Share

Chapter 2

Maya menggeram kesal saat menceritakan kejadian tempo lalu di sekolah pada sahabatnya, Nani. Sahabatnya itu hanya bisa geleng-geleng sambil terkikik geli.

“Aku puas banget mereka dihukum bersihin halaman sekolah selama seminggu.”

“Namanya juga anak ABG, kelakuannya pasti aneh-aneh. Harus ekstra sabar.”

“Anak itu nakal banget. Apa orangtuanya nggak didik dia sopan santun? Nggak ngajarin dia hal-hal yang baik? Heran, deh.”

“Mungkin orangtuanya terlalu sibuk dengan pekerjaan jadi dia terbengkalai gitu.”

Maya memikirkan kemungkinan hal itu. “Bisa jadi.”

“By the way kita udah sampai di restorannya.” Nani menunjuk plang Restoran Nusantara. Dilepaskannya sabuk pengaman.

Sampai di depan restoran mereka menemui salah satu pramuria wanita untuk bertemu dengan pemiliknya. Tak lama si pramuria muncul dengan seseorang berpakaian chef. Mereka duduk dekat dengan etalase berisi berbagai macam roti dan kue.

“Saya mau konfirmasi pesanan catering untuk acara keluarga saya. Ada beberapa menu yang mau saya ubah.”

Mereka melanjutkan diskusi perubahan menu. Maya yang tidak ikut dalam diskusi tersebut mulai curi-curi pandang pada pemilik restoran. Kata manis lebih tepat disematkan untuk pria ini. Kulit sawo matang. Perawakan yang tegap dan tinggi sebenarnya lebih cocok sebagai perwira TNI. Hidung lumayan bangir. Tatapan mata pria ini yang paling dia suka. Teduh.

Untuk sejenak, mata mereka beradu pandang. Maya mengerjapkan mata. Dia mengambil ponsel di tas untuk mengalihkan perhatiannya.

“Semoga hidangan kami nantinya berkenan di hati Anda, keluarga dan para tamu.”

“Kalau begitu saya pamit. Ayo, Maya.”

Maya beranjak pelan dari duduknya. Matanya melirik ke deretan roti dan kue di etalase yang langsung memberikannya ide untuk sedikit lebih lama berada di restoran itu. Dia menanyakan jenis roti dan kue yang ada di etalase walau sebenarnya dia sudah tahu. Dia bahkan memancing dengan pertanyaan seputar resep kue bika ambon kesukaan mamanya. Nani melihat jam tangannya. Disadari atau tidak Maya sudah menahan pemilik restoran agak lama.

“Terima kasih banyak sudah berbagi ilmunya.” Maya tersenyum senang memandang kartu nama pemilik restoran. “Pak Reihan.”

“Sama-sama. Jangan panggil Pak, panggil nama aja.” Maya mengangguk.

“Kalau begitu, kami pamit.” Nani mengapit lengan Maya. “Selamat siang.”

Di mobil Maya masih tertawa senang mengingat kejadian tadi. Dia memasukkan hati-hati kartu nama Reihan ke dompetnya.

“Maya, Maya, kerasukan apa, sih, kamu?”

“Croissant.” Maya menggigit ujung croissant keju yang dia beli di restoran Reihan. “Nan, itu restoran sudah ada lama? Bangunannya kayak sudah tua.”

“Baru, kok. Memang desainnya sengaja dibikin begitu. Info dari temenku kalau nggak salah baru dua tahun buka.”

“Termasuk ramai nggak restorannya?”

“Ramai, apalagi masuk jam makan siang, sulit dapat tempat. Makanya harus reservasi dulu. Aku cocok banget sama rasa makanannya. Kapan-kapan kita makan siang di situ.”

“Semua makanannya Indonesia?”

“Nggak. Beragam, ada Western, Chinese, Timur Tengah, Jepang, dan uniknya menu mereka berubah setiap harinya. Jadi misal hari ini menu Indonesia, besok Chinese, lusa Western. Pokoknya nggak nyesel makan di situ.”

“Kamu sudah kayak marketingnya aja. Jelas banget promosinya.”

Nani tertawa geli. “Rencananya untuk acara pernikahan juga aku bakal pesan ke dia. Worth it untuk harga dan rasa.”

Bunyi ponsel terdengar nyaring. Nani meminggirkan mobilnya ke tepi jalan. Tertera nama mamanya di layar.

“Kalau gitu aku ke rumah sakit sekarang. Nanti kalau udah sampai aku kabari lagi. Ok, Ma, thanks.”

“Kenapa, Nan?”

“Calon ibu mertua masuk rumah sakit. Darah tingginya kumat. Sempat pingsan.”

