Share

3. Pingsan

“Selvi!”

Samar aku mendengar suara Mas Agus semakin menjauh memanggil namaku sebelum kesadaranku hilang sepenuhnya. Pandangan di sekelilingku menjadi gelap gulita.

Cukup lama rasanya aku berada dalam kegelapan sehingga aroma minyak kayu putih membuat panca Inderaku kembali berfungsi.

Hiruk pikuk di sekelilingku membuat kesadaranku semakin muncul ke permukaan.

 “Akhirnya sadar juga,” ucap suara perempuan yang terdengar familiar. Suaranya dekat sekali di telinga. Mungkin orang itu yang juga menepuk-nepuk bahuku sambil memaksa penciumanku untuk menghirup aroma minyak kayu putih.

“Alhamdulillah, matanya sudah mulai terbuka,” ucap suara lain yang juga seorang perempuan ketika kupaksa membuka kelopak mata yang terasa berat.

Aku semakin jelas mendengar suara di sekelilingku seiringan dengan penglihatanku yang mulai jernih.

“Mbak Jum,” lirih suaraku memanggil orang pertama yang mampu ditangkap netra. Cukup kaget dengan keberadaan Mbak Jum di rumahku, tetangga yang terpisah dua rumah dariku itu jarang sekali meninggalkan rumahnya karena mempunyai warung di rumahnya.

Kurasakan punggung tanganku disentuh lembut. “Saya, Mbak Sel. Gimana perasaannya, Mbak?”

Belum sempat aku menjawab, sentuhan lain pun kurasakan di tangan sebelah kanan. Kali ini lebih kecil dari tangan Mbak Jum. “Mama udah bangun? Mana yang sakit, Ma?” Suara kecil itu aku tahu milik Ayuni, putri bungsuku.

“Sudah, Nak. Mama nggak papa, kok,” kilahku sambil memaksa sudut bibir membentuk senyuman.

Wajah mungil itu menatapku sendu dengan mata terlihat sembab. Dia pasti menangis selama aku tak sadarkan diri. Di sebelahnya berdiri anak sulungku yang keadaannya tak jauh berbeda.

Kasian putriku, mereka pasti cemas melihatku pingsan. Aku membatin.

“Semua ini gara-gara papa! Jika papa tidak menendang mama, mungkin mama tidak akan pingsan.”

Suara lantang Rafni, membuatku tersentak. Tak mengira jika dia melihat kejadian tadi.

Sepertinya bukan hanya aku saja yang kaget, ruang depan rumah KPR-ku mendadak ramai seperti gaungan kawanan lebah pulang ke sarang.

Setiap kepala yang berada di sana menyuarakan pendapat mereka. Barulah aku sadar jika rumahku dipenuhi banyak orang, mungkin semua warga komplek berkumpul di sini.

“Kenapa ada banyak orang di sini, Mbak Jum?” tanyaku menyuarakan penarasan. Jika Mbak Jum saja di sini aku merasa wajar karena rumahnya memang berdekatan denganku. Namun, melihat beberapa wajah asing ikut berada di dalam rumahku tentu ada berita heboh yang membuat mereka berkumpul di sini.

“Tadi ....” Mbak Jum menjeda ucapannya, dia melirik sekilas pada Rafni yang berdiri di sampingnya.

Mbak Jum terlihat ragu-ragu untuk berbicara.

“Katakan saja, Mbak,” ujarku meyakinkan.

Mbak Jum membuang napas pelan sebelum melanjutkan ucapannya, “Tadi, putri cantikmu ini berlarian di sepanjang komplek. Dia menangis histeris memanggil semua orang untuk meminta bantuan menyelamatkan kamu yang tergolek pingsan.”

“Bude bangga sama kamu, Nak. Kamu penyelamat mamamu,” lanjut Mbak Jum mengusap kepala putri sulungku.

Aku pun ikut melirik pada Rafni yang kini berlinangan air mata. Mentalnya pasti terguncang melihat kejadian hari ini.

 “Jangan menangis, Nak. Mama sudah baik-baik saja.” Tanganku terulur untuk menenangkan Rafni.

Aku mencoba bangkit, sebagai tuan rumah yang baik aku harus menyapa tamu yang berkunjung ke rumahku, meski kedatangan mereka karena kejadian yang tak mengenakkan.

