Share

Chapter 6

Ketukan di pintu kamar membuat Ray menghentikan gerakan bola matanya membaca rangkaian kata di buku. Tante Silva tersenyum ramah saat dia membuka pintu. Sejak bertengkar dengan kakaknya, dia menginap di rumah Tante Silva.

“Kakakmu datang, temui dulu,” Ucap Silva lembut. Ray menggeleng kuat. “Jangan kayak gitu sama kakakmu. Dia sayang sama kamu.”

“Kalau dia sayang aku, ngapain dia lebih pilih Angela?”

“Ray, setiap orang punya pilihan dalam hidupnya. Kakakmu memilih Angela karena dia mencintai wanita itu. Tante juga udah dikenalkan dengan Angela. Dia wanita yang sopan, baik, tutur katanya juga lembut. Dia bisa jadi kakak ipar yang,”

“Nggak!” potong Ray cepat. “Sampai kapanpun aku nggak akan pernah merestui Kak Rei dengan wanita itu.”

Silva menepuk-nepuk pelan bahu Ray. “Saran tante, kamu dan Reihan bicara empat mata. Sampaikan apa yang kamu nggak suka dari Angela. Siapa tahu itu bisa jadi koreksi Angela untuk memperbaiki diri.”

“Percuma, Kak Rei lagi buta cinta, aku kasih alasan masuk akal juga nggak bakal buka mata hati dia.”

“Angela salah apa sama kamu?” Reihan muncul di atas anak tangga. Matanya menyorot sebal pada Ray. “Ketemu sama kamu aja jarang.”

“Makanya kalau punya mata dipakai. Jangan cuma kepincut sama cantiknya doang.”

“Masalahmu apa sih?!”

“Dasar buta cinta.”

“Stop! Cukup!” seru Silva. “Ray masuk kamar.”

Ray memberikan pandangan sebal pada kakaknya sebelum menutup pintu. Silva mengajak Reihan ke ruang tamu untuk bicara.

“Rei, adikmu itu sifatnya persis seperti almarhum mamamu. Semakin dikerasi dia akan semakin melawan dan membantah semua omongan, walaupun belum tentu pendapatnya benar. Kamu harus lebih sabar menghadapi dia. Jangan sampai dia kembali pada jalan yang nggak benar.”

“Aku harus lebih sabar yang gimana lagi, Tan? Dia nggak pernah mau ngomong alasan yang sebenarnya kenapa benci sama Angela. Aku juga selalu bilang ke Angela kalau ada Ray jangan pernah pakai baju seksi, Angela nurut.”

“Apa mungkin Ray nggak suka profesi Angela sebagai model?”

“Sejak serius jalin hubungan sama aku, dia udah berhenti jadi model. Aku larang dia bekerja di bidang itu. Aku kursusin dia merangkai bunga. Aku udah niat buka toko bunga untuk dia setelah kami menikah.”

“Wah, itu ide yang bagus, Rei.”

“Tapi aku tetap nggak ngerti jalan pikiran Ray. Kenapa sulit menerima Angela?”

“Pelan-pelan, ya. Ray butuh waktu. Bisa jadi dia akan merasa kehilangan perhatian setelah kamu menikah. Dia mungkin merasa cemburu.”

“Aku nggak cemburu,” timpal Ray. Reihan dan Silva terkejut dengan kehadiran Ray yang tiba-tiba. “Nikah aja, nggak usah mikirin aku. Sebentar lagi aku lulus sekolah. Aku nggak akan merepotkan kamu dan calonmu itu.”

Ray tidak mengindahkan panggilan kakak maupun tantenya. Dia menjalankan motor dengan kecepatan tinggi. Hatinya penuh gejolak emosi yang tak menentu. Dia tak sanggup mengatakan kebenaran kenapa dia membenci Angela. Dia takut kakaknya terluka. Suatu hari kakaknya akan tahu siapa sebenarnya wanita yang dicintai.

