Share

2. Mulai perhitungan

"Ngapain sama dompet aku? Mulai lancang kamu, ya! Mengobrak abrik barang pribadiku!” ketus Mas Agus merampas dompetnya di dekat kakiku.

“Ma-maaf, Mas.” Suaraku bergetar ketakutan. Refleks aku mundur selangkah memberi jarak di antara kami.

“Sejak kapan kamu jadi istri tak tau diri begini?” garang Mas Agus menatapku. Hatiku teriris mendengar pedas ucapannya.

“A-aku cuma mau ngambil uangmu dikit aja, Mas. Untuk membeli tahu dan tempe buat di masak hari ini.” Gugup suaraku menimpali. Aku masih terus menunduk, terlalu takut bertemu mata dengannya.

“Bukannya udah kukasih kemarin? Kemana aja uang sebanyak itu?” Suara garang Mas Agus membuatku semakin menciut.

“Tiga minggu yang lewat Mas berikan, sudah habis kemarin beli beras 2kg untuk makan beberapa hari ke depan, Mas.”

Meski takut, aku tetap harus menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Sebagai seorang suami yang bertanggung jawab, Mas Agus pasti akan memahami keadaanku.

“Uang 1 juta kamu habiskan tiga minggu?” sentak Mas Agus tak percaya.

 Tubuh tegapnya mencondong ke arahku, mengancam dengan tatapan garangnya. Aku makin beringsut, nyaliku kian lenyap mendengar bentakannya. Tanpa bisa kutahan, cairan bening lolos membasahi pipi. Aku wanita lemah yang tidak bisa mendengar orang lain bicara keras di depanku.

“Maaf, Mas,” lirihku kembali mengaku salah. Mungkin, memang aku istri yang lancang. Sudah berani membuka dompet suami.

Alih-alih bersimpati, Mas Agus justru membuang muka mendengar penyesalanku.“Nggak ada jatah belanja lagi. Ngapain kamu habiskan uang pemberianku kemarin. Uang itu untuk sampai akhir bulan. Gajian bulan depan, baru aku kasih lagi,” cetusnya berlalu meninggalkanku yang bergetar ketakutan.

 Sepeninggal Mas Agus, aku terduduk lemas kehilangan tenaga. Bersimbah air mata meratapi nasib diri yang merana.

“Apa salahnya, Mas aku mengambil uangmu sedikit? Sedangkan di dompetmu terisi penuh uang seratus ribu,” lirihku berderai air mata.

Hidup di perantauan, jauh dari orang tua serta sanak saudara membuatku tidak mempunyai tempat mengadu selain suami sendiri, dan kini tumpuan itu yang mengabaikanku.

Terlebih orang tuaku memang menentang pernikahan kami, semakin membuatku kehilangan tempat untuk bertumpu.

“Menikah dengan seorang pengangguran itu sama saja kamu menyerahkan dirimu menjadi miskin. Orang seperti kekasihmu itu tidak akan pernah bisa mengubah nasibnya karena karakternya yang pemalas.” Begitu ucap papa dulu ketika aku berterus terang tentang hubunganku dengan Mas Agus setelah merahasiakannya selama 2 tahun.

Bukan tanpa alasan papa bilang begitu. Ketika aku mengajak Mas Agus datang ke rumah untuk berkenalan dengan mereka, sekaligus menyampaikan niat baiknya ingin meminangku sebagai istri, Mas Agus berterus terang jika dia belum mempunyai pekerjaan.

Semakin kuat papa dan mama melarang hubungan kami, semakin mantap pula hatiku memilih Mas Agus sebagai pendamping hidupku. Mata dan hatiku sudah dibutakan oleh cinta pada kakak kelas yang menjadi ketua Pramuka itu.

Mas Agus senior di atasku satu tahun. Kami bertemu ketika sama-sama mengikuti kegiatan Pramuka di bangku SMA. Dia yang menjadi ketua regu saat itu membuatku terpesona dengan sikap kepemimpinannya yang bertanggung jawab.

Selain itu, dia sering mengajakku main ke rumah orang tuanya selama kami berpacaran. Keluarganya tentu saja menyambutku hangat. Meski berasal dari keluarga sederhana, Mas Agus begitu sayang pada ibunya membuatku yakin dia juga akan menyayangiku dan anak-anakku kelak. Konon katanya laki-laki yang menyayangi orang tuanya juga akan menyayangi anak dan istrinya.