 Tangan Mbak Jum bergerak bebas menyanggah punggungku ketika tiba-tiba tubuhku terhuyung kehilangan tenaga. Aku belum begitu pulih.

“Terima kasih, Mbak Jum.” Aku berucap lirih. Mbak Jum mengangguk sebagai jawaban.

Aku mendongak untuk memperhatikan setiap wajah yang kini masih memenuhi rumahku. Setelah kesadaranku pulih seutuhnya, kini banyak wajah akhirnya bisa kukenali. Beberapa dari mereka adalah rekan sesama ibu rumah tangga yang sering berjumpa di warung Mbak Jum ketika berbelanja sayur.

“Terima kasih banyak atas perhatian ibu-ibu dan bapak-bapak semua yang telah bersedia datang ke sini setelah mendengar teriakan minta tolong anak saya. Aku merasa bersyukur sekali tinggal di lingkungan yang penghuninya perhatian terhadap sesama.”

Sepatah kata kusampaikan untuk ucapan terima kasih. Meski setelah ini aku akan menjadi tranding topik di komplek ini, setidaknya aku cukup terharu atas simpati mereka.

Serempak mereka menjawab sehingga aku tidak bisa mendengar jelas apa yang mereka ucapkan.

***

Semua orang kini telah pergi, setelah memastikan keadaanku sudah benar-benar membaik, dan setelah mereka merasa puas membicarakan masalah yang kuhadapi sampai ke akar-akarnya, bahkan mungkin dikuliti sampai habis, rumahku kembali tenang.

Hanya bersisa Mbak Jum yang sibuk di dapur mungilku untuk menyiapkan makanan untukku dan juga anak-anak.

Aku teringat memang belum makan sejak pagi, mungkin itu juga yang membuatku pingsan karena menahan emosi pada saat perut kosong.

Teringat dengan ucapan Rafni tadi, aku penasaran sejauh mana anak sulungku itu mendengar percekcokan kami. Sebelum aku masuk ke kamar tadi untuk mengambil uang di dompet Mas Agus, dua anak itu tengah bermain di depan rumah Mbak Jum.

“Nak, sini dulu,” panggilku pada Rafni yang tengah asyik menonton kartun bersama adiknya. Sementara aku masih berbaring di sofa, di belakang mereka.

Rafni beranjak mendekatiku menyadari aku memanggil dirinya. “Ada apa, Ma?” ucapnya.

Aku ragu untuk bertanya, cemas jika jawabannya nanti akan membuatku bersedih. Selama ini aku selalu menghindari pertengkaran dengan Mas Agus di depan anak-anak. Takut jika percekcokkan kami akan mengganggu perkembangan mental mereka.

“Terima kasih banyak ya, Nak. Sudah mencari pertolongan untuk Mama.” Alih-alih bertanya, aku akhirnya mengucapkan terima kasih. Sulungku yang sebentar lagi berusia sembilan tahun itu sudah mengerti keadaan darurat yang membutuhkan pertolongan orang lain.

“Rafni nggak mau kehilangan, Mama. Rafni ingin selalu bersama Mama.” Wajahnya yang polos kembali terlihat sendu ketika dia mengutarakan perasaannya.

Aku raih tangannya, menenangkan dirinya yang mulai terisak sambil berucap, “Iya, Sayang. Mama akan selalu bersama kamu dan juga Ayuni.”

“Janji kita akan selalu bersama. Tapi, nggak usah bawa papa,” ucap Rafni terlihat kesal ketika menyinggung Mas Agus.

Matanya berkilat menyiratkan kebencian yang terpendam di hatinya. Miris rasanya melihat anak sulungku itu menyimpan amarah untuk salah satu orang tuanya.

“Kenapa?”

“Papa jahat! Dia bahkan pergi setelah membuat Mama pingsan.” Suara Rafni meninggi dengan napasnya yang memburu. Mba Jum yang berada di dapur sempat menoleh pada kami mendengar luapan emosi Rafni.

Sulungku tengah berada di puncak kemarahan. Kutarik tangannya pelan supaya tubuhnya jongkok, sejajar denganku yang berbaring. Mengusap punggungnya untuk menenangkannya.

Semenjak siuman aku belum melihat batang hidung Mas Agus. Mungki kah Mas Agus pergi meninggalkan kami? Dengan suara pelan aku menggumam, “Ke mana perginya dia? Apa dia berniat menelantarkan kami di sini?”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ardhya Rahma
waduh Agus KDRT
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status