Share

Dianggap Benalu Oleh Suamiku
Dianggap Benalu Oleh Suamiku
Author: Yosi Hanr

1. Tumpukan uang

“Maafkan aku, Mas, telah lancang menggeledah celanamu. Bukan inginku begini. Tetapi, saat bangun nanti kamu pasti akan langsung meminta makan. Sementara tak ada sedikit pun makanan yang tersedia. Izinkan aku mengambil uangmu untuk membeli bahan sayuran juga lauk,” gumamku lirih memohon izin pada Mas Agus yang terlelap tidur. Sebenarnya lebih pada berbicara sendiri, karena aku berbicara sedikit berbisik.

“Aku lapar, Mas. Anak-anak juga butuh makan. Aku janji, akan mengambil sedikit aja,” tambahku membela diri. Dari sore kemarin aku belum makan sedikit pun. Makan malam semalam, hanya cukup untuk anak-anak juga Mas Agus saja. Bukan aku diet atau berhemat, memang bahan makanan yang sudah habis, hanya cukup untuk makan tiga orang saja. Jatah bulanan pemberian Mas Agus sudah habis seminggu yang lalu. Sedangkan awal bulan untukku kembali mendapat jatah bulanan masih seminggu lagi.

Dengan tangan gemetar, aku mulai meraba kantong celana Mas Agus yang digantung di belakang pintu kamar. Mencari benda tebal yang terbuat dari semi kulit, tempat menyimpan uang juga kartu-kartu penting Mas Agus.

“Ya Allah, ampuni aku. Aku tidak punya cara lain selain mengambil sedikit saja uang suamiku,” lirihku gemetar. Sesekali aku melirik pada Mas Agus yang terlelap pulas di tempat tidur.

Dapat! Jemariku menemukan dompetnya di saku kanan belakang. Segera kukeluarkan benda semi kulit berwarna coklat itu. Tanganku semakin gemetar memegangnya. Meski sudah sepuluh tahun hidup bersama, ini kali pertama aku memegang dompet Mas Agus. Bukan apa-apa atau sok naif, selama ini aku tipikal istri yang nerima saja semua yang diberikan padaku tanpa meminta lebih atau bilang kurang. Karena Mas Agus biasanya selalu memberikan semua penghasilannya setiap hari tanpa ada yang ditutup-tutupinya. Sehingga tidak perlu buatku untuk mengorek isi dompetnya lagi.

Mas Agus bagiku adalah segalanya. Perasaanku padanya tidak pernah berubah semenjak kami menikah sepuluh tahun lalu hingga sekarang. Begitu juga Mas Agus menurutku. Aku yang begitu buta menaruh cinta padanya, sehingga sulit menemukan kekurangannya. Dia adalah tipe suami idaman juga suami siaga, menurutku.

Tapi, empat bulan belakangan Mas Agus sedikit berubah, kurasa. Entah ini hanya pikiranku saja. Perubahan sikapnya mulai semenjak Mas Agus diterima kerja di perusahaan kelapa sawit di daerah tempat tinggal kami. Sebelumnya Mas Agus bekerja sebagai tukang ojek pengkolan yang tempat mangkalnya tak jauh dari rumah.

Entah apa yang membuatnya berubah. Mas Agus yang dulu begitu menghargai waktu kebersamaan dengan keluarga kini menjadi jarang berada di rumah. Berangkat kerja pukul 06.00 pagi, dan pulang setelah larut malam. Aku tidak tahu jam kerja perusahaan, apa benar kerja sampai tengah malam? Entahlah. Setiap kutanya saat dia pulang kenapa terlambat, alasannya karena lembur. Aku yang awam dunia pekerjaan ini yaa percaya saja.

Mas Agus juga mulai perhitungan dengan uang, dia hanya memberiku jatah belanja satu juta di awal bulan saat dia gajian, alasannya memberi segitu karena gaji yang diterima Mas Agus masih UMR, maklum masih karyawan baru yang baru selesai magang.

“Sisa gajinya aku yang pegang untuk biaya pulang pergi ke perusahaan.” Begitu ucap Mas Agus dulu saat dia pertama menerima gaji, dan setelah memberiku jatah belanja. Aku mencoba memaklumi karena bekerja di perusahaan berbeda dengan menjadi tukang ojek. Mungkin memang membutuhkan biaya untuk pulang pergi bekerja. Secara Mas Agus tidak pulang ketika makan siang. Dia memilih makan di kantin yang berada di perusahaan.

 Awalnya aku berusaha memahami, tetapi belakangan aku melihat Mas Agus mulai sering berbelanja keperluannya sendiri tanpa memberi tahuku. Oke aku juga berusaha memaklumi, Mas Agus membutuhkan pakaian, juga perlengkapan lain untuk menunjang penampilan saat bekerja sebagai karyawan.