***** ***** *****

Siang itu kantin sekolah dipadati anak-anak yang berbahagia ditraktir makan olehnya. Bukan hanya dari kelasnya saja, beberapa anak dari kelas lain yang lumayan akrab dengannya juga ikut bergabung. Dia memang memutuskan merayakan ulang tahunnya di kantin sekolah.

Senyumnya merekah melihat Maya yang berjalan ke arahnya. Dia mengajak guru favoritnya bergabung di meja yang sudah dia tempati bersama Riyan dan Zahra.

“Ulang tahun kita beda seminggu doang, Ray.” Maya menunjukkan KTPnya.

“Wah, ibu curang. Harusnya ibu yang traktir saya duluan.”

“Nggak bisa lah, yang ulang tahun duluan kamu. Ibu baru minggu depan.”

“Berarti minggu depan kita bisa makan enak lagi,” ujar Riyan yang disambut huuu oleh yang lain. “Hemat kantong. Iya, kan, Ra?” Zahra hanya mengangguk-angguk karena mulutnya masih penuh makanan.

“Minggu depan ke kostan ibu aja. Ibu masakin makanan yang enak-enak. Kalian, para anak raja suka makanan rakyat jelata, kan?”

Kompak mereka tertawa mendengar kalimat Maya.

“Bu, yang anak raja pacarnya Zahra,” Riyan menunjuk Zahra yang menyeringai sebal. “Itu harta 100 turunan kagak bakal habis kali. Mana anak semata wayang lagi.”

“Martin, kan, namanya?” Riyan dan Ray mengacungkan dua jempol mereka. “Kalau ibu masih seusia kalian, kayaknya nggak bisa nolak juga pesona Martin.”

Zahra tertawa senang. “Ambil aja, Bu. Saya ikhlas.”

“Ikhlas, ikhlas, nanti ujungnya nangis,” canda Maya.

Zahra menggeleng kuat, berusaha menyakinkan mereka bahwa dia tidak akan menangis bila Martin jadian dengan cewek lain. Namun, tidak ada yang percaya.

Lambat laun kantin mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Zahra masih asyik berfoto dengan ponselnya. Riyan tengah menyantap es pisang ijo kesukaannya.

“Ray, titip buku dan tas ibu, ya. Ibu mau ke toilet dulu.”

Ray mengangguk mengerti. Maya keluar dari kantin lalu berbelok ke arah kanan. Ray mengambil buku materi pelajaran bahasa Inggris yang berisi tentang grammar. Dia membuka beberapa lembar halaman. Banyak catatan-catatan kecil di buku itu. Hingga pada halaman 35, ada secarik kertas kuning muda berbentuk perahu. Mata Ray melebar saat membaca isinya.

Kamu, ya, kamu

Pengisi hatiku

Kamu, ya, kamu

Pembuat resah pikiranku

Kamu, ya, kamu

Peremuk rasaku

Kamu, ya, kamu

Bukan tempatku berlabuh

Reihan Yudhistira

Ray segera menutup buku bahasa Inggris itu dan meletakkan ke posisi semula ketika mendengar bunyi sepatu mendekat. Dia langsung menyeruput es tehnya. Maya duduk di hadapannya, mengambil ponsel di tas. Ray tak menyangka wanita ini memiliki rasa pada kakaknya. Sudah sedalam apa perasaan itu? Namun, dia yakin rasa sakit akibat cinta bertepuk sebelah tangan lebih dalam daripada rasa cinta yang dirasakan.

Dia menawarkan mengantar pulang, namun Maya menolak karena akan mampir ke toko buku. Sepeninggal Maya, Ray masih memikirkan curahan hati gurunya itu.

“Yan, Ra,” panggilnya. “Kalian pernah ngerasain cinta bertepuk sebelah tangan?”

“Nggak,” jawab mereka kompak.

“Kamu tahu lah kecantikanku membuat hati para cowok klepek-klepek.” Ucapan Zahra seketika mengundang rasa mual Riyan dan Ray.