“Kamu adalah anakku, selama Papa masih hidup maka Papa wajib menjadi wali nasabmu, walaupun orang yang kamu nikahi tidak Papa restui. Papa tidak ingin mengiring keluarga Papa masuk dalam neraka. Suamimu adalah pilihanmu, kamu yang akan menjalani kehidupan bersama dengannya setelah menikah, maka kamu bertanggung jawab dengan pilihanmu sendiri.”

Kini, ucapan papa ketika aku bersimpuh meminta restu untuk menikah bersama Mas Agus kembali terngiang. Sudah tidak berguna jika aku menyesal sekarang, setelah pernikahan tanpa restu ini sudah kujalani sepuluh tahun.

Memang hubunganku dengan orang tua sudah kembali membaik. Bahkan dari sejak dulu, sejak kami akan menikah. Papa sendiri yang menjadi waliku ketika kami menikah. Meski Dua sejoli yang telah melahirkanku itu sudah memaafkanku, namun aku tetap mendapat konsekuensi atas keputusanku yang kekeuh memilih Mas Agus sebagai suami. Aku terpaksa meninggalkan semua kemewahan yang selama ini kunikmati.

Didepak dari rumah sehari setelah menikah adalah hukuman yang harus kuterima. Orang tua yang sebelumnya begitu menyayangiku tega mengusirku tanpa memberi bekal apa-apa. Semua fasilitas yang telah mereka berikan diambil kembali, kartu ATM, mobil serta perhiasan harus kurelakan berpindah tangan.

“Mulai sekarang tanggung jawab atas dirimu akan berpindah ke pundak suamimu. Papa dan mama tidak akan ikut campur lagi terhadap kehidupanmu. Pandai-pandailah membawa diri, supaya kamu berada di jalan yang benar,” ucap Papa melepas kepergianku. Ucapannya itu hingga kini terpatri kuat di kepalaku. Hal itu juga yang menahan mulutku supaya tidak menceritakan masalah rumah tanggaku pada papa dan mama.

Bukan hanya untuk diriku, pesan yang diberikan papa pada Mas Agus pun masih kuingat jelas. “Tolong jaga anakku baik-baik. Saya harap kamu bisa menyayangi dirinya seperti kasih sayang yang kami berikan selama ini kepadanya. Selain itu, saya juga berharap kamu bisa menghidupinya dengan layak.”

Mas Agus menjawab dengan gentle waktu itu, meski tidak ada pegangan untuk menyanggupi permintaan papa.

Dalam tangis aku berucap, “Pa, Ma. Inikah karma untukku karena mengabaikan ucapan kalian?”

Masih terisak aku terus meratapi diri. Menyesali pengorbanan yang kulakukan selama ini seakan terasa sia-sia.

Posisiku masih terduduk lemas di lantai. Tak mampu menggerakkan kerangka yang kehilangan tenaga.

Samar, terdengar derap langkah masuk ke kamar. Itu pasti Mas Agus.

Benar saja, pria yang bergelar suami itu kembali masuk dengan wajah yang lebih segar. Tapi hanya wajahnya yang bersih, mulutnya masih tetap dipenuhi luapan emosi.

“Heh! Mau sampai kapan meringkuk di situ? Pergi masak sana, aku makan!” bentak Mas Agus sambil melayangkan tendangan ke bagian pinggangku.

Kepalaku terasa berkunang dengan pandangan mulai berputar. Ditambah mendapat pukulan dari Mas Agus membuat tubuhku yang sudah lemah kian kehilangan tenaga.

Sambil menahan diri yang hampir ambruk, aku berucap, “Lebih baik kau bunuh saja aku, Mas ....”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Diana Batara Munti
parah ini mah, masih ada yg kayak gini yah..... klo aq bilang aja terus terang, klo perlu ajak suami belanja... ini mah komunikasi yg kurang, serem... klo sy daripada dia perhitungan seperti ini lebih baik keluar dari kerjaannya ga berkah... hadeh jadi esmosi jiwa
goodnovel comment avatar
Ardhya Rahma
Wah teganya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status