“Semoga lekas sembuh, ya.”

Nani mengangguk kecil lalu melajukan kembali mobilnya.

*****

Maya berjalan mantap menuju kelas XII IPS 3. Dia buang jauh rasa takut. Dia tidak mungkin kalah dengan mereka yang umurnya lima atau enam tahun di bawahnya. Matanya mengarah ke atas pintu, tidak ada apapun. Kursi yang akan dia duduki, bersih, tidak ada lem atau kotoran apapun. Meja juga bersih. Diletakkannya buku-buku yang dia bawa di meja. Semua murid sudah duduk manis di kursinya masing-masing.

“Selamat siang anak-anak.”

“Selamat siang, Bu.”

“Perkenalkan nama saya Maya. Saya,”

“Tapi kamu nyata bagiku.”

Matanya mengarah pada sumber suara. Rasanya ingin sekali melempar anak itu dengan kamus bahasa inggris yang tebal. Dia mengatur napas agar emosinya terkontrol. Berusaha tidak menanggapi ocehan tak bermanfaat.

“Saya guru bahasa inggris kalian yang baru. Saya menggantikan Ibu Rika,”

“Kita semua sudah tahu, Bu,” Sela suara itu lagi.

Kali ini Maya tidak bisa mengabaikan gangguan dari anak menyebalkan itu.

“Siapa namamu?” suaranya agak meninggi.

“Ibu lupa? Kita pernah ketemu di depan kelas. Pak Kepala Sekolah juga sebut nama saya.”

“Saya hanya ingat kamu itu anak nakal, biang onar, suka bolos, dan segala hal jelek lainnya.” Maya mengulang kata-kata kepala sekolah.

“Ibu nggak asyik, masa yang diingat dari saya cuma yang jelek-jelek aja.” Beberapa murid cekikikan dengan celotehan anak itu.

Maya kembali ke meja guru dan mengambil daftar absen. Dipanggilnya satu persatu murid-muridnya. Ketika sampai pada satu nama, perlu beberapa detik untuk tahu siapa pemilik nama itu. Rayendra Krisna. Perlahan tangan anak menyebalkan itu terangkat ke atas. Maya melanjutkan memanggil yang lainnya.

 “Ibu rasa cukup perkenalannya. Kita mulai pelajaran bahasa inggris hari ini dengan tema conjunction. Siapa yang bisa sebutkan jenis-jenis conjunction, ibu kasih poin 5.”

Beberapa murid mengangkat tangannya ke atas. Maya menunjuk murid perempuan berambut keriting.

“Good, five point for you. Ok, guys, we,”

“Aksen ibu nggak banget, deh,” Celetuk Ray. “Kuping saya berasa gatel. British nggak, American juga nggak. Logat Indonesianya masih kental. Saya merasa nggak belajar bahasa inggris. Kok, bisa sekolah bergengsi seperti ini nerima ibu ngajar? Ibu punya koneksi kuat, ya, di sekolah ini?”

Wajah Maya memerah. Dia merasa terhina. Semua anak memandang bergantian ke arahnya dan Ray.

“Maaf, tapi saya nggak tertarik dengan kelas ibu. Membosankan.”

Ray keluar dari kelas. Maya menyabarkan hati agar tidak menuruti emosinya. Sekaya apa keluarga anak itu hingga berani merendahkan orang lain?

“Kita lanjutkan materinya.” Maya membuka halaman bukunya.

*****

Ray membentangkan tikar di bawah pohon mangga. Dia merebahkan tubuhnya, bersantai menikmati semilir angin. Jari jempol, telunjuk kanan dan kiri bergabung membentuk bingkai untuk langit dan dedaunan pohon mangga. Dia tersenyum tahu apa hadiah yang dia mau saat ulang tahunnya nanti. Kamera.

“Ray, diusir lagi dari kelas?” sahabatnya ikut merebahkan diri di samping kanannya.

“Aku yang keluar sendiri dari kelas. Kamu sendiri ngapain di sini?”

“Aku ujian ekonomi tapi lisan. Dapat giliran pertama. Selesai langsung boleh pulang.”

“Kenapa nggak pulang?”

“Aku nungguin Zahra. Minta temenin pilih kado buat ulang tahun cucu teman mama.”

“Ikut dong. Kalian kencan diam-diam.”

“Mulut jangan bikin gosip, ya. Kalau ada yang dengar dan sampai kupingnya Martin, jadi bubur eike.”

“Hai teman-temanku tersayang,” sapa Zahra riang. Dia menghampiri mereka dengan kertas ujian melambai di tangan. Ray dan Riyan bangkit dari rebahan.

