‘Astagfirullahal’adzim. Baru juga datang, tapi ucapannya sudah menyakiti hati. Anak dan emak sama saja ternyata, sama-sama berubah karena uang,' batinku merasa tersinggung dengan ucapan Emak.Ingin kujawab jika apa yang aku makan kini bukan lagi berasal dari uang pemberian Mas Agus, melainkan dari usahaku sendiri. Namun, aku tidak ingin menyakiti hati orang keduaku ini. Biar bagaimana pun, orang tua Mas Agus adalah orang tuaku juga semenjak aku menyerahkan diri menjadi istrinya.“Maaf, Mak. Aku belum makan dari pagi, jadi sempatkan makan dulu sebelum kalian datang. Bukannya Emak sudah diajak Mas Agus makan di luar?” ucapku berusaha bersikap tenang. Kutarik garis mulutku membentuk senyuman canggung.“Halah, palingan juga itu makan ke berapa kalinya dari pagi. Seneng kan kamu makan puas dari memeras anakku?” Sinis Emak menatapku.Ya, Allah. Menghadapi satu Mas Agus saja sudah hampir membuatku senewen, kini datang satu lagi yang ucapannya tak kalah pedas dibanding Mas Agus. Ada masalah
“Ini tambahan uang belanja bulan ini.” Setumpuk uang diletakkan Mas Agus di sampingku yang sedang mengulek cabe.Mungkin karena terlalu fokus pada ulekan di depanku, aku tidak menyadari derap langkahnya yang mendekat. Emak tidak suka cabe yang dihaluskan blender seperti yang sering aku lakukan, maka selama emak di sini aku harus sabar menghaluskan cabe dengan tangan.“Besok beli semua lauk kesukaan emak ke pasar. Jangan sampai emak nggak betah tinggal bersama kita,” ujar Mas Agus lagi menjelaskan kegunaan uang yang dia berikan. Sekilas aku menoleh pada tumpukan uang yang barusan diletakkan Mas Agus. Jumlahnya aku rasa hampir sama banyak dengan jatah yang dia berikan awal bulan kemarin.Bukannya senang, hatiku justru kian perih rasanya. Seperti ditetesi cuka pada luka yang menganga. Baru kemarin dia meminjam uang karena alasan pegangannya habis. Dan sekarang, dia malah menambah jatah belanjaku demi bisa menyenangi emak. Memang tidak salah sebagai bentuk pengabdian seorang anak, tap
Aku seperti menjadi orang asing dalam keluarga sendiri. Ketika aku memutuskan untuk ikut berbaur dengan mereka di ruang tengah, keberadaanku seperti tidak di anggap. Emak sibuk berbincang dengan Mas Agus tanpa membawaku ikut serta.Sementara anak-anakku diajak bermain oleh dua ponakan Mas Agus. Mereka seperti sengaja mengabaikanku.“Benar-benar nggak nyaman rasanya,” gumamku bicara sendiri.Dari pada terabaikan sendiri, aku memilih untuk bermain ponsel. Namun, aku tetap ikut duduk bersama mereka. Tidak sopan rasanya jika aku melipir ke kamar, padahal sekujur badan terasa remuk karena seharian hilir mudik di dapur. Hanya aku sendiri yang memasak untuk makan kami semua. Padahal Vely, ponakan Mas Agus itu sudah berusia 16 tahun. Seharusnya sudah tahu pekerjaan rumah dan sadar diri jika sedang bertamu ke rumah orang. Setidaknya ikut membantu lah meringankan pekerjaanku. Lah, ini seharian sibuk dengan ponselnya. Jika Mas Agus sudah pulang baru dia melupakan ponselnya dan ikut bermain be
“Gus, Emak mau pulang besok,” ucap Emak memecah senyap ketika kami sedang sarapan.“Kenapa mendadak ingin pulang, Mak? Baru juga dua minggu di sini.” Mas Agus mendelik curiga padaku. Mungkin dia mengira emaknya itu ingin pulang karena diriku.“Emak mulai tidak betah di sini. Lebih enak di rumah sendiri, lagi pula bebek dan kambing tidak ada yang jagain di sana kalau ditinggal lama,” ujar Emak mengutarakan alasannya.“Apa karena sikap Selvi, Emak nggak betah di sini?” tebak Mas Agus kembali melayangkan tatapan curiga ke arahku.“Mas!” Sontak saja aku protes. Sebenci apa pun aku pada emak karena perubahan sikapnya, tapi aku tidak pernah membalas sikapnya. Aku masih tahu diri, takut kualat jika melawan orang tua.Meski tidak bisa dipungkiri, aku tentu senang mendengar keinginan emak yang ingin segera hengkang dari rumahku. Capek lama-lama menghadapi kenyinyirannya.“Emak hanya ingin pulang saja. Lagi pula, Vely juga akan segera mendaftar ke SMA. Jika terlalu lama di sini, ponakanmu ini
