Share

Choice
Choice
Penulis: Varava

Chapter 1

Alarm ponsel berbunyi bersamaan dengan teriakan dari lantai bawah. Telinga mendengar namun mata tetap terpejam. Tubuhnya mengulet sedikit ke kiri lalu dengan cepat ditariknya selimut putih tebal menutupi seluruh tubuh. Persetan dengan hari ini. Dia sudah punya rencana untuk bolos sekolah.

Satu tepukan di pantat, walaupun tidak sakit karena terhalang selimut tebal, cukup membuat matanya terbuka penuh. Tepukan ke dua terpaksa membuatnya menurunkan selimut yang menutupi tubuh. Kakaknya sudah berdiri di samping tempat tidur dengan spatula ala Spongebob.

“Aku tunggu jam enam di meja makan.”

“Iya,” ucapnya pelan.

Dia mengawasi kakaknya keluar dari kamar. Setelah yakin pintu tertutup, dia tarik kembali selimut tebal menutupi seluruh tubuh. Belum sempat dia memejamkan mata kembali, tepukan di pantat kembali datang beruntun. Setengah kesal dia berlari menuju kamar mandi.

Di dapur, sang kakak kembali berkutat dengan bahan makanan untuk dibuat sarapan pagi dan bekal makan siang adiknya. Kecintaannya pada dunia memasak menurun dari almarhum mamanya yang dulu seorang Chef. Resep-resep masakan mamanya merupakan peninggalan berharga yang terus dipelajarinya hingga sekarang.

Tepat jam enam pagi adiknya menyapa dengan keriangan yang penuh kepura-puraan. Diletakkannya piring berisi sandwich dan segelas susu putih di hadapan adiknya.

“Ray, semalam pulang jam berapa?”

Mata Ray melirik jahil. “Tenang aja, aku nggak hamilin anak orang, Chef Reihan.”

Reihan menghela napas pelan. Percuma mendesak adiknya, mau ditanya berulangkali tidak akan ada jawaban benar yang keluar dari mulutnya.

“Ini bekal makan siangmu.” Reihan meletakkan rantang makan dengan motif polkadot hijau putih berukuran sedang di meja makan. Ray memandang tak percaya rantang makan di hadapannya.

“Aku mau sekolah bukan mau piknik.”

“Aku pulang malam dan kamu sekolah sampai sore, jadi itu cukup sampai sore.”

“Tapi aku bisa makan di luar. Aku,”

“Satu bulan yang lalu kamu hampir mati karena keracunan makanan di pinggir jalan!”

Ray tidak membantah karena itu fakta. “Ok,” Ucapnya pelan. Sejak kejadian itu kakaknya semakin ketat mengawasi apapun makanan yang masuk ke mulutnya.

Kakaknya meletakkan surat panggilan dari sekolah di sebelah gelas berisi susu. Dia menyiapkan diri mendengar ceramah pagi hari.

“Dengar, sebentar lagi kamu ujian, aku mohon belajar. Nilai-nilaimu memprihatinkan,” Ucap Reihan lembut. “Sebulan ini udah tiga kali aku dipanggil oleh wali kelasmu. Tolonglah untuk kali ini aja, belajar, ya. Aku nggak menuntutmu untuk menjadi juara kelas atau nilaimu harus sempurna, kamu bisa lulus aja itu udah cukup untukku. Mengerti?”

Ray mengangguk sekali. Reihan pasrah melihat reaksi adiknya. Dia sangat tahu watak anak ini. Kalau sudah tidak mood, mau disuruh seperti apa juga tidak akan ada reaksi balik sesuai harapan.

“Habiskan sarapannya. Aku siap-siap dulu.” Reihan beranjak dari duduknya menuju kamarnya di lantai atas.

Mata Ray menyipit sebal pada surat panggilan sekolah. Sepertinya dia harus memperingatkan mereka yang berani menentangnya. Arah pandangnya beralih ke laci bufet dekat meja TV. Berjalan mengendap, dia buka pelan laci bufet. Senyum senang tersungging saat melihat beberapa buah paku besar.

“Cukup buat kempesin ban mobil Kepala Sekolah.” Berusaha menahan tawa.

Ray segera kembali ke meja ketika mendengar suara pintu ditutup. Yakin sekali kakaknya sudah selesai merapikan diri. Dia menyuap potongan terakhir sandwichnya.

