Share

4. Tetangga rasa saudara

“Mari makan ... hidangan sudah siap.” Suara Mbak Jum membuyar lamunanku yang sedang memikirkan Mas Agus yang kabur entah ke mana.

Tetangga rasa saudara itu mulai menata makanan yang selesai dimasaknya di atas meja makan. Entah dengan apa aku bisa membalas kebaikannya nanti, dengan uang tentu tidak bisa karena aku tidak memilikinya.

“Rafni, adik bawamu sini, Nak. Ini Bude ambilkan nasi untuk kalian,” ucap Mbak Jum memberi perintah pada dua anakku untuk mendekat ke meja makan.

Dua bocah yang memang sudah kelaparan itu segera menghambur ke meja makan. Masing-masing langsung mengambil piring yang telah berisi nasi lengkap dengan lauk dan sayurannya.

“Mama sini makan juga,” panggil Ayuni menoleh ke arahku dengan mulut yang terisi penuh.

“Mama biar makan di sana saja, ini Bude siapkan untuk mama. Kalian makan saja yang lahap,” tukas Mbak Jum lebih dulu sembari memperlihatkan piring di tangannya.

Tidak ingin terlalu merepotkan Mbak Jum lebih banyak lagi aku berusaha bangkit.

“Aku makan di sana aja, Mbak,” ucapku menahan langkah Mbak Jum yang ingin mendekatiku. Memang setiap persendian terasa lemas, tapi aku harus bisa mengurus diri sendiri.

“Yakin sudah kuat jalan ke sini, Mba Sel? Makan di sana aja, biar aku bawakan ke sana.” Tidak menghiraukan kelulusanku, Mbak Jum kembali melanjutkan langkahnya yang terhenti.

Aku hanya bisa pasrah ketika kepala mulai terasa sempoyongan, memaksaku untuk kembali duduk. Tenagaku belum pulih sepenuhnya.

Wajar masih terasa lemas karena hanya teh manis yang masuk ke perutku usai pingsan tadi.

“Ini, suap sendiri atau aku bantu suapin?” Mbak Jum meletakkan piring di atas pangkuanku sambil menawarkan bantuan.

Semakin tidak enak aku membuatnya. “Biar saya makan sendiri, Mbak. Mbak Jum juga makan sana,” elakku.

“Saya masih kenyang, Mbak Sel. Kalian makan lah.”

Entah karena perutku yang begitu lapar, atau masakan Mbak Jum yang memang enak, mulutku tak berhenti mengunyah makanan yang disiapkannya. Sejenak aku melupakan tentang Mas Agus.

“Enak, Mbak,” ujarku memuji masakan Mbak Jum.

“Aah, Mbak Selvi bisa aja. Aku jadi tersipu, loh,” timpal Mbak Jum yang terus memperhatikanku melahap makanan di piringku.

Nasi dalam piringku sudah tandas, tapi perut masih terasa kosong. Ingin minta tambah, segan. Mbak Ju masih memperhatikanku dengan ekor matanya. Meski fokusnya seakan sedang memperhatikan kedua putriku, tapi aku yakin dia juga mempertemukanku.

“Tambah Mbak Sel?” tanya Mbak Jum ringan. Sudah pasti dia menyadari wajah mupengku yang ingin masih lanjut makan.

Menahan malu, aku terpaksa mengangguk. Memang perutku masih perlu untuk di isi, nasi yang disiapkan Mbak Jum belum mencukupi untuk membuatku kenyang.

“Sini, biar aku ambilkan.” Mbak Jum meraih piring di pangkuanku kemudian beranjak menuju meja makan.

“Duh, jadi segan aku Mbak. Ngerepotin pean mulu.” Aku meringis menahan malu.

“Halah, macam sama orang lain saja kamu. Kita loh sudah seperti saudara, masak masih segan segala.” Mbak Jum ternyata menimpali dari arah meja makan. Tangannya dengan cekatan memindahkan lauk pauk ke dalam piringku.

“Seneng aku kamu banyak makan, biar cepat pulih tenagamu,” lanjut Mbak Jum.

Benar juga. Semakin membaik keadaanku maka aku bisa mengurus diri sendiri dan kedua putriku. Terserah dengan Mas Agus yang entah berada di mana saat ini.

“Oh ya, Mbak tau ke mana perginya Mas Agus?”

