Share

6. Mas Agus Tak Kunjung Kembali

"Siapa perempuannya, Pak Rahmad?" tanyaku penasaran. Meski hati sudah tidak karuan rasanya, tapi aku berusaha untuk tetap tenang.

"Aku nggak tau, Mbak Selvi. Orang di dalam bilang itu cewek panggilan," jawab Pak Rahmad ragu.

"Astaghfirullahhal'adzim!" pekikku syok mendapati suamiku mulai bertindak di luar kebiasaannya.

Mas Agus memang sudah jauh sekali berubah semenjak menjadi karyawan ini. Dia mulai bertindak semaunya. Sudah lama sekali dia tidak mabuk-mabukkan seperti ini, kalau tidak salah terakhir dia melakukannya saat kami hendak menikah dulu. Alasan dia melakukannya waktu itu untuk menghilangkan beban pikiran yang memenuhi kepalanya. Memang Mas Agus dulu stres mencari cara untuk mendapatkan restu dari orang tuaku. Walaupun akhirnya kami tetap bisa menikah, meski tanpa restu dari mereka.

Dan sekarang, apa yang membuatnya banyak pikiran? Dia sudah memiliki pekerjaan tetap dengan gaji mengalir tiap bulan. Sedangkan sepuluh tahun ke belakang dengan penghasilan seadanya dia tidak merasa terbebani. Kenapa setelah mendapatkan pekerjaan layak justru membuatnya mabuk-mabukkan? Atau Mas Agus melakukannya sekarang hanya sekadar untuk gaya-gayaan? Membanggakan diri dengan penghasilan yang dimilikinya.

"Terus gimana, Pak? Kita harus mencari Mas Agus ke mana?" imbuhku gelisah. Hatiku semakin tak tenang mendapati Mas Agus tidak ada di sini. Terlebih mendapat kabar dia pergi dengan seorang perempuan.

"Aku juga bingung harus mencari Agus ke mana, Mbak Selvi. Apa perlu kita cek ke hotel yang ada di kota kecamatan?" Pak Rahmad terlihat sama gelisahnya denganku. Dia memberi saran yang membuatku semakin meradang. Beberapa hotel memang ada di kota kecamatan, tapi jarak tempuh ke sana dari tempat tinggalku lumayan jauh, bisa menghabiskan waktu kurang lebih satu jam perjalanan. Mustahil berangkat ke sana di tengah malam begini. Lagi pula aku tidak nyaman harus bepergian dengan para suami tetanggaku ini terlalu jauh. Pergi ke warung ini saja sudah membuatku tidak enak.

"Kalau ke kota kecamatan, Mbak Selvi sebaiknya jangan pergi. Biar kami saja yang telusuri ke sana. Sudah hampir tengah malam, tidak baik perempuan berada di luar rumah pada jam segini." Reno Suami Tika ikut menimpali. Dia putra daerah asli kampung sini, masih kuat memegang teguh aturan adat Melayu dalam kehidupannya.

Para pria yang lain pun menyetujui ucapan Reno. "Iya. Sebaiknya kita cepat ambil keputusan apa yang harus dilakukan. Tidak baik lama-lama berdiri di depan warung begini, apalagi ada seorang perempuan di antara kita," ucap salah seorang pria dalam rombongan juga ikut menimpali.

"Mana baiknya saja, Bapak-bapak. Tidak pergi ke kota kecamatan pun tidak masalah. Seandainya terjadi sesuatu pada Mas Agus pasti kabarnya akan sampai pada kita. Sebaiknya kita pulang saja." Aku tidak ingin merepotkan mereka lebih banyak lagi. Sadar beberapa orang di dalam rombongan adalah rekan kerja Mas Agus di pabrik yang harus masuk kerja setengah tujuh pagi, aku tentu tidak ingin membuat mereka terlambat masuk kerja esok pagi karena kesiangan.

"Kita pulang saja, Pak Rahmad," ulangku memastikan.

"Terus si Agus gimana?"

"Biarkan saja. Aku terima apa pun nanti kabar yang akan datang ke rumah. Dia yang memilih jalannya sendiri," ujarku pasrah. Walau pun nanti dicari, pasti susah menemukannya karena tidak memiliki tanda-tanda keberadaan Mas Agus.

Akhirnya semua sepakat untuk kembali ke rumah. Meski ada beberapa di antara bapak-bapak dalam rombongan yang menawarkan diri untuk terus mencari Mas Agus, tapi kularang. Percuma saja rasanya. Toh, nanti Mas Agus juga akan pulang sendiri jika dia masih ingat dengan kami keluarganya.

**

Hingga pagi aku tidak bisa memejamkan mata sepicing pun. Aku terus gelisah menunggu kepulangan Mas Agus. Matahari sudah menyingsing tinggi, semua orang sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Namun, Mas Agus tak kunjung memperlihatkan tanda-tanda kepulangannya.

"Papa belum pulang juga, Ma?" Ayuni bertanya padaku ketika mendapati rumah masih tetap kosong. Kami baru saja kembali dari menjemput Rafni pulang sekolah.