“Kak, aku pulang sekolah ke rumah Tante Silva. Mau ngemall sama Helen.” Kakaknya menatap ragu. “Yaelah beneran. Nggak percaya tanya kucingnya Tante Diana.”

“Pulangnya aku jemput.”

“Nanti dianterin langsung sama supirnya Tante Silva. Ih, bawelnya lebihin emak-emak.”

“Ok, jam sembilan aku udah balik.”

Reihan mengambil piring dan gelas kotor di meja, meletakkan di wastafel cuci piring. Terdengar salam dari pembantu yang biasa datang untuk membersihkan ruangan apartemen.

“Bi Tum, kalau mau sarapan udah ada di lemari makan ya. Nanti nggak usah cuci baju, masih sedikit. Setrika aja.”

“Iya Pak.”

Reihan dan Ray pamit berangkat. Reihan melihat ekspresi wajah adiknya yang nampak senang. Dia yakin ada rencana terselubung. Apapun itu dia harus siap untuk panggilan sekolah yang baru.

*****

Bel tanda selesai istirahat berbunyi. Semua murid mulai masuk ke ruang kelas. Ray berlari menuju kelasnya. Berharap guru yang mengajar belum masuk. Namun, langkahnya berhenti mendadak di depan pintu kelas. Kepala Sekolah menjewer telinganya.

“Dari mana anak nakal?”

“Dari toilet.”

“Toilet di sebelah sana.” Kepala Sekolah berkepala setengah botak menunjuk ke arah ujung lorong sebelah kanan, yang berlawanan dengan arah datang Ray. “Pasti kamu dari kantin sekolah, kan?”

“Nggak, Pak. Nggak salah maksudnya,” Cengir Ray.

“Maaf, ya, Bu Maya, terpaksa ibu harus melihat pemandangan tidak mengenakan seperti ini, tapi anak satu ini memang tergolong luar binasa, eh maksud saya luar biasa nakalnya. Suka bolos, bikin onar, dan segala hal jelek lainnya.”

“Bapak suka buka kartu orang. Kalau mau bersaing merebutkan hati cewek yang gentle dong.”

“Ray, jaga sikapmu. Ini guru baru.” Kepala Sekolah menghela napas panjang lalu melepaskan jewerannya. “Buka pintu,” Perintahnya.

Tangan Ray meraih gagang pintu kelas tanpa ragu. Sedetik kemudian ingat akan sesuatu hal. Terlambat. Air comberan yang sangat bau menyiram tubuhnya. Cipratannya juga mengenai Kepala Sekolah. Untunglah Maya sempat menutupi wajahnya dengan buku absen kelas sehingga tidak terkena cipratan. Namun sepatu dan seragam barunya ikut jadi korban.

“Kalian semua dihukum!!” seru Kepala Sekolah berang.

*****

Ray berlindung di belakang tubuh Tante Silva saat kakaknya hendak menjewer telinganya. Dia bersyukur Tante Silva selalu melindunginya. Walau dia tahu itu kurang benar. Bahkan demi menutup mulut Kepala Sekolah, Wali Kelas dan Guru Bahasa Inggris yang baru, Tante Silva sampai memesan kain batik mahal untuk diberikan sebagai bingkisan.

“Mau aku gampar pakai apa biar kamu sadar?!” seru Reihan kesal. “Mereka itu lebih tua dari kamu. Kita selalu ngajarin kamu untuk hormat sama yang lebih tua!”

“Kalau udah nggak mau ngurusin aku, taruh aja aku di panti asuhan. Beres!” balas Ray tak mau kalah. Tante Silva menepuk bibirnya yang manyun dengan jari telunjuk. “Salah dia sendiri yang ikut ke kelas. Sok nganterin guru baru. Giliran gurunya cantik, dipepet terus. Lagian itu air comberan buat kejutan guru baru. Bukan buat Kepala Sekolah.”

Reihan menghela napas lelah. Kasus ban kempes Kepala Sekolah baru selesai Selasa lalu, sekarang kasus air comberan. “Mending aku mati aja kalau kamu gini terus.” Ditepuknya dada berulangkali.

Ray segera menghambur, memeluk kakaknya. “Ya udah ayo mati bareng.”

Reihan menjambak gemas rambut adiknya. Ray merengek manja minta dilepaskan. Semarah apapun, dia tidak mungkin meninggalkan adik satu-satunya.

“Ayo pulang.”

“Nggak mau. Nanti aku disiksa di apartemen.”

“Paling aku gantung di balkon.”

