“Mba Selvi bicara apa sih! Mana mungkin lah aku chat suami, Mbak. Tujuannya apa, coba?” jawab Yuni terkekeh sambil mengibaskan tangannya. Namun, aku bisa menangkap kegugupan dari sikapnya.Aku yakin jika foto profil kontak baru yang menghubungi Mas Agus semalam adalah foto Yuni, wanita dalam foto tersebut terlihat mirip sekali dengan dirinya. Ketika berhadap-hadapan begini aku langsung membayangkan foto profil kontak wa semalam. Tentu Yuni tidak akan berterus terang, bisa turun derajatnya jika ketahuan selingkuh dengan seorang karyawan bawahan sementara dia adalah staf inti di pabrik pengolahan buah sawit tersebut.“Oh, kalau bukan Mbak Yuni syukur, deh,” timpalku santai seraya mengangkat bahu. Aku beralih menatap Mbak Jum yang melongo memandangku. “Cuma nanya aja,” ujarku seakan menjawab rasa penasaran Mbak Jum yang tak terucapkan.Kemudian kami mulai menyibukkan diri masing-masing ketika rasa canggung mulai tercipta. Tidak ada lagi yang berani bersuara hingga Yuni selesai mem
“Kayaknya aku nyerah aja deh, Mbak. Udah lebih seminggu jualan tapi kueku sering bersisa. Sepertinya cita rasanya masih belum bisa memuaskan pembeli, deh. Yang ada hutangku malah makin banyak,” keluhku pagi ini pada Mbak Jum.“Yoh, masak baru seminggu jalan udah mau nyerah aja,” timpalnya disela menyusun sayuran yang baru pulang dari pasar.“Yah gimana lagi, Mbak. Jangankan berharap untung, balik modal aja enggak. Aku takut nggak sanggup bayar hutangku nanti.”Terlalu dini kalau aku bilang hampir putus asa. Namun, begitulah kenyataannya. Aku hilang semangat untuk melanjutkan ketika kue yang kubuat selalu bersisa setiap hari.“Nggak perlu dipikirkan lah kalau masalah hutang. Kan aku nggak minta, Mbak Sel.”“Aku yang segan, Mbak. Tiap hari ambil bahan tapi nggak pernah bayar,” ujarku masih dengan sikap pesimis.“Semua orang yang jualan juga pernah merasakan seperti Mbak Sel, nggak langsung laris jualannya. Asal Mbak Selvi tau aja, itu toko-toko besar yang jualannya bejibun mereka
“Papa ....” Ayuni terlepas dari genggamanku. Dia berlari pada sosok yang barusan menegurku.Mas Agus ternyata ada di warung Mbak Jum bersama dengan beberapa orang rekan kerjanya.Berbeda dengan Ayuni yang kegirangan bertemu papanya, jantungku malah hampir copot rasanya ketika melihat Mas Agus. Apalagi dia melihatku menenteng kantong plastik yang berisi kue jualanku.“Pagi Ayuni ... cantik bener pagi ini.” Mbak Jum ikut menyapa. Suaranya yang girang memecah ketegangan yang sempat tercipta. Ayuni langsung semringah mendengar ada yang memujinya. Dia tersenyum di samping Mas Agus.“Kamu belum berangkat ke pabrik, Mas?” tanyaku gugup. Berusaha menghilangkan debaran jantung yang bertalu, wajahku mungkin sudah pucat sekarang.Tanpa menjawab, Mas Agus justru memperhatikan kantong besar di tanganku.“Aku tanya kamu bawa apa itu?” Mas Agus justru bertanya balik dengan berkacak pinggang sambil menatapku garang. Dia tidak peduli dengan keberadaan rekan kerjanya yang menyaksikan kemarah
Usaha jualan kueku perlahan mulai memperlihatkan hasil. Apalagi semenjak Mbak Atun memesan dalam jumlah cukup banyak untuk acara yasinan di rumahnya minggu kemarin. Kueku mendapat promo gratis dari mulut ke mulut melalui ibu-ibu yang datang yasinan ke rumahnya. Pesanan pun mulai berdatangan, belum banyak memang, tetapi cukup membuat semangatku menggebu setiap hari.Setidaknya berguna untuk menghilangkan rasa putus asa yang sebelumnya dominan.“Ciee yang udah mulai bersemangat jualannya,” ujar Mbak Jum menggodaku ketika aku datang dengan wajah semringah. Tanganku menenteng satu kantong besar berisi kue.“Alhamdulillah, berkat semangat yang selalu Mbak Jum tularkan, aku nggak jadi terhenti di tengah jalan.” Sadar diri jika selama ini Mbak Jum lah yang berperan penting untuk membuatku tetap bertahan.“Aku ikut senang lihat kue Mbak Selvi mulai banyak peminatnya.” Ucapan Mbak Jum terdengar tulus. Kebaikan tetanggaku ini akan selalu kuingat sampai kapan pun. Dia yang selalu ada unt