"Biarkan saja orang jahat itu nggak pulang!" Rafni ikut menimpali. Dia berceletuk sambil membuka sepatu.

"Papa bukan orang jahat! Kak Rafni yang jahat! Kak Rafni yang membuat papa pergi dari rumah." Ayuni langsung meneriaki kakaknya. Tidak terima mendengar ucapan sang kakak.

"Kamu nggak liat kemarin Mama pingsan gara-gara papa? Itu tandanya papa yang jahat!" Rafni kembali membalas dengan lengkingan tak kalah tinggi.

"Kak ... ganti baju gih, setelah itu kita makan." Aku berusaha menengahi. Tidak nyaman juga melihat kedua putriku bertengkar karena papanya. Sementara orang yang mereka bicarakan entah berada di mana saat ini. Tanpa peduli pada mereka.

"Iya, Ma," jawab Rafni lesu. Dia berjalan gontai menuju kamarnya. Sementara Ayuni mengekor di belakangku menuju meja makan.

"Adek nggak mau makan, Ma. Adek maunya ketemu papa," ucap Ayuni memasang wajah cemberut.

"Kita makan sambil menunggu papa pulang, ya. Mungkin sebentar lagi papa pulang," bujukku lembut. Kasihan rasanya harus membohongi Ayuni dengan mengatakan Mas Agus akan pulang. Padahal aku sendiri ragu akan suamiku itu apa dia ingat jalan pulang atau sudah melupakan kami.

Aku tidak menyangka hanya karena masalah kecil, aku kepergok membuka dompetnya, Mas Agus pergi meninggalkan kami. Memang kuakui perbuatanku salah, tapi itu kulakukan demi anak-anak bisa makan dan demi perut dia juga bisa terisi. Jika dia tidak mematok jatah belanjaku mungkin semuanya akan berjalan seperti biasa. Pagi ini dia akan pergi berangkat kerja dan malamnya kembali ke rumah.

Sekarang aku hanya bisa pasrahkan nasibku dan anak-anak pada Dzat Pengatur Kehidupan. Terserah Tuhan mau menuntun jalanku ke mana. Aku tidak mempunyai siapa-siapa di sini selain Mas Agus. Kedua orang tuaku dan orang tua Mas Agus tinggal di Pulau Jawa. Sementara kami setelah menikah dulu memilih merantau ke Pulau Sumatera, nekat mengadu nasib jauh dari keluarga.

Aku tidak ingin memikirkan nasibku yang harus berjuang sendirian menghidupi anak-anaknya tanpa Mas Agus. Selama ini aku selalu fokus menjadi ibu rumah tangga yang baik dan bergantung pada Mas Agus sehingga aku menjadi seorang perempuan tanpa memiliki skill apa-apa.

"Nggak mau! Pokoknya mau ketemu papa!" Ayuni berteriak lantang, menyentak lamunanku.

"Gini aja, kita makan dulu, setelah itu baru pergi mencari papa. Adek harus makan supaya ada tenaga untuk mencari papa." Aku terus membujuk si bungsu.

"Biarin aja dia nggak makan, Ma. Nanti kalau sakit biar dia tanggung sendiri akibatnya." Rafni sudah selesai berganti pakaian, sepertinya dia mendengar amukan Ayuni yang tidak mau makan. Putri sulungku kembali berujar ketus menanggapi Ayuni yang kembali menyinggung papa mereka.

"Kakak ...." Aku mendelik ke arahnya. "Jangan memarahi adikmu, dia tidak tahu apa-apa," ucapku menasehatinya. Meski aku juga ragu Rafni mengetahui yang sebenarnya. Bagiku Rafni masih terlalu kecil untuk mengetahui permasalahan orang dewasa.

"Kakak jahat! Kakak jahat! Adek nggak mau berteman sama kakak!" Ayuni yang semula mulai melunak, kembali menangis histeris mendengar ucapan Rafni. Bocah empat tahun itu bersimbah air mata sambil terus memanggil Mas Agus dalam tangisnya. "Papa, papa ... papa."

Aku kehilangan cara untuk menenangkan Ayuni. Kubiarkan dia menangis sejadi-jadinya, mungkin dengan begitu nanti hatinya akan menjadi sedikit tenang. Aku juga tidak ingin memarahi Rafni karena telah membuat adiknya menangis, menurutku tindakan dia sudah benar meski cara penyampaiannya masih terlalu keras.

Ketika aku dan Rafni saling diam memperhatikan Ayuni menangis, terdengar suara seseorang dari arah pintu depan. "Adek, kenapa menangis?"

Kami sontak menoleh ke sumber suara.

Seketika Ayuni langsung menghentikan tangisannya melihat siapa yang datang. Dia berseru riang sambil berlari mengejar papanya. "Papa ...."

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Riris Binben
laki2 pelit.... buang aja kelaut
goodnovel comment avatar
Fajar Indah
kasihan selvi
goodnovel comment avatar
Zudia
ikut mewek ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status