Seorang wanita berwajah putih pucat berjalan sedikit tertatih menuju lobby apartemen. Usia kehamilannya yang sudah menginjak enam bulan, membuatnya harus lebih berhati-hati. Salah satu petugas keamanan mendekat padanya.
“Ada yang bisa saya bantu, Bu?”“Iya, Pak,” jawabnya lemah. “Apa bapak kenal dengan Reihan?”“Reihan? Reihan siapa, Bu?”“Dia chef. Dia tinggal di sini.”“Oh, Chef Reihan,” petugas keamanan itu mengangguk mengerti. “Iya, saya tahu. Dia sudah pindah unit di tower sebelah seminggu yang lalu. Saya juga bantu beliau pindahan.”Wanita itu menghela napas lemah. Rasanya tak sanggup bila dia harus berjalan ke tower sebelah. Kakinya sudah lelah.“Pak, bisa saya pinjam telepon lobby untuk menghubungi dia?”“Bisa, Bu. Silakan.”Petugas keamanan itu membantu si wanita menuju meja resepsionis. Wanita itu memberikan nomor ponsel Reihan. Berulang kali dihubungi namun tak ada jawaban dari Reihan. DenganReihan memandang foto-fotonya bersama Intan semasa mereka kecil. Masih teringat ketika Intan menelepon sambil menangis karena melihat orangtuanya bertengkar. Dia berlari bahkan tanpa alas kaki ke rumah Intan yang jaraknya 200 meter dari rumahnya. Intan duduk di sudut ruang tamu dengan wajah penuh ketakutan. Dia gendong dan bawa pulang ke rumah. Bahkan memeluknya hingga tertidur.Setahun yang lalu, dia dan Tante Silva meminta Intan agar tinggal bersama Tante Silva. Namun Intan menolak. Intan lebih memilih mandiri. Setelahnya dia sulit menghubungi Intan. Dia sudah mendatangi kostan Intan namun pemilik kost bilang tidak pernah menerima orang kost atas nama tersebut. Artinya Intan bohong saat memberitahu alamat kost tersebut padanya.Sekarang dia sudah lega Intan bersamanya lagi. Tak akan dia biarkan wanita itu disakiti lagi oleh siapapun. Dia akan melindunginya dengan segenap hati.Reihan keluar dari kamar menuju lantai bawah. Ray tengah menyuapi Intan pecel
Reihan melambaikan tangan saat melihat mereka di lobby mall. Silva dan Helen memeluk sayang Intan. Helen menghapus air mata Intan yang tanpa sadar mengalir.“Kita mau happy-happy, nggak boleh ada air mata.” Silva menggenggam jari-jemari Intan.“Kita bersyukur bisa ketemu sama kamu lagi. Om senang banget.” Fadil membelai lembut kepala Intan.“Makasih banyak Om, Tante. Aku nggak tahu gimana balasnya.”“Nggak boleh ngomong gitu. Nggak ada sutradara casting film.” Ujar Fadil.Intan tersenyum. Dia memeluk Silva sekali lagi. Reihan membuka kursi roda untuk Intan. Mereka lanjut jalan keliling mall berbelanja kebutuhan Intan.“Mbak Silva,” Sapa Diana. “Kalian tumben belanja bareng.” Diana menatap senang keluarga lengkap mereka. “Ini siapa?”Intan mengulurkan tangan yang disambut ramah Diana. Tak lama muncul Erlangga dan Riyan. Intan berkenalan dengan mereka.“Berdua lagi akur, nih,” Diana menunjuk suami dan anaknya, “ma
Maya menatap kagum pada sahabatnya yang sudah memakai lengkap busana pengantin adat Jawa. Nani terlihat seperti puteri keraton.“Aku gugup banget. Semalam juga susah tidur.” Nani menggenggam erat jari jemari sahabatnya.“Wajar, dong, memang itu yang dirasain calon pengantin.” Maya mengelus lembut bahu sahabatnya. “Satu yang pasti, kamu cantik banget hari ini. Mas Gunawan pasti nggak bisa mengalihkan matanya darimu.”Nani tersenyum malu. “Makasih Maya.”Di sisi lain, di sebuah ruangan yang dijadikan dapur, Reihan mengecek sekali lagi makanan untuk pesta pernikahan Nani. Tiba-tiba ponselnya bergetar di saku celana. Reihan melihat nama adiknya. Dia keluar ruangan lalu menekan tombol jawab.“Reihan, gimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Ternyata dia bohong. Pernikahannya hari ini, bukan dua minggu lagi.” Intan mulai menangis.“Intan,”“Aku harus ke sana untuk membatalkan pernikahan dia. Aku nggak mau anakku lahir tanpa aya
Ray terkejut ketika membuka pintu apartemen karena Maya sudah ada di depan pintu. “Bu Maya,” Ray memegangi dadanya. “Bikin kaget, aja. Horor deh.”“Maaf, Ray, ibu baru aja mau pencet bel pintu, malah pintu udah dibuka.”“Masuk saja, Bu. Saya mau beli sirup pesanan Kak Intan.”“Terima kasih Ray.”Maya duduk di sofa ruang tamu, meletakkan tas dan melepas jaket. Diambilnya tabloid yang ada di meja. Dia hanya membaca sekilas beberapa judul artikel halaman demi halaman. Samar-samar didengarnya suara dari arah kamar yang ada di sebelah ruang tamu.“Dia cewek yang baik, lho. Sekarang dapat cewek baik-baik susah, Rei. Yang bisa diajak hidup bersama dan nggak mementingkan diri sendiri.”“Udah berapa kali aku bilang, aku nggak tertarik sama Maya. Aku hanya anggap dia teman saja. Nggak lebih dari itu.”Tubuh Maya seketika kaku. Hatinya perih. Air mata mengalir tanpa sadar.Apa aku nggak memiliki daya tarik apapun di matany