“Mana kue yang kamu buat tadi? Apa cuma tinggal segini?” Mas Agus mengangkat piring berisi bolu yang tinggal sepotong.“Iya, Mas,” jawabku enteng tanpa menoleh padanya. Aku sedang menggoreng ayam, mau memasak ayam saus padang untuk makan siang ini.Mentang-mentang hari minggu, Mas Agus sengaja bangun kesiangan. Begitu pulang subuh tadi dia langsung tertidur.“Terus yang banyak tadi kamu ke manain?” tanyanya curiga.“Itu... Aku membuat pesanan orang, Mas.” Mau tak mau aku harus jujur. Lambat laun pun toh akan ketahuan juga.“Siapa?” “Bu Anggi, mau syukuran anaknya,” ujarku berterus terang.“Dari siapa dia tau kamu pandai membuat kue?” Mas Agus masih terus menanyaiku penuh selidik. Sekilas kuperhatikan dia menghempaskan tubuhnya di salah satu kursi meja makan. Dengan wajah kusut bangun tidur, Mas Agus langsung melahap sepotong bolu yang tersisa.Sebenarnya tadi ada beberapa potong yang aku sisihkan, tapi sudah habis dimakan Rafni dan Ayuni. Mana tega aku melarang mereka memakannya.“N
‘Astagfirullahal’adzim. Baru juga datang, tapi ucapannya sudah menyakiti hati. Anak dan emak sama saja ternyata, sama-sama berubah karena uang,' batinku merasa tersinggung dengan ucapan Emak.Ingin kujawab jika apa yang aku makan kini bukan lagi berasal dari uang pemberian Mas Agus, melainkan dari usahaku sendiri. Namun, aku tidak ingin menyakiti hati orang keduaku ini. Biar bagaimana pun, orang tua Mas Agus adalah orang tuaku juga semenjak aku menyerahkan diri menjadi istrinya.“Maaf, Mak. Aku belum makan dari pagi, jadi sempatkan makan dulu sebelum kalian datang. Bukannya Emak sudah diajak Mas Agus makan di luar?” ucapku berusaha bersikap tenang. Kutarik garis mulutku membentuk senyuman canggung.“Halah, palingan juga itu makan ke berapa kalinya dari pagi. Seneng kan kamu makan puas dari memeras anakku?” Sinis Emak menatapku.Ya, Allah. Menghadapi satu Mas Agus saja sudah hampir membuatku senewen, kini datang satu lagi yang ucapannya tak kalah pedas dibanding Mas Agus. Ada masalah
“Ini tambahan uang belanja bulan ini.” Setumpuk uang diletakkan Mas Agus di sampingku yang sedang mengulek cabe.Mungkin karena terlalu fokus pada ulekan di depanku, aku tidak menyadari derap langkahnya yang mendekat. Emak tidak suka cabe yang dihaluskan blender seperti yang sering aku lakukan, maka selama emak di sini aku harus sabar menghaluskan cabe dengan tangan.“Besok beli semua lauk kesukaan emak ke pasar. Jangan sampai emak nggak betah tinggal bersama kita,” ujar Mas Agus lagi menjelaskan kegunaan uang yang dia berikan. Sekilas aku menoleh pada tumpukan uang yang barusan diletakkan Mas Agus. Jumlahnya aku rasa hampir sama banyak dengan jatah yang dia berikan awal bulan kemarin.Bukannya senang, hatiku justru kian perih rasanya. Seperti ditetesi cuka pada luka yang menganga. Baru kemarin dia meminjam uang karena alasan pegangannya habis. Dan sekarang, dia malah menambah jatah belanjaku demi bisa menyenangi emak. Memang tidak salah sebagai bentuk pengabdian seorang anak, tap
Aku seperti menjadi orang asing dalam keluarga sendiri. Ketika aku memutuskan untuk ikut berbaur dengan mereka di ruang tengah, keberadaanku seperti tidak di anggap. Emak sibuk berbincang dengan Mas Agus tanpa membawaku ikut serta.Sementara anak-anakku diajak bermain oleh dua ponakan Mas Agus. Mereka seperti sengaja mengabaikanku.“Benar-benar nggak nyaman rasanya,” gumamku bicara sendiri.Dari pada terabaikan sendiri, aku memilih untuk bermain ponsel. Namun, aku tetap ikut duduk bersama mereka. Tidak sopan rasanya jika aku melipir ke kamar, padahal sekujur badan terasa remuk karena seharian hilir mudik di dapur. Hanya aku sendiri yang memasak untuk makan kami semua. Padahal Vely, ponakan Mas Agus itu sudah berusia 16 tahun. Seharusnya sudah tahu pekerjaan rumah dan sadar diri jika sedang bertamu ke rumah orang. Setidaknya ikut membantu lah meringankan pekerjaanku. Lah, ini seharian sibuk dengan ponselnya. Jika Mas Agus sudah pulang baru dia melupakan ponselnya dan ikut bermain be