Share

Chapter 3

Reihan menunggu di ruang kepala sekolah dengan perasaan kesal menggunung. Kemarin dia mendapat telepon langsung dari kepala sekolah tentang kelakuan adiknya yang sudah keterlaluan, menghina guru bahasa Inggris yang baru. Reihan tidak meminta penjelasan apapun pada Ray karena sudah tahu watak adiknya seperti apa. Sekarang yang ada di benaknya hanya merangkai kata agar guru bahasa Inggris itu mau memaafkan kesalahan adiknya.

“Reihan?” dahi Maya mengernyit. Matanya mengarah bergantian dari Reihan ke Ray.

“Wah, Ibu kenal kakak saya?” Ray nampak antusias. “Di mana, Bu?” matanya berubah arah pandang ke kakaknya. “Kak Rei kenal di mana sama Bu Maya?”

“Diam kamu!” seru Maya dan Reihan kompak. Ray merengut sebal.

Maya shock mendapati fakta mereka kakak beradik. Reihan yang penuh sopan santun dan Ray yang ceplas-ceplos. Sepertinya mereka saudara yang tertukar.

Reihan minta maaf atas kelakuan adiknya dan berusaha menyakinkan Maya bahwa itu hanyalah keisengan remaja semata. Maya yang masih terpengaruh kuat oleh pesona Reihan, dengan mudah menutup masalah tersebut.

“Saya harap Ray bisa menjadi lebih baik. Sangat disayangkan bila anak seperti dia sampai tidak punya masa depan. Apalagi nilai-nilainya sangat buruk.”

“Ibu punya hak apa menghakimi masa depan saya?Saya mau jadi apa itu urusan saya!” Ray menatap tidak senang pada gurunya itu.

“Ray!” Mata Reihan menyorot sebal. “Jaga bicaramu!”

“Nilai baik nggak menjamin seseorang sukses di masa depan. Buktinya ibu bisa mengajar di sekolah ini juga karena koneksi.”

“Itu privasi saya!” suara Maya meninggi. “Bicaramu selalu tidak sopan. Semaumu sendiri. Apa orangtuamu tidak,”

“Orangtua saya sudah mati!”

Reihan hendak meraih tangan Ray, namun adiknya itu sudah lebih dulu melangkah keluar ruangan. Bibir Maya tak mampu mengucapkan sepatah kata pun untuk mencegah Ray pergi. Jadi inikah penyebab perilaku Ray yang selalu bertindak seenaknya?

“Saya sungguh minta maaf atas kelakuan Ray. Saya,”

“Saya mengerti.” Suara Maya sedikit bergetar. “Saya rasa cukup sampai di sini pertemuan kita. Maaf, saya harus mengajar.”

Reihan hanya mampu memandang hampa punggung Maya yang menjauh. Berulangkali dia berusaha menghubungi adiknya namun nomor ponsel selalu tidak aktif. Di lorong dia berpapasan dengan Riyan, sahabat adiknya.

“Kak Rei tenang aja, Ray nggak bakal melakukan sesuatu di luar batas. Paling sekarang dia lagi menenangkan diri.”

Reihan menenangkan hatinya yang masih khawatir. Dia tidak mau hal buruk menimpa adiknya. Sekali lagi dia berusaha menghubungi Ray, hasilnya tetap sama, nomor tidak aktif.

*****

Air mata itu masih mengalir deras tanpa niat untuk berhenti. Dua pusara berumput hijau di hadapannya menjadi saksi bisu kesedihannya.

“Ma, Pa, boleh aku nyusul kalian? Aku kangen.”

Sentuhan di bahu kanan membuatnya menoleh ke belakang. Kakaknya tahu pasti ke mana dia pergi bila hatinya sedang sedih.

“Kalau kamu nyusul mereka, aku sama siapa?” Suara Reihan bergetar sedih.

Reihan memeluk adiknya. Kematian orangtua mereka memang masih menyisakan kepedihan. Bahkan Ray selalu menyalahkan dirinya akibat kematian orangtua mereka.

“Pulang, yuk, sudah sore,” Bujuk Reihan namun Ray tak bergeming.

Reihan mengelus punggung adiknya untuk menenangkan. Dia menguatkan diri untuk menghadapi yang akan terjadi selanjutnya.

*****

Maya mondar-mandir di kamar. Pikirannya masih berpusat pada Ray. Dia sama sekali tidak tahu bila orangtua Ray sudah meninggal. Saat dia konfirmasi pada Kepala Sekolah, pria setengah baya itu bahkan meminta maaf karena lupa memberitahu keadaan keluarga Ray yang sebenarnya.

