Share

Chapter 8

Maya memperhatikan cekatannya Reihan dalam mengolah makanan. Saat mendengar kabar bahagia dari Ray, rasanya senyum tak bisa berhenti dari bibir. Walau Reihan sudah melarang membawa apapun, tapi dia tetap membeli beberapa bahan makanan tambahan seperti cumi, udang, dan ayam. Berbagai menu makanan yang lezat dan cantik presentasinya, membuat dirinya enggan untuk menyantap.

Lagu selamat ulang tahun dinyanyikan dengan penuh kegembiraan. Saat tiup lilin Maya tidak memohon apapun. Dia bersyukur karena diberi kesempatan merayakan ulang tahun bersama dengan pria yang dia sukai walau tak bisa memiliki.

“Kak Rei, masakannya enak banget. Aku jadi pengin punya suami kayak Kak Rei. Pasti yang jadi istri Kak Rei beruntung banget,” Puji Zahra.

“Nanti aku ajarin Ray masak, deh.”

“Apa hubungannya sama Ray?”

“Kata Riyan kalian bakal jadi laki bini.”

“Maaf, ya, Kak, walaupun Ray pria terakhir yang ada di dunia ini, aku ogah sama dia.”

“Biasanya kalau suka sesumbar malah jadi jodohnya beneran,” canda Maya.

“Nolak di awal, ngejar di akhir,” dukung Reihan.

Zahra merengut sebal. Matanya melotot horor pada Ray. Ray justru menggoda dengan memberikan kiss bye yang langsung ditolak Zahra dengan kibasan tangan.

Selesai makan, Ray, Riyan, dan Zahra berkumpul di ruang keluarga melihat film. Sedangkan Maya dan Reihan duduk di ruang tamu, mengobrol ringan sambil menikmati camilan. Di tengah obrolan mereka, Reihan mengambil paper bag kecil di atas bufet lemari.

“Hadiah untuk kamu.”

Maya membuka paper bag kecil pemberian Reihan. Parfum.

“Aku bingung harus kasih hadiah ulang tahun apa ke kamu. Jadi aku putuskan pilih parfum. Rekomendasi dari Tante Silva. Aku harap kamu suka.”

”Aku nggak tahu harus ngomong apa lagi. Kamu sudah masakin, bikin kue ulang tahun, kasih hadiah pula. Terima kasih banyak sebanyak-banyaknya.”

“Apa yang aku lakukan nggak sebanding dengan apa yang kamu lakukan untuk Ray. Kalau nggak ada kamu mungkin Ray nggak akan pernah berubah. Justru aku yang sangat berterima kasih sama kamu karena udah membawa perubahan positif dalam hidup adikku.”

“Ray sudah seperti adikku. Aku harap dia bisa sukses dalam hidupnya.”

“Waduh, saya sebatas adik aja untuk ibu?” celetuk Ray. Dia duduk di dekat Maya. “Padahal saya naksir berat ibu, lho.”

“Zahra mau ditaruh mana?”

“Pancinya Kak Rei.”

Maya mengacak-acak rambut Ray. “Buaya darat.”

Malam indah ini akan selalu dia ingat. Malam bersama dengan pria yang istimewa di hati. Malam yang rasanya tak mau dia akhiri karena dia tak yakin akan ada malam-malam seperti ini lagi dengan pria itu.

Maya menyemprotkan sedikit parfum pemberian Reihan di punggung tangannya, benar wanginya lembut dan segar. Mulai besok dia akan memakai parfum ini. Walau tidak bisa memiliki pria itu, setidaknya dengan memakai parfum ini dia merasa pria itu selalu ada di dekatnya. Mungkin logikanya terkesan cacat, tapi seperti inilah logika orang yang sedang jatuh cinta. Dia masih menikmati menjadi gila akan sebuah rasa. Biarlah waktu yang membantunya waras kembali.

***** *****

Ray nyengir senang ketika kamera digital yang dia mau akhirnya berada di tangan. Dia peluk kakaknya penuh sayang sembari mengucapkan terima kasih. Reihan mengajak keluarganya makan malam di salah satu restoran di mall dalam rangka merayakan ulang tahun adiknya. Walau dia tahu itu terlambat.

“Ih, belagu, mentang-mentang punya kamera baru,” Cibir Helen. Ray menjulurkan lidahnya.

“Mulai tahun depan aku cuma mau hadiah kamera.” Ray terkikik geli. “Yang lebih bagus, lebih mahal.”

Reihan tersenyum sebal. “Tenang aja, kebon pete Tante Silva masih hektaran.”

“Kebon jengkol Bapaknya Helen aja yang dijual.” Silva menimpali. “Baru panen, tuh.”

“Nggak mau, nanti kameraku ikutan bau,” Ujar Ray. Mereka kompak tertawa.

“Oiya, Ray, siapa temenmu yang suka pete?”

“Zahra.”

“Oh Zahra, yang cantik itu, kan?”

Bola mata Ray berputar tanda tak setuju. “Jangan sampai dia denger Tante ngomong gitu. Bisa besar kepala dia.”

“Yaelah sama calon bini jangan jahat dong.” Reihan menahan senyumnya.

“Kamu pacaran sama Zahra?” mata Silva berbinar senang.

“Ih ogah. Kerjaannya aja ngaca mulu. Sering maling dompetku. Malak bekalku.”

Helen menadahkan tangan layaknya orang berdoa. “Semoga Ray beneran jadi suaminya Zahra.”

“Aamiin,” Ucap mereka kompak. Ray merengut sebal namun dalam hati merasa geli.

“Setelah ini mampir bentar ke butik langganan Tante. Mau ambil pesenan baju.”