“Rafni! Jangan tidak sopan begitu, dia adalah nenekmu!” hardik Mas Agus memarahi putri sulung kami.“Kamu didik lah anakmu itu baik Gus. Masih kecil tapi sudah kurang ajar, mau jadi apa dia besar nanti.” Emak ikut memarahi Rafni.“Begini akibatnya kalau anak salah asuhan. Tidak tahu sopan santun terhadap orang tua. Kamu masih bilang capek mengurus anak di rumah? Mendidiknya supaya melawan pada orang tua begini yang kamu maksud kan?” Mas Agus berbalik memarahiku. Matanya menatap nyalang padaku, seakan mampu membunuhku dengan tatapannya itu.Sementara aku masih syok mendengar Rafni berani bicara seperti itu pada neneknya. Memang sebelumnya aku sudah pernah melihat dia meneriaki papanya, tapi tidak menyangka jika Rafni juga berani memarahi neneknya.“Papa dan nenek sama kurang ajarnya. Suka memarahi mama, padahal mama tidak melakukan kesalahan,” cecar Rafni kembali meninggikan suaranya, dia tidak gentar melihat kemarahan papanya.“Rafni ....”Mas Agus segera berdiri, bersiap melayangkan
“Astaga! Memang dasar nenek-nenek mata duitan. Semua mau diembatnya,” umpat Mbak Jum kesal.Aku pun tak kalah kesal mendengarnya. Tak puaskah dengan uang pemberian Mas Agus yang diambilnya?“Buruan pulang, Mbak Sel. Selamat kan peralatan tapertupermu,” desak Mbak Jum tak sabar. “Mau aku bantuin memarahi nenek peot itu, nggak?” sambungnya menawarkan diri.“Nggak usah, Mbak Jum. Aku nggak mau menambah masalahku dengan mereka. Ini aja aku belum bertegur sapa dengan emak,” ujarku mencegah Mbak Jum untuk ikut campur. Aku merasa masih sanggup menghadapi mereka.Rafni berdiri dengan napas terengah di depanku. Dia sepertinya menghabiskan seluruh tenaganya untuk sampai ke sini. Pantas aku tidak melihatnya wara wiri di dekat warung Mbak Jum bersama Ayuni. Ternyata dia kembali ke rumah untuk mengintip neneknya. Padahal tadi dia ikut serta denganku ke warung Mbak Jum. “Ya udah, kalau gitu aku pulang dulu, Mbak,” ucapku pamit yang langsung dibalas anggukan oleh Mbak Jum.“Sebaiknya kamu tetap di
“Gus, istrimu itu baik banget, deh. Liat nih, semua barang-barangnya dia berikan pada Emak.” Baru saja Mas Agus menghempaskan tubuhnya di sofa ruang depan, emak sudah mengadu lebih dulu.Putranya yang baru pulang kerja itu tidak begitu menghiraukan ucapan emaknya. Mas Agus pun belum sadar jika lemariku sudah kosong.Berbeda saat berbicara dengan Mas Agus yang begitu lembut, Mak barubah ketus ketika berbicara denganku. “Awas ya kalau kau menjelek-jelekkan Emak pada Agus,” ucapnya mengancamku.“Nggak dijelek-jelekkan pun Emak sudah jelek, bukan di mata Mas Agus melainkan di mata semua orang,” gumamku berbisik. Beruntung emak yang mendekati usia lanjut itu tidak mendengar ucapanku, mungkin pendengarannya pun sudah mulai berkurang.Aku teringat dengan ekspresi Mbak Jum yang begitu jijik terhadap emak ketika menceritakan kelakuan mertuaku itu saat berada di warungnya.“Parah banget kelakuan mertuamu, Mbak sel. Sama busuknya kayak Agus. Memang benar kata orang, buah jatuh tidak jauh dari
“Mulai lagi, baru juga aku pulang. Tapi kamu sudah mau ngajak berantem. Emak pun belum meninggalkan Pulau Sumatera ini tapi kamu sudah membawa-bawa namanya untuk menutupi kelakuanmu,” ujar Mas Agus dengan setengah terpejam. Aku yakin dia ingin marah padaku, tapi tubuhnya seperti tidak mau diajak kompromi, harus segera diistirahatkan. Dia bahkan sudah terlelap sebelum mendengar balasanku.“Jika kamu tidak percaya, ya sudah. Tapi memang itu kenyataannya. Uangnya nggak ada sama aku, kalau Mas tetap mau silakan minta sama emakmu.”Aku seperti berbicara sendiri ketika mata Mas Agus sudah tertutup sepenuhnya.“Habis ngapain sih dia? Sampai kecapean banget gitu?” gumamku heran melihat Mas Agus cepat sekali tertidur.Hari itu aku terlepas dari kemarahan Mas Agus. Dia bahkan tidak lagi mengungkit masalah jatah belanja tambahan itu.***Semenjak kecil aku tidak pernah berjuang. Boleh dikatakan begitu, karena aku terbiasa menerima dari orang tuaku yang sudah berada. Apa pun yang aku inginkan sud