“Kalau aku jujur belum pernah benar-benar ngerasain yang namanya jatuh cinta. Naksir-naksir wajarlah. Masalahnya papaku yang ala sinetron itu pasti punya rencana jodohin aku sama cewek dari anak kolega bisnisnya. Jadi,”

Ray segera menutup bibir Riyan dengan tangannya. “Mending kamu pulang terus nulis novel.” Dibukanya bekapan tangan. “Jawab seperlunya bisa, kan?”

“Mumpung otakku lagi encer, Ray.”

“Kamu jatuh cinta sama siapa?” selidik Zahra. “Ketua cheerleaders, ya? Rania? Gosipnya kamu pernah nganterin dia pulang ke rumah.”

“Itu aku ketemu di mall, pas mau balik, searah, ya, udah aku anterin pulang. Lagian daripada milih dia mending aku sama kamu aja, Ra,” Goda Ray.

“Mending aku jomblo seumur hidup.”

“Awas aja kalau lagi butuh traktiran.” Ray beranjak dari duduknya, berjalan mundur keluar dari kantin.

“Yaelah, cuma traktiran doang pakai ngancam.” Zahra melambaikan dompet milik Ray.

Ray meraba saku celana bagian belakang. Tak menyangka Zahra melakukan hal mustahil itu lagi. Zahra melempar dompetnya ke Riyan. Ray memburu mereka ke parkiran. Gerakan mereka lebih cepat. Dia duduk pasrah di lantai parkiran saat melihat motor Riyan melaju lebih dulu dengan Zahra membonceng di belakang. Ray memungut kartu pelajarnya yang dibuang oleh Zahra, sebagai bekal siapa tahu ada razia di jalan. Dia tersenyum, bersyukur masih memiliki sahabat-sahabat yang bisa menghibur seperti mereka. Dilajukannya motor menyusul sang dompet agar tidak berakhir tipis isinya.

*****

Reihan sekali lagi memandang cincin yang bertengger manis di kotak cincin berwarna merah. Senyum sedari tadi tak lepas dari bibirnya membayangkan Angela menerima lamarannya. Dia membatalkan melamar Angela di restoran. Sederhana dan penuh kejutan konsep yang dia pilih.

Dia sadar keputusannya akan menyakiti hati adiknya. Namun, dia juga punya keyakinan Ray bisa menerima Angela suatu hari nanti. Reihan turun dari mobil, membawa mawar merah kesukaan kekasihnya. Di depan pintu apartemen, Reihan menekan beberapa kali bel pintu, namun tidak ada jawaban. Dia hendak menghubungi Angela tapi ingat mau memberi kejutan. Dia mencoba memutar gagang pintu yang berbentuk bulat. Terkejut karena ternyata tidak dikunci. Dia membuka pintu lebih lebar.

“Angela, Sayang,”

Tidak ada jawaban.

“Kamu di mana, Sayang?”

Samar-samar terdengar suara desahan. Kakinya menuju satu-satunya kamar di ruangan itu. Pintunya terbuka sedikit. Suara desahan semakin terdengar jelas. Pikirannya mulai diselimuti hal buruk. Didorongnya pintu kamar yang sedikit terbuka itu lebih lebar. Angela tengah bercinta dengan seorang pria yang tidak dikenalnya. Bibirnya menyerukan nama kekasihnya. Dua orang yang tengah dimabuk gairah itu terperangah.

Reihan tak menghiraukan panggilan Angela. Apa yang dilihatnya sudah memberikan penjelasan lebih dari cukup. Dia tak pernah menyangka Angela mampu berbuat seperti itu padanya. Cintanya yang begitu tulus dibalas dengan pengkhianatan sekeji itu.

Di dalam kamar, Reihan merobek semua fotonya bersama Angela yang dia tempel di dinding dalam figura photo, menghapus semua kenangan yang ada di ponselnya, menghapus nomor Angela walaupun dia hafal, mengumpulkan barang-barang yang pernah diberikan Angela kepadanya dan menumpuknya di dalam satu kardus.

"Sampai kapanpun aku nggak akan pernah memaafkanmu. Nggak akan pernah, Angela.”

***** ***** *****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status