Matanya memandang foto keluarganya di meja. Foto itu dia ambil seminggu sebelum merantau ke Jakarta. Papa dan mamanya semakin terlihat tua. Rasa rindu yang meluap dalam sekejap membuat banjir di matanya. Pandangannya beralih pada dua ponakannya, Ririn dan Dimas. Orangtua dua keponakannya juga sudah meninggal. Kakak iparnya meninggal akibat kecelakaan di proyek tempatnya bekerja. Sedangkan kakaknya meninggal setelah melahirkan Dimas.

Maya mengambil ponsel di meja. Dia menekan nomor Reihan. Tidak aktif. Dilihatnya waktu di layar ponsel. Sudah jam setengah sembilan malam. Apa Reihan masih di restoran? Maya mencoba menghubungi beberapa kali dan tetap tidak aktif. Dia menyerah dan meletakkan ponselnya di meja. Matanya berusaha terpejam namun wajah Ray melekat kuat di benaknya.

*****

Maya mengedarkan pandangan ke penjuru kelas. Tidak ada Ray. Matanya terpaku pada sepucuk amplop putih di meja. Surat keterangan dokter menyatakan Ray harus beristirahat selama tiga hari, terhitung mulai hari ini.

Selesai mengajar, Maya bergegas menuju ke alamat mereka tinggal. Dia turun dari taksi, menatap sejenak gedung apartemen di hadapannya. Sampai di depan pintu unit apartemen mereka, ditekannya bel pintu. Tak lama pintu dibuka empunya. Maya menyunggingkan senyum.

“Kemarin malam saya coba hubungi tapi nomornya nggak aktif. Kenapa?”

“Maaf, lupa charger karena saya sibuk mengurus Ray yang sakit.”

“Oh begitu,” Maya mengangguk mengerti. “Ray sakit apa sebenarnya?”

“Demam. Kelelahan.”

Maya kurang percaya. “Apa itu ada hubungannya dengan saya kemarin?”

“Oh, nggak sama sekali. Ray memang,”

“Saya bisa melihat kebencian di mata Ray saat saya menyinggung tentang orangtua.”

Reihan menghela napas perlahan. “Itu memang hal yang sensitif untuk Ray. Maaf, saya belum bisa cerita tentang hal tersebut.”

“Kalau begitu boleh saya melihat Ray?”

Reihan mengangguk dan mengantarkan ke kamar Ray di atas. Maya melihat tubuh itu tergeletak lemah di ranjang dengan selang infus menggantung. Entah kenapa dia ingin menangis melihat pemandangan itu. Dia menyapa pelan namun tak ada jawaban.

“Ibu minta maaf atas perkataan ibu yang sudah menyinggung perasaan kamu. Kamu mau maafin ibu, kan?”

Ray tetap diam. Maya menghela napas perlahan. Dia yakin anak itu masih tersinggung.

“Ibu bisa mengajar di sekolah itu memang karena koneksi. Sahabat ibu adalah cucu salah satu pendiri sekolah itu. Ibu hanya menggantikan sementara Ibu Rika yang sedang cuti hamil. Ibu tahu level mengajar ibu belum sebanding dengan mereka yang sudah berpengalaman, tapi ibu berusaha memberikan yang terbaik selama ibu mengajar di situ. Setidaknya sampai kamu lulus, tolong bertahanlah dengan ibu yang membosankan ini. Bila aksen bahasa inggrismu lebih bagus dari ibu, kita bisa belajar bersama. Saling bertukar ilmu dan pendapat. Bukankah itu lebih baik daripada mengkritik tanpa solusi?”

Mata mereka saling tatap. Pancaran mata wanita di hadapannya terasa meneduhkan. Sama seperti almarhum mamanya.

“Saya sudah bersikap nggak sopan sama ibu. Saya minta maaf.”

Maya lega mendengar suara Ray. Dia meraih tangan lemah itu.

“Ibu minta maaf sudah menyinggung perasaan kamu. Ibu sama sekali nggak tahu kalau orangtua kamu sudah meninggal.”

Ray hanya mengangguk kecil.

“Cepat sembuh, ya. Nggak ada kamu nggak ramai. Nggak ada yang ngajak berantem ibu.”

Ray tersenyum lemah.

“Kamu sudah minum obat?”

“Saya nggak suka obat. Pahit.”

“Gimana kamu mau sembuh kalau nggak minum obat?” Maya melihat makanan yang belum tersentuh. “Kamu juga pasti belum makan. Makan dulu, yuk. Mau ibu suapin?”

Sejenak Ray ragu untuk mengiyakan. “Saya mau makan tapi nggak mau minum obat.”

