“Mas, berangkat, Dek,” kata Mas Agus di depan pintu. Dia selesai memakai sepatu hendak berangkat. Sikapnya kembali biasa, seperti tidak ada bencana dalam bahtera kami.“Iya, Mas,” jawabku menyusul mendekatinya untuk mengecup punggung tangannya. Sebuah kebiasaan yang tidak perah lupa aku lakukan semenjak awal menikah, berharap keberkahan di sana. Mungkin saja kebiasaan kecil ini yang membuat rumah tangga kami masih bertahan. Meski hati marah, kebiasaan seakan sudah menjadi hal wajib yang harus aku lakukan.Seperti biasa Mas Agus langsung berangkat kerja setelah sarapan. Dia tidak mau tau dengan anak sulung kami yang juga akan berangkat sekolah. Baginya tugas mengantar Rafni ke sekolah adalah tanggung jawabku. Tugas dia menjamin uang jajan dan biaya sekolah Rafni terpenuhi. Walaupun belakangan dia mulai lupa dengan tanggung jawabnya.Kami hanya mempunyai satu kendaraan, yaitu sepeda motor yang selalu dipakai Mas Agus untuk pergi kerja. Makanya aku tidak bisa pergi kemana-mana karena
“Saatnya berikan hidangan terbaik untuk tetangga yang baik hati,” ujarku girang seraya melangkah ringan menuju rumah. Aku tidak mau mengecewakan Mbak Jum yang telah menyelamatkanku dari ancaman kelaparan hari ini. Sementara Ayuni kutitipkan bersama Mbak Jum, putri bungsuku itu senang bermain di rumah Mbak Jum karena banyak mainan bekas anak Mbak Jum yang sekarang sudah besar. Ikan pemberian Mbak Jum langsung kumasak tumis cabe hijau sesuai permintaannya. Beberapa ekor aku bakar untuk kedua putriku yang tidak suka pedas, kemudian sisanya aku goreng, disimpan buat stok besok.Selesai bagian tumis, langsung aku bagi dua, satu mangkok untukku, satu lagi untuk Mbak Jum. Untuk bagian Mbak Jum sengaja aku buat lebih banyak. Segera kuantar mangkok yang berisi tumis ikan itu ke rumah Mbak Jum, khawatir Mas Rahmad, suami Mbak Jum pulang cepat pada jam istirahat makan siang. Berbeda dengan Mas Agus, Mas Rahmad selalu pulang ke rumah saat istirahat siang. Selain itu aku juga harus segera m
“Pantas saja kamu terlihat begitu kelelahan, Mas. Ternyata kamu habis senang-senang dengan perempuan lain,” lirihku dengan suara bergetar.Menyesal rasanya karena sempat kasihan melihat dia yang begitu keletihan, ternyata letihnya Mas Agus disebabkan hal lain bukan karena sibuk banting tulang demi kami, keluarganya.“Aku kira kemarin, kamu sekedar nongkrong aja dengan perempuan itu. Ternyata telah berbuat lebih. Kurang ajar kamu, Mas!” Dalam pikiran awamku, Mas Agus tidak akan pernah menduakanku.Memang bodohnya aku yang masih mengira Mas Agus mencintaiku. Padahal kemarin sudah nyata bukti di depan mata namun hatiku masih terus ingin menyangkalnya dan kini kudapati bukti satu lagi. Entah lah, rasanya ada yang luka tapi tidak berdarah.Isak tangisku yang cukup keras membangunkan Mas Agus. Namun, dia hanya memandangku sekilas, setelah itu berlalu begitu saja meninggalkan kamar dan tidak kembali lagi hingga aku terlelap.“Melihatku menangis saja kamu tidak peduli, Mas. Memang sudah
“Ya, Allah kenapa seberat ini cobaan yang Engkau berikan padaku?” lirihku mulai terisak ketika Mas Agus sudah berangkat.Aku merosot di lantai ketika semua persendianku kehilangan tenaga untuk menopang bobot tubuhku. Sakit yang kurasakan ini lebih pedih dari pada pengusiran mama dan papa dulu. Terlebih saat ini aku tidak mempunyai siapa-siapa untuk tempat mengadu.Sepuasnya aku menumpahkan air mata, berharap bisa menghilangkan sedikit sesak yang memenuhi dada. “Mama kenapa menangis? Berantem lagi sama papa?” Tanpa kusadari ternyata Ayuni sudah berada di dekatku. Tangan mungilnya menyeka air mata yang mengalir di pipiku. Semakin tersayat hatiku melihat perhatiannya, tidak seharusnya anak sekecil itu menyaksikan permasalahan orang tuanya.“Tidak, Nak. Mama tadi kelilipan debu pas membersihkan jendela,” ucapku berkilah. Segera aku mengusap semua sisa air mata.“Tapi Mama tidak lagi memegang kemoceng.” Ayuni terlalu pintar untuk bisa kubohongi.“Sini peluk Mama dulu.” Aku mengalihkan pemb