“Mama beli baju lagi?” Fadil menatap heran istrinya. “Buat apa? Bukannya seminggu yang lalu juga baru beli baju.”

“Weekend kita kondangan. Papa lupa Pak Eko bakal mantu anaknya yang bontot?”

“Papa inget. Tapi maksud Papa, di rumah juga masih ada baju yang bagus-ba,”

“Mama nggak ada baju, Pa.”

Mereka mendadak bengong sembari menatap heran Silva.

“Intinya Mama bosen sama baju-baju itu. Namanya juga cewek.”

Mereka senyum-senyum geli lalu mengangguk-angguk. Silva mengulum senyum malu.

Selesai makan, mereka cuci mata sebentar di mall. Ray dan Helen antusias antri di stand es krim. Reihan menunggu mereka di pinggiran store pakaian ternama. Sedangkan tante dan omnya melanjutkan jalan dengan langkah pelan. Matanya melebar saat melihat seseorang yang dia kenal. Kakinya melangkah cepat, melewati orangtua Helen. Tangannya mencapai pundak wanita itu.

“Maaf,” Reihan merasa tidak enak hati karena ternyata bukan orang yang dia maksud. “Maaf, saya kira teman saya.” Wanita itu hanya mengangguk kecil lalu melanjutkan jalannya.

“Rei, kenapa?” Silva menepuk bahu ponakannya.

“Aku kira Intan.”

“Intan?” Air muka Silva berubah sedih. “Kamu udah ada kabar tentang dia?”

“Belum, Tan.”

“Kak, kok, ninggalin kita?” protes Ray.

“Sorry, tadi aku kayak lihat Intan. Pas aku samperin ternyata bukan.”

Wajah Ray juga berubah sedih. Sudah lama tak ada kabar dari wanita itu.

“Kangen Kak Intan,” Ucap Helen pelan. “Coba waktu itu Kak Rei maksa nikahin Kak Intan, seret ke KUA, nggak bakal dia minggat.”

“Justru gara-gara itu dia minggat.” Reihan menghela napas. “Padahal aku cuma bercanda.”

“Ya udah kalau ketemu langsung nikahin. Jangan sampai minggat lagi.”

“Emangnya Kak Intan mau punya laki sok perfect macam Chef Reihan?” cibir Ray. “Bayangin aja kalau lagi di dapur, bukan kayak suami ke istri tapi mertua ke mantu. Dilihatin caranya motong cabe, bawang, sampai ceplok telor. Bukannya masak tapi malah berantem.”

“Masih mending Intan daripada Zahra. Intan masih bisa masak. Lah, Zahra masak air aja panci gosong sampai bolong.”

Mereka terbahak. Ray memegangi perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa. Teringat bagaimana Zahra bercerita tanpa rasa malu tentang hal itu.

“Kok bisa sampai gosong?” tanya Helen.

“Ditinggal ngaca,” Jawab Ray.

“Reihan,”

Sapaan itu menghentikan langkah mereka. Nani menyunggingkan senyum ramah.

“Sama siapa?”

“Tunangan saya.”

Nani menunjuk pria bertubuh tinggi dengan setelan jas abu-abu di dalam store perhiasan yang membelakangi mereka. Reihan melihat pria itu tengah berbicara dengan seorang pramuria wanita.

“Kalau gitu saya masuk dulu. Mari,” Pamit Nani. Reihan mengangguk mengerti.

“Siapa?” Silva menyenggol lengan ponakannya.

“Pelanggan restoran.”

“Oh, kirain,”

“Calon pacar,” sambung Fadil. Silva tertawa sebal.

“Ayo, ayo, pulang,” Ajak Silva. “Ray, nginep tempat tante.” Diapitnya lengan kiri Ray.

“Jangan, Tan. Masa aku tidur sendirian. Nanti Nona Cantik nemenin tidur gimana?”

“Laki, kok, cemen. Tinggal balik peluk.”

“Kayak tante berani. Waktu itu juga kabur.”

“Ya iyalah kabur, wong nongol di sebelah tante.”

“Mending pindah unit aja, deh, Rei.” Fadil bergidik ngeri. “Kalau Om tinggal di situ, kayaknya Om pingsan setiap hari.”

“Tuh, gebetannya Nona Cantik yang nggak mau pindah.” Tunjuk Reihan pada adiknya.

“Lagian kalau kita pindah terus dia ngikutin gimana? Sama aja bohong.”

“Ya jangan bilang-bilang ke dia,” Celetuk Silva. Mereka terbahak lagi.

“Tante, tanpa harus bilang ke Nona Cantik, dia juga bisa nemuin kita dalam sekejap mata.”

“Aku ikut nginep aja.”

“Huuuu cemen,” ucap mereka kompak. Reihan tertawa geli.

“Mama, jadi mampir butik?”

“Nggak, deh. Besok aja. Udah malem.”

Dalam perjalanan pulang, Ray banyak mengambil foto dengan kamera barunya. Bahkan sampai tiduran di pangkuannya demi mendapatkan angle yang tepat. Sesampainya di rumah Tante Silva, Ray masih tetap memotret apapun yang dia ingin potret.

Jam sebelas malam, Reihan masuk kamar tamu setelah selesai menyusun menu baru untuk masakan Western. Dia tersenyum melihat Ray tidur memeluk kamera. Perlahan dia ambil kamera dari dekapan adiknya. Meletakkan di meja belajar. Dibenarkannya selimut menutupi tubuh Ray. Dia naik ke kasur, merebahkan diri di samping kiri adiknya. Pikirannya melayang kembali pada Intan.

“Intan, kamu di mana, Sayang?”

***** *****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status