“Kalian nginep aja di sini. Malam minggu juga.” Saran Silva. “Tante mau masak tongseng sapi. Kita lama nggak makan malam bareng.”

Reihan mengangguk setuju. “Om Fadil kapan balik dari Manado?”

“Kayaknya lusa. Masih nego harga sama yang beli tanah.”

“Kenapa dilepas tanah di sana? Tante bilang mau dibikin kebonan.” Reihan duduk di sofa satuan.

“Tante mau alihkan buat ternak ikan Lele dan Nila aja di Subang.” Silva ikut duduk di sofa panjang. “Oiya Rei, kemarin Pak Diro telepon, mau dikirimin singkong nggak?”

“Aku nggak, Tan. Tapi kalau Tante mau, buat tante aja.”

“Tante juga nggak mau. Lagian siapa yang mau makan di sini? Pak Diro juga kalau ngirim banyak banget.”

“Nah itu, tahun lalu kita jualan ubi jalar sama cabai rawit dadakan di depan restoran. Kirim satu truk. Terus ditinggal. Kan, namanya sengaja ngajak perang.”

Silva terkekeh. “Tante ada feeling Pak Diro bakal maksa kirim hasil panen lagi, deh. Dia belum nawarin jagung sama kentang.”

Reihan hanya menghela napas sambil geleng-geleng. Almarhum orangtuanya memang mewariskan banyak properti. Bahkan sampai banyaknya dia kadang lupa di mana saja properti yang mereka punya. Dia bersyukur ada keluarga Tante Silva yang membantu mengurus tanah dan kontrakan peninggalan orangtuanya. Tanah di Bogor yang dikerjakan oleh Pak Diro untuk berkebun, memang sengaja tidak dia ambil sedikitpun hasilnya. Dia hanya ingin membantu warga sekitar agar tetap bisa memiliki penghasilan.

“Mama, aku main, ya, ke rumah Dinda.” Ijin Helen dengan gaya manjanya.

“Nggak, enak aja main. Nilai matematikamu aja turun. Dapat nilai enam, kok, belagu mau main.”

“Yaelah, itu karena aku ngantuk waktu ngerjain ujiannya. Daripada Ray dapat telor ceplok.”

Ray memandang sebal sepupunya. “Itu, kan, sengaja aku nggak kerjain.”

“Belagu. Sok pinter.”

“Memang aku aslinya pinter. Cuma lagi males.”

Reihan dan Silva memilih ke dapur, malas mendengar cekcok mereka yang tak penting. Reihan membantu menyiapkan bahan-bahan untuk membuat tongseng.

“Tan, jangan manjain Ray. Ngelunjak dia.”

“Mau gimana lagi Rei, tante juga bingung harus bersikap. Kalau keras sedikit, dia bisa down terus minggat. Ingat, kan, waktu kelas 1 SMA, kamu marahi sampai dia nangis terus hampir minggat pakai kereta. Untung Riyan bisa nemuin dia di stasiun.”

“Aku nggak mau Ray jadi anak manja. Jujur aku khawatir dengan kelakuan Ray ke depannya.”

“Kamu yang sabar, ya. Tante yakin dia bakal berubah.”

“Nggak ada yang bisa kendalikan dia kecuali almarhum Mama.”

“Mungkin dia butuh sosok wanita seperti Mama kalian.”

“Maksudnya?”

“Wanita yang lembut tapi tegas, yang berani bilang salah untuk perilaku yang memang salah. Tapi nggak menghakimi. Justru mengarahkan pada hal benar yang seharusnya dilakukan.”

Reihan terdiam. Teringat kenangan dengan almarhum mamanya. Seketika rasa rindu merebak di dada.

“Coba cari guru les cewek buat Ray. Selama ini, kan, guru les dia cowok dan selalu dijahili. Siapa tahu kalau cewek, dia lebih patuh.”

“Nggak, deh, Tan. Aku nggak mau malu untuk yang kesekian kalinya.” Teringat guru les terakhir yang dijahili Ray dengan mainan ular-ularan sampai pingsan. “Nanti aku coba minta saran dari temanku yang psikolog.”

“Yang penting kamu harus selalu sabar, ya. Ingat, Ray sebenarnya anak yang baik. Dia hanya butuh kita selalu bersamanya.”

Reihan mengangguk mengerti. Dia juga sangat sayang pada adiknya. Ray bukan beban tapi anugerah untuknya. Bagaimanapun anak itu nantinya, mereka akan selalu bersama.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status