“Terkadang kenangan pahit justru dapat bangkitkan seseorang dari keterpurukan. Dari rasa sakit itu mereka bangkit untuk meraih sesuatu yang lebih baik dan berusaha nggak mengulangi kesalahan di masa lalu. Sama seperti halnya obat. Rasanya yang pahit justru dapat menyembuhkan. Orang akan sadar akan pentingnya kesehatan agar nggak lagi konsumsi obat yang pahit.”

Ray tersenyum tipis. Kalimat wanita ini menyejukkan hati. Jujur dan menyakinkan. “Ibu beneran mau nyuapin saya?”

“With pleasure.”

Ray membenarkan ucapan bahasa Inggris Maya dengan aksen British. Mereka tertawa bersama. Maya menyendok nasi dan lauk lalu menyuapkan pada Ray. Reihan merasa lega melihat adiknya mau makan. Dia keluar kamar, menyiapkan minum untuk Maya.

Langkahnya belum sampai dapur, terdengar bel pintu berbunyi. Reihan melihat di layar monitor, Riyan dan Zahra melambaikan tangan. Dia membuka pintu untuk mereka.

“Ray, sakit apa Kak?” tanya Zahra.

“Biasa kecapaian.”

“Ray cape apaan, ya?” Zahra terkekeh. “Anak raja dinasti pandawa banyak tingkah.”

Mereka saling dehem melihat Ray yang sedang disuapi Maya. Zahra naik ke ranjang Ray tanpa sungkan. Telapak tangan kanannya memegang dahi Ray yang masih hangat. Ray menggoda dengan menggenggam tangan kanan itu dan meletakkan di dada.

“Ini lepasin, PA. Malu tahu ada Bu Maya.”

“Kalian pacaran?”

“Maunya gitu, Bu. Tapi dia lebih milih Martin.” Ray terkekeh lemah.

“Ray PA, lepasin.” Zahra berusaha membuka genggaman tangan Ray.

“Obatku kamu, Sayang,” Goda Ray lagi. Kali ini Zahra tergelak. “Sun dulu, nanti aku lepasin.”

“Ok, tapi tutup mata.”

Ray mengangguk lalu menutup mata. Zahra menutup mata Ray dengan telapak tangan kirinya. Dia memberi kode pada Riyan untuk mengecup pipi Ray. Maya tertawa melihat tingkah mereka.

Maya melihat pribadi Ray yang sebenarnya. Penuh kasih sayang yang tulus. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk membantu anak ini bangkit dari keterpurukan. Dia mau muridnya menjadi orang sukses di kemudian hari dan dapat membantu sesama. Dia yakin Ray bisa berubah.

*****

Ray meletakkan rantang makannya di meja sudut kantin. Menu kesukaannya, sayur pare dan perkedel ikan tongkol, tak menggugah seleranya untuk segera menyantap makanan itu. Pikirannya melayang pada satu wanita. Tanpa sadar tangannya terangkat membelai kepalanya sendiri. Masih ingat bagaimana lembutnya wanita itu membelai kepalanya sebelum pulang dari menjenguknya saat sakit. Dulu almarhum mamanya juga selalu membelai lembut kepalanya bila dia akan tidur.

“Belum pulang Ray?”

Ray yang terkejut menjatuhkan sendoknya di meja. Matanya menatap wajah wanita yang baru saja dia pikirkan.

“Lagi bete, Bu.”

Maya duduk di bangku yang berhadapan dengan Ray. Dia mengeluarkan kotak makannya.

“Pasti gara-gara dimarahin sama Pak Dedi tadi pagi?”

“Budeg kuping saya dengar omelannya. Kalau saya mau, saya juga bisa ngerjain soal matematika kelas IPA. Lagaknya sombong banget, berasa master matematika.”

Maya membuka kotak makannya. Sayur tempe cabai hijau dan telur dadar menjadi pelengkap makan siangnya. Lauk sederhana itu justru menarik minat Ray.

“Kenapa nggak tunjukkan kemampuan kamu?”

“Kalau beliau kalah nanti hilang muka.” Ray tersenyum mengejek. “Bu, boleh tukar bekal nggak?”

“Memang kenapa sama makananmu?”

“Saya lagi bosan aja. Pengin makanan punya ibu.”

Maya menyorongkan kotak makannya pada Ray. Mereka saling tukar bekal. Maya takjub dengan rasa pare yang tidak pahit. Dia memuji kepintaran Reihan dalam mengolah pare, membuat Ray merengut sebal.