Tetapi, ada yang menyinggung perasaanku, yaitu saat aku meminta uang untuk jajan Ayuni karena aku tidak memegang uang lagi, sedangkan jatah yang diberikannya sudah habis, Mas Agus marah besar sambil memaki-makiku. Dia mengataiku sebagai istri parasit yang hanya tau menghabisi uang suami saja. Tak lama setelah dia memarahiku dan bersikukuh tidak mau memberiku uang, datang temannya meminjam uang dan langsung diberikan Mas Agus di depan mataku tanpa rasa bersalah. Melihat hal itu hatiku sungguh teriris, apalagi aku hanya meminta sedikit uang padanya untuk jajan Ayuni, anak bungusku.

Setelah kejadian itu, aku tidak berani lagi meminta lebih jatah belanja padanya. Meski uang satu juta yang dia berikan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup kami satu bulan. Tapi aku harus bisa menahan diri tidak meminta padanya. Solusi terbaik yang bisa kulakukan supaya kebutuhan hidup tetap terpenuhi adalah berhutang. Aku harus tetap makan, begitu juga dengan kedua anakku. Mas Agus pun butuh makan. Maka apa boleh buat, perut harus tetap terisi meski dengan cara berhutang.

Cukup lama termenung, aku sadar bahwa dompet Mas Agus masih utuh dalam genggamanku. Aku belum berani membukanya.

“Duh. Buka nggak ya? Gimana cara bilangnya nanti pada Mas Agus kalau uangnya aku ambil? Atau, baiknya aku diam aja? Ya Allah. Bagaimana ini?” eluhku mulai panik. Biar bagai mana pun mengambil milik orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya tetap namanya mencuri. Meski itu mengambil dari orang terdekat yang memang ada hak kita padanya.

Mataku terus melirik Mas Agus, cemas dia menangkap basah perbuatanku. Aku malah lebih penasaran dengan apa yang akan dia lakukan terhadapku jika ketahuan.

Sekali lagi aku menguatkan hati. Perih di perut lebih penting saat ini dibanding ketahuan oleh Mas Agus. Jika ketahuan Mas Agus pasti akan murka, nggak masak pun nanti aku juga yang akan kena marah karena tidak ada makanan yang bisa dia makan. Posisiku saat ini bak kata pepatah maju kena mundur pun kena.

 Takut Mas Agus marah, takut Allah murka. Tapi, aku mulai tidak bisa menahan perut yang berdenyut perih ini. Tangan dan kaki mulai melemas, ditambah aku melakukan tindakan yang bertentangan dengan prinsipku. Makin lemas aja rasanya pijakan kaki ini.

Setiap melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hati, jantung pasti bekerja dua kali lebih cepat dari biasanya. Memicu adrenalin bak kata orang. Kali ini aku merasakannya. Debarannya bahkan terdengar keras memenuhi kendang telinga. Aku kehilangan fokus, perasaan was-was lebih dominan.

“Bismillah,” lafalku beberapa kali sambil memejamkan mata. Menguatkan diri.

Pelahan aku mulai membuka dompet semi kulit berwarna cokelat itu. Aroma pabrik masih tercium saat saya menyibaknya, karena Mas Agus baru membeli dompet itu awal bulan kemarin.

“MasyaAllah! Sebanyak ini?” Mataku membelalak lebar menyaksikan barisan lembaran merah memenuhi ruang dompetnya. Tanpa sadar telapakku terangkat menutup mulut yang mulai menganga lebar.

Perasaan kecewa karena merasa dibohongi menyeruak di dada. Selama ini Mas Agus selalu bilang nggak ada uang setiap aku minta tambahan jatah belanja. Nyatanya, dompetnya terisi penuh dengan uang pecahan seratus ribu. Belum lagi yang mungkin saja ada yang tersimpan di dalam ATM-nya.

“Lagi ngapain kamu!” Sebuah hardikan menambah kekagetanku, tangan yang memang semenjak tadi gemetar semakin kehilangan kendalinya. Spontan, dompet yang berada dalam genggaman terjatuh mencium lantai. 

Mas Agus bangun, dan apa yang aku takutkan akhirnya terjadi, dia menangkap basah tindakanku. Apa yang harus kulakukan? Bukti kejahatan terpampang nyata di dekat kakiku. Meski uang di dalamnya belum berhasil pindah ke tanganku.

Tatapan garangnya melemahkan semangatku. Matanya yang merah akibat baru bangun itu semakin menambah kengerian pada tatapannya. Wajahku rasanya menebal, seakan semua aliran darah menuju ke sana. Aku berdiri goyah tidak bisa mengambil sikap. Entah gimana nasibku setelah ini.

Mas Agus berjalan mendekatiku dengan tangan terkepal erat, bersiap untuk menghajarku mungkin. Kupejamkan mata seiring langkahnya yang kian mendekat. Penuh kecemasan aku menggumam, “Ya, Tuhan, aku pasrahkan hidupku padaMu.”

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Zudia
Agus kebangetan ...
goodnovel comment avatar
Ardhya Rahma
Wah Agus ga tg jwb ya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status