Reihan terpaku di tempat saat bertemu dengan mantannya di tempat senam hamil. Angela nampak terlihat pucat. Matanya melihat ke arah perut wanita itu. Tidak terlihat hamil karena tertutup mantel baju yang besar atau mungkin usia kandungan belum terlalu besar. Angela menyunggingkan senyum namun tak dibalasnya. Dia berlalu meninggalkan mantannya itu, menyambut Intan yang sudah keluar kelas.“Gimana kelasnya?”“Tadi diajarkan cara menguasai diri agar nggak panik saat lahiran.”Reihan menggandeng tangan Intan. Mereka berjalan menuju parkiran. Di luar beberapa petugas medis tengah membawa tandu. Matanya melebar saat tahu siapa yang dibawa dalam tandu oleh petugas medis itu. Angela. Mobil ambulance melaju melewatinya. Dia bertanya pada beberapa orang di sana.“Kurang tahu kenapa, tapi yang saya lihat ibu itu tiba-tiba pingsan. Semoga jabang bayinya nggak apa-apa. Kasihan.”Sepanjang perjalanan pulang, dia memikirkan siapa yang menghamili Angela.
Air dari langit turun deras ke bumi. Seolah ikut berduka atas berpulangnya satu makhluk ciptaan Tuhan. Reihan menatap nanar makam Intan di hadapannya. Hatinya sakit ditinggalkan seperti ini.Reihan menyentuh papan nisan bertuliskan nama Intan. “Aku akan menjaga amanatmu. Aku akan merawat Ardi dengan penuh kasih sayang dan cinta. Selamat jalan, Sayang. Semoga kamu tenang di sana dan diterima di sisiNYA.”Di samping Reihan, Ray masih terisak. Dia peluk adiknya untuk menenangkan.“Kamu harus kuat, Ray. Intan akan sedih jika melihatmu seperti ini.”Ray tidak membalas apapun ucapan kakaknya. Air matanya tak berhenti mengalir. Dia kembali teringat kematian kedua orangtuanya. Rasanya sama, sakit. Tubuhnya terkulai lemah di pelukan kakaknya.*****Maya datang ke apartemen menjenguk Ray yang sedang sakit. Badan Ray masih demam dan suka menggumam yang tidak jelas.Dia paham bagaimana perasaan mereka. Rasa kehilangan yang besar ten
Gadis cilik cantik itu menonton film Barbie kesukaannya dengan ekspresi wajah cemberut. Sepulang sekolah dia dimarahi karena papanya mendapat laporan dia membuat onar di kelas. Padahal itu dia lakukan untuk membela kakaknya.“Kamu masih marah sama aku?” tanya kakaknya lembut. “Aku minta maaf kalau aku salah."Gadis cilik itu tetap mengunci mulutnya rapat-rapat. Tangan dia lipat di depan dada. Matanya melirik sebal pada kakaknya.“Rachel, Ardi sedang bicara sama kamu. Kenapa diam? Nggak sopan.”Rachel beranjak dari duduknya. Dia berkacak pinggang. “Hai Ardi, dengar, ya, lain kali aku nggak akan belain kamu lagi. Bela dirimu sendiri!”“Rachel, jangan begitu sama Ardi!”“Papa memang selalu pilih kasih. Papa lebih sayang Ardi daripada aku! Aku benci Papa!”Rachel berlari ke kamar pamannya dan membanting pintu dengan keras. Tepat saat itu terdengar salam dari ruang tamu. Reihan lega adiknya sudah pulang.“Dia bikin h
“Rei, kamu nggak pernah paksa Ardi buat makan sayur?” Silva menatap khawatir cucunya itu. “Turuninlah dua atau tiga kilo dulu. Kalau bulan ini berat dia nambah lagi, Tante diomelin sama Azam.”“Segram aja ngimpi dulu, Tan.” Celetuk Ray. “Helen, calon suami berani ngomelin calon mertua, nggak sopan.” Sepupunya itu hanya tersenyum malu.“Aku nggak tahu pakai cara apalagi buat dia bisa makan sayur dengan senang hati kayak Rachel.” Reihan menghela napas. “Nugget udah aku kasih wortel dan brokoli, dia tahu, nggak mau makan. Kata dia rasanya beda. Rachel aja sampai cerewetin dia manfaat sayuran, tapi dia bodo amat. Kalau aku paksa makan sayur, cemberut terus nangis.”“Ya cari cara lain lah, Rei. Nanti dikira kita manjain Ardi sama Azam. Kemarin aja Tante lihat dia ngomelin keluarga pasien karena anaknya gendut banget dan kena diabetes di usia dini.” Silva memeluk sayang Ardi. Mencium gemas pipi yang chubby. “Oma sudah bikin sup ayam. Tapi makan sayurannya juga y