Dia menatap Ray yang masih lahap memakan bekal sederhananya. Setelah mendengar cerita dari Reihan bagaimana orangtua mereka meninggal, hatinya terketuk untuk membantu Ray pulih dari kepedihan hati yang berkepanjangan. Orangtua mereka meninggal akibat kecelakaan. Malam itu Ray yang masih berusia 10 tahun merengek minta mainan robot yang sudah dijanjikan oleh papanya. Orangtuanya sudah membujuk untuk membelikan besok, tapi Ray justru marah dan mengatai papanya pembohong. Papa dan mamanya memutuskan membelikan robot yang Ray minta malam itu. Tanpa disangka dalam perjalanan pulang, mereka mengalami kecelakaan. Setelah tahu apa yang terjadi pada orangtuanya, perangai Ray berubah menjadi pendiam. Saat SMP dia memilih home schooling. Namun, saat SMA, Reihan memutuskan untuk memasukkannya ke sekolah umum agar Ray bisa berinteraksi sosial dengan orang lain. Walaupun sampai sekarang Ray tidak pernah menimbulkan masalah serius di luar sekolah, tapi Reihan tetap khawatir akan pergaulan Ray. Ditambah lagi nilai-nilai Ray yang buruk, membuat Reihan pesimis adiknya bisa lulus.

“Kalau ibu pikir kamu harus menunjukkan kemampuan kamu yang sebenarnya. Ini bukannya ibu jadi provokator, tapi banyak guru yang anggap remeh kamu.” Maya berusaha membangkitkan semangat muridnya itu. “Waktu ibu jenguk kamu, ibu lihat banyak sekali penghargaan yang kamu dapat saat masih SD, kamu bahkan pernah juara olimpiade matematika.”

“Itu, kan, masa lalu, Bu, ngapain diungkit.”

Maya berpikir cepat untuk memilah kata agar tidak menyinggung perasaan Ray.

“Ya, itu mungkin hakmu untuk mendapat nilai jelek. Tapi apa kamu nggak mempertimbangkan perasaan kakakmu yang sudah bekerja keras untuk membiayai,”

“Saya sekolah nggak pakai duit Kak Rei. Saya ada asuransi pendidikan,” jawab Ray lugas. Maya tersenyum tipis. “Lagipula kalau saya dapat nilai bagus atau jelek, saya nggak akan lihat senyum bangga maupun raut sedih Papa dan Mama.”

Hati Maya terasa remuk mendengar penuturan Ray.  Dia dapat melihat kesakitan di mata itu.

“Kamu anak yang cerdas Ray,” berhati-hati dalam perkataannya. “Nggak ada salahnya menunjukkan prestasimu.”

Ray diam. Matanya bertemu dengan mata Maya. Pancarannya begitu hangat. Tatapan yang selama tujuh tahun ini dia rindukan. Tatapan mamanya.

“Saya punya prestasi, Papa dan Mama,” bibir Ray sedikit bergetar.

“Nggak ada pengaruhnya untuk mereka?” sambung Maya.

“Ya.”

“Setidaknya lakukan untuk dirimu sendiri,” ucap Maya pelan. “Kakakmu sayang sama kamu. Dia mau kamu mendapatkan yang terbaik dalam hidupmu.”

“Saya selalu merasa bersalah. Kalau bukan karena keegoisan saya, Mama dan Papa nggak akan meninggal. Saya juga sudah menghancurkan mimpi Kak Rei untuk bisa kuliah di Paris. Dia harus mengubur mimpinya dan memilih mengurus adiknya yang nggak berguna.”

“Berhenti menyalahkan dirimu sendiri.” Maya genggam jari-jemari Ray. “Kematian seseorang adalah takdir Tuhan. Saat itu usiamu masih 10 tahun, belum bisa bedakan mana yang kebutuhan dan keinginan. Ibu nggak mau kamu hidup dalam bayang-bayang kesalahan. Kamu nggak bisa bahagia kalau terus mempertahankan pikiranmu yang salah itu.” Dibelainya lembut kepala Ray. “Kamu harus berubah demi kebaikan dirimu sendiri.”

Ray menatap wajah mungil dengan kecantikannya yang sederhana. Dia belum berani mengiyakan langsung permintaan wanita itu. Untuk berubah dia perlu seseorang yang mau menggenggam erat tangannya dan tidak meninggalkannya dengan mudah.

“Apa yang bisa ibu bantu untukmu?”

Sudut-sudut bibir Ray menarik senyuman.

“Stand by me.”

Maya mengangguk yakin. Dia belai lagi kepala anak itu. Ray tersenyum senang. Dia menyodorkan kepalanya untuk dibelai lagi tapi Maya malah mengacak-acak rambutnya. Maya menyendok nasi dan lauk di rantang makan Ray, memberikan suapan yang disambut bahagia.     

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status