahui dariku, Tuan?" "Sudah berulang kali kukatakan jangan panggil aku Tuan, Alin!" tegas Devan datar. "Tapi saat ini kita hanya berdua saja, Tuan. Jangan lupakan itu," jawab Alin tenang. "Kau memang bebal, Lin!" ujar Devan bersungut. "Aku ingin tahu, kenapa kau sangat menggilai lelaki pecundang seperti Rendra?"Alin menghela nafasnya dengan panjang. Dia sangat malas membahas perihal Rendra saat ini. "Apa tidak ada pertanyaan lain yang lebih berbobot? Bukankah kau sudah menyelidiki kehidupanku?" tanya Alin dingin.Devan terperanjat dengan jawaban Alin. Perubahan sikapnya membuat Devan semakin penasaran d
Devan melipat tangannya di dada sambil terus memperhatikan ekspresi wajah Alin yang terlihat masih bimbang."Kalau aku tidak yakin dengan keputusanku, mana mungkin aku sampai mau merepotkan diri untuk membujukmu agar bersedia menikah denganku? Memangnya kau ini siapa?"Mata Alin memicing, senyum smirk tercetak di bibir mungilnya."Wah ternyata sepenting itu ya peran saya di hidup Anda?" tanya Alin."Jangan terlalu percaya diri dulu, aku memilihmu karena berbagai pertimbangan. Bukankah kau dan keluargamu juga diuntungkan di sini?" balas Devan sinis."Ya, kau benar. Terserah kau saja," sahut Alin ketus.Mereka saling diam dan mencoba menyelami pikiran masing-masing. Suara deburan ombak yang menghantam karang bagaikan alunan relaksasi yang menenangkan pikiran."Kapan kau akan memperkenalkanku pada seluruh keluargamu?" tanya Alin tiba-tiba."Secepatnya. Lebih cepat lebih baik," jawab Deva