“Mba Selvi bicara apa sih! Mana mungkin lah aku chat suami, Mbak. Tujuannya apa, coba?” jawab Yuni terkekeh sambil mengibaskan tangannya. Namun, aku bisa menangkap kegugupan dari sikapnya.Aku yakin jika foto profil kontak baru yang menghubungi Mas Agus semalam adalah foto Yuni, wanita dalam foto tersebut terlihat mirip sekali dengan dirinya. Ketika berhadap-hadapan begini aku langsung membayangkan foto profil kontak wa semalam. Tentu Yuni tidak akan berterus terang, bisa turun derajatnya jika ketahuan selingkuh dengan seorang karyawan bawahan sementara dia adalah staf inti di pabrik pengolahan buah sawit tersebut.“Oh, kalau bukan Mbak Yuni syukur, deh,” timpalku santai seraya mengangkat bahu. Aku beralih menatap Mbak Jum yang melongo memandangku. “Cuma nanya aja,” ujarku seakan menjawab rasa penasaran Mbak Jum yang tak terucapkan.Kemudian kami mulai menyibukkan diri masing-masing ketika rasa canggung mulai tercipta. Tidak ada lagi yang berani bersuara hingga Yuni selesai mem
“Kayaknya aku nyerah aja deh, Mbak. Udah lebih seminggu jualan tapi kueku sering bersisa. Sepertinya cita rasanya masih belum bisa memuaskan pembeli, deh. Yang ada hutangku malah makin banyak,” keluhku pagi ini pada Mbak Jum.“Yoh, masak baru seminggu jalan udah mau nyerah aja,” timpalnya disela menyusun sayuran yang baru pulang dari pasar.“Yah gimana lagi, Mbak. Jangankan berharap untung, balik modal aja enggak. Aku takut nggak sanggup bayar hutangku nanti.”Terlalu dini kalau aku bilang hampir putus asa. Namun, begitulah kenyataannya. Aku hilang semangat untuk melanjutkan ketika kue yang kubuat selalu bersisa setiap hari.“Nggak perlu dipikirkan lah kalau masalah hutang. Kan aku nggak minta, Mbak Sel.”“Aku yang segan, Mbak. Tiap hari ambil bahan tapi nggak pernah bayar,” ujarku masih dengan sikap pesimis.“Semua orang yang jualan juga pernah merasakan seperti Mbak Sel, nggak langsung laris jualannya. Asal Mbak Selvi tau aja, itu toko-toko besar yang jualannya bejibun mereka
“Papa ....” Ayuni terlepas dari genggamanku. Dia berlari pada sosok yang barusan menegurku.Mas Agus ternyata ada di warung Mbak Jum bersama dengan beberapa orang rekan kerjanya.Berbeda dengan Ayuni yang kegirangan bertemu papanya, jantungku malah hampir copot rasanya ketika melihat Mas Agus. Apalagi dia melihatku menenteng kantong plastik yang berisi kue jualanku.“Pagi Ayuni ... cantik bener pagi ini.” Mbak Jum ikut menyapa. Suaranya yang girang memecah ketegangan yang sempat tercipta. Ayuni langsung semringah mendengar ada yang memujinya. Dia tersenyum di samping Mas Agus.“Kamu belum berangkat ke pabrik, Mas?” tanyaku gugup. Berusaha menghilangkan debaran jantung yang bertalu, wajahku mungkin sudah pucat sekarang.Tanpa menjawab, Mas Agus justru memperhatikan kantong besar di tanganku.“Aku tanya kamu bawa apa itu?” Mas Agus justru bertanya balik dengan berkacak pinggang sambil menatapku garang. Dia tidak peduli dengan keberadaan rekan kerjanya yang menyaksikan kemarah
Usaha jualan kueku perlahan mulai memperlihatkan hasil. Apalagi semenjak Mbak Atun memesan dalam jumlah cukup banyak untuk acara yasinan di rumahnya minggu kemarin. Kueku mendapat promo gratis dari mulut ke mulut melalui ibu-ibu yang datang yasinan ke rumahnya. Pesanan pun mulai berdatangan, belum banyak memang, tetapi cukup membuat semangatku menggebu setiap hari.Setidaknya berguna untuk menghilangkan rasa putus asa yang sebelumnya dominan.“Ciee yang udah mulai bersemangat jualannya,” ujar Mbak Jum menggodaku ketika aku datang dengan wajah semringah. Tanganku menenteng satu kantong besar berisi kue.“Alhamdulillah, berkat semangat yang selalu Mbak Jum tularkan, aku nggak jadi terhenti di tengah jalan.” Sadar diri jika selama ini Mbak Jum lah yang berperan penting untuk membuatku tetap bertahan.“Aku ikut senang lihat kue Mbak Selvi mulai banyak peminatnya.” Ucapan Mbak Jum terdengar tulus. Kebaikan tetanggaku ini akan selalu kuingat sampai kapan pun. Dia yang selalu ada unt