Tetangga yang usianya berbeda lima tahun dengan saya mendongak sebentar mendengar ucapanku, kemudian netranya kembali melihat piring di depannya.

“Nggak tau Mbak Sel. Tadi pas denger Rafni teriak minta tolong aku segera lari ke sini. Tidak memperhatikan lagi keadaan sekitar, apa lagi suamimu.” Mbak Jum berucap tetap dengan fokus mengisi piring di depannya.

Ke mana perginya? Saya membatin. Tidak mungkin Mas Agus pergi kerja pada hari minggu ini.

***

Hingga malam Mas Agus tak kunjung pulang. Keadaanku sudah membaik, tenaga sudah pulih seutuhnya. Aku bahkan sudah bergerak merapikan rumah.

Obat orang miskin itu hanya satu, asal perut kenyang, segala penyakit akan menghilang.

Memang benar seperti itu kurasakan. Saat perutku sudah terisi penuh, perlahan tenagaku pulih dan pusing di kepala langsung hilang.

“Papa kenapa belum pulang, Ma?” Ayuni kembali bertanya ketika aku sedang menemaninya tidur.

Rafni sudah terlelap lebih dulu. Dia bahkan tidak peduli dengan papanya yang belum juga kembali, sepertinya sulungku masih memendam amarah pada bapaknya.

“Kan Mama sudah bilang dari tadi kalau papa mungkin lagi banyak kerjaan, jadi harus pulang telat,” jawabku kembali berkilah. Saya tidak tahu harus memberikan alasan lain yang terdengar masuk akal.

Cukup Rafni saja yang membenci Mas Agus, aku tidak ingin membuat framing buruk tentang papanya di ingatan Ayuni. Kecuali jika dia melihat dirinya sendiri seperti Rafni.

“Apa benar papa udah nggak sayang sama kita, Ma? Seperti yang dibilang kakak?”

Seharusnya aku menduga hal ini akan terjadi. Rafni tentu akan memprovokasi adiknya.

Otakku bekerja dua kali lipat untuk mencari jawaban yang tepat. Susah menggambarkan Mas Agus sebagai orang baik, sementara hatiku menolaknya.

Belum sempat aku menjawab, terdengar seseorang memanggil namaku dari luar.

“Siapa itu, Bu? Mungkin saja papa. Ayo kita lihat, Ma,” ujar Ayuni antusias. Ternyata dia juga mendengar suara dari luar.

Tapi aku yakin itu bukan Mas Agus, sepuluh tahun tinggal bersama aku sudah hafal suaranya.

Tidak ingin mengecewakan Ayuni, aku mengajaknya keluar untuk melihat siapa yang datang. Jika dia sudah melihatnya sendiri, yang datang itu bukan papanya, dia bisa mengambil kesimpulan sendiri.

“Ada apa, Pak Rahmad?” sapaku pada sosok yang membelakangi pintu, ternyata suami Mbak Jum.

Pak Rahmad segera berbalik, dia terlihat cemas. “Itu, Agus….”

Pria yang bekerja di perusahaan yang sama dengan Mas Agus itu tidak berani melanjutkan kuliahnya ketika netranya menangkap sosok Ayuni di sampingku.

Seakan memahami arti tatapannya, aku segera berucap, “Tidak apa-apa, Pak. Bicara saja.”

Tanganku mengusap lembut kepala Ayumi, menenangkan putriku itu. Meski diriku ikut gelisah melihat gelagat mencurigakan Pak Rahmad, aroma-aromanya dia akan menyampaikan berita buruk.

Pak Rahmad terlihat menarik napas sebelum berucap, “Suamimu pingsan di warung ujung, sepertinya dia terlalu banyak menenggak minuman keras. Coba kamu cek ke sana karena tidak ada yang bersedia membantunya.”

Seperti disambar petir di siang bolong, berita yang disampaikan Pak Rahmad memang membuat jantungku hampir meloncat dari sarangnya.

Dengan suara bergetar aku menggumam, “Mas Agus bisa mati jika dia kebanyakan minum. Dulu pernah kejadian seperti ini, dan dia hampir sekarat. Sekarang, dia kembali mengulanginya lagi, aku belum bisa hidup sendiri. Bagai mana aku menghidupi anak-anak ini nanti? Ketika tidak ada satu pegangan pun yang kumiliki?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ardhya Rahma
Tukang mabuk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status