Share

5. Mencari Mas Agus

“Ayo Mbak Selvi, kita lihat suamimu ke sana. Biar nanti aku cari pertolongan dengan meminta bantuan pada bapak-bapak yang lain.” Ajakan Pak Rahmad timbul tenggelam di pendengaranku.

Kepalaku tengah sibuk memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi jika Mas Agus beneran pergi secepat ini. Bagai mana hidup kami setelah ini? Masalah pendidikan ke dua anakku? Dan masih banyak lagi kecemasan yang tiba-tiba mendera.

“Papa kenapa, Ma? Apa papa pingsan seperti Mama tadi?” Guncangan pelan di tanganku mengembalikan kesadaranku. Putri bungsuku itu menatap cemas ke arahku.

“Cepat bersiaplah, jika keselamatan Agus dipertaruhkan. Kabarnya sudah dari senja tadi dia seperti itu, aku baru dapat kabarnya barusan dari mendengar cerita beberapa pemuda yang singgah membeli rokok di warung.” Pak Rahmad kembali mendesakku. Kali ini dia terlihat mulai tak sabar dengan diriku yang lemot dalam mengambil keputusan.

“Ayo kita jemput papa, Ma.” Ayuni juga ikut mendesakku melihat aku masih bergeming. Tangan mungilnya menarikku untuk segera bergerak.

“Iya, iya ayo. Tapi, Pak ... Rafni sedang tidur di dalam. Aku cemas meninggalkan dia sendirian,” ujarku teringat dengan sulungku.

“Kamu bersiaplah, biar aku jemput istriku untuk menemani Rafni.” Pak Rahmad hendak berbalik menuju rumahnya.

“Tapi warungnya gimana, Pak? Nggak ada yang jaga, nanti kalau ada yang mau jajan, nggak bisa,” ucapku cemas menahan langkahnya.

“Haduh, Mbak Selvi. Kamu masih saja mikirin warung, keselamatan suamimu lebih penting sekarang.” Pak Rahmad memandangku geram, kemudian segera berlalu meninggalkanku.

“Adek ikut jemput papa, ya Ma,” rengek Ayuni memohon. Dia terus mengekor di belakangku ketika aku berbalik ke kamar untuk mengambil cardigan dan jilbab instan.

Bertahun-tahun tinggal di Sumatera membuatku terbiasa dengan adat masyarakat di sini yang menutup aurat. Padahal, ketika dulu baru pindah ke sini, aku adalah anak kota yang terbiasa mengenakan pakaian seadanya.

“Adek mau ketemu papa, Ma. Adek ikut ya, Ma,” rengek Ayuni lagi ketika aku tak juga menanggapi permintaannya.

Pandanganku terarah pada jam yang menempel di dinding kamar. Tak baik membawa Ayuni keluar tengah malam begini, pikirku ketika menyadari waktu sudah pukul 10 malam.

Meski warung yang dimaksud Pak Rahmad tidak terlalu jauh dari rumah, tapi aku tidak ingin membahayakan kesehatan Ayuni dengan mengajaknya ikut serta. Udara malam terlalu buruk untuk anak kecil seperti dirinya.

Tak lama, Pak Rahmad datang kembali bersama Mbak Jum. Sepasang suami istri itu begitu perhatian pada keluarga kecilku.

“Pergilah, Mbak Sel. Biar aku yang jagain anak-anak,” ucap Mbak Jum. Dia bergerak mendekati Ayuni, menggendong bungsuku dalam pangkuannya.

Ayuni yang sudah siaga ingin ikut serta sontak saja meronta dalam pangkuan Mbak Jum. “Adek mau ikut mama!” teriaknya mulai menangis.

Aku menjadi tidak tega melihat Ayuni yang histeris sambil terus meronta dalam pelukan Mbak Jum. Putri bungsuku itu memang lebih dekat dengan Mas Agus selama ini. Apalagi dia ikut mendengar berita yang disampaikan Pak Rahmad, tentu dia ingin mengetahui keadaan papanya.

“Pergilah Mbak Selvi. Ayuni biar aku yang tenangin. Kamu nggak usah cemas.” Mbak Jum meyakinkanku. Bisa kulihat dia mengerahkan tenaganya untuk memegangi Ayuni yang terus meronta.

Dengan perasaan tak menentu aku mengekor di belakang Pak Rahmad menuju warung yang terletak di bagian ujung komplek. Ternyata tidak hanya kami berdua yang pergi, beberapa orang bapak-bapak penghuni komplek pun ikut menemani kami sesuai dengan ucapan Pak Rahmad tadi.

***

Rombongan kami tiba di warung yang masih terlihat ramai. Aku merasa sedikit risi karena perempuan sendiri di antara para pria.

Beberapa pengunjung menyadari kedatangan kami, mereka menatapku curiga yang berdiri di antara kumpulan para pria. Aku berusaha mengabaikan perasaan risiku demi menjemput Mas Agus.

“Kamu tunggu di sini aja Mbak Selvi. Biar aku cek ke dalam dulu, terlalu ramai di dalam. Nanti kedatangan Mbak Selvi malah menimbulkan keributan.” Pak Rahmad mencegat langkahku.

“Betul itu, walau pun tujuan kita ke sini untuk menjemput Agus, lebih baik nggak usah membuat keributan di sini. Kebanyakan yang nongkrong di sini adalah para preman,” ujar salah satu bapak-bapak yang ikut rombongan. Kalau tidak salah suami Tika, tetangga dekat rumah.

Tanpa menyiakan waktu, Pak Rahmad segera ke dalam warung kopi yang dipenuhi asap rokok itu, sementara kami menunggu di luar.

“Kalian lagi apa berdiri rame-rame di situ?” tegur salah seorang pengunjung warung yang datang menghampiri kami. Mungkin tidak nyaman dengan keberadaan kami yang memantau pengunjung warung.

“Kami datang ke sini untuk menjemput suamiku yang katanya ada di sini.” Aku yang menjawab lebih dulu. Jika terjadi sesuatu pada bapak-bapak yang pergi bersama ini, aku merasa bertanggung jawab karena mereka pergi untuk membantu menjemput Mas Agus.

“Kalau mau jemput suami kenapa datang rame-rame? Mau bikin keributan di sini, ya?” Garang pria berbadan tegap dengan sekujur tubuh dipenuhi tato itu menatapku. Melihat dari tampilannya, mungkin dia salah satu preman yang dimaksud suami Tika barusan.

“Bukan, bukan. Kami mendengar kabar jika suami Mbak ini pingsan di sini, makanya kami datang rombongan untuk membopong suaminya pulang,” ujar suami Tika ikut bersuara. Nyaliku sudah menciut mendengar gertakan preman tanpa baju di depanku.

Tak habis pikir aku Mas Agus bergaul dengan orang-orang seperti ini. Apa karena ini juga yang membuat dia berubah akhir-akhir ini?

“Oh, kamu istrinya Agus. Sayang sekali Agus sudah pergi dari sini. Tadi dia memang pingsan, dan ada seorang perempuan yang menjemputnya.” Suara sang preman mulai melunak dan bersahabat. Tapi, malah membuat hatiku kian terkoyak.

Perempuan? Apa lagi ini? Terlalu banyak kejutan yang membuatku senam jantung hari ini.

Ucapan sang preman semakin diperkuat dengan kemunculan Pak Rahmad, suami Mbak Jum itu berkata, “Agus tidak ada di sini. Katanya tadi ada yang jemput ... perempuan.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ardhya Rahma
selingkuhan?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status