“Sombong amat, mentang-mentang dapat nilai bagus.” Ray mengambil kertas ujian Akuntansi Zahra yang bernilai seratus.

“Harus dong sombong.” Zahra duduk di samping kiri Ray. Diambilnya kembali kertas ujian dari tangan Ray dan melipatnya lalu memasukkan ke dalam tas. “Yan, berangkat sekarang?”

“Pas pulang sekolah aja. Ray PA mau ikut.”

“Kamu bolos kelas lagi?” Zahra menepuk bahu Ray sedikit keras. Ray mengangguk kecil. “Ray, jangan gitu, deh. Walau nggak suka sama gurunya jangan sampai bolos kelas. Kalau kamu sampai nggak lulus gimana?”

“Tinggal pindah sekolah aja, kok, repot,” Jawab Ray enteng.

“Jangan gitu, Bro. Kita udah janji lulus bareng.”

“Habisnya aku udah nggak ada feel buat sekolah. Kalian nggak capai apa tiap hari belajar mulu? Memang dipakai yang kita pelajari di sekolah? Belum tentu.”

“Mau dipakai atau nggak, sekolah itu sebagai dasar kita belajar,” Ucap Zahra. “Di luar sana banyak anak-anak yang kurang beruntung nggak bisa sekolah.”

“Jangan pakai drama kemiskinan, aku nangis, nih.”

“Habisnya susah bikin kamu sadar.”

“Seenggaknya kamu lulus, udah bikin kita seneng.” Tambah Riyan.

“Setelahnya kamu mau jadi apa, itu terserah kamu. Kasihan Kak Reihan dapat surat panggilan dari sekolah terus.”

“Iya, iya, aku nggak bakal bolos kelas lagi.”

Zahra mencubit gemas kedua pipi Ray. “Gitu dong anak ganteng.”

“Sekali-kali disun sayang, bukan dicubit.” Goda Ray.

“Ray, sun-nya Zahra cuma buat Martin.”

Zahra tersenyum malu. “Martin nggak pernah minta sun kayak Ray PA.” Dia beranjak dari duduknya. “Ke kantin aja, yuk.” Dilemparnya dompet Ray ke Riyan yang langsung ditangkap sigap.

“Ra, belajar nyopet di mana?”

Zahra hanya menjulurkan lidahnya lalu lari bersama Riyan menuju kantin. Ray menggulung tikar dan menyandarkan di dekat pohon mangga. Dia tak habis pikir dengan kecepatan tangan Zahra mengambil dompetnya dari saku celana sekolah. Sambil menuju kantin, dia mencoba berbagai gerakan mengambil dompet di saku celana tanpa terasa tapi tak bisa.

*****

Perasaan kesal itu masih memenuhi hati. Tak pernah dia dihina seperti ini oleh anak yang lebih muda darinya. Kalau memang mau memberi kritik terhadap aksennya dalam bahasa Inggris, seharusnya disampaikan dengan baik. Tidak menyakitkan seperti ini.

“Bu Maya kenapa mukanya cemberut gitu?” tanya Bu Diyah.

“Biasa Bu, kesel sama si biang onar.”

“Oalah Ray.” Bu Diyah tertawa. “Nggak usah diambil hati omongan dia. Sakit hati sendiri.”

“Memangnya nggak ada satupun guru di sekolah ini yang bisa bilangin dia?”

“Bukan nggak bisa bilangin, tapi udah pasrah alias nyerah. Kepala sekolah aja dibantah sama dia. Malah pernah ban mobilnya kepala sekolah dikempesin.”

“Keluarganya sekaya apa sampai dia belagu banget di sekolah ini?”

“Gaji kita aja kalah sama uang saku dia sebulan. Kalau yang saya dengar,” Bu Diyah lebih mendekatkan diri ke Maya. “keluarganya tuan tanah. Mereka juga salah satu penyandang tetap donatur di sekolah ini. Kakaknya selalu kirim makanan atau parcel setiap bulan ke sekolah untuk guru-guru. Bisa dibilang sebagai bentuk permintaan maaf kalau Ray bikin onar di sekolah.”

Maya teringat bingkisan kain batik yang masih dia simpan di loker. Pemberian keluarga Ray sebagai permintaan maaf atas kejadian air comberan. Dia tak berani membawa pulang, khawatir dicap sebagai penerima suap. Terlebih lagi dia guru baru di sekolah ini.

“Saya tetap mau lapor ke Pak Kepala. Biar dia tahu kalau kelakuannya salah. Anak itu harus disadarkan.”

“Semoga berhasil, Bu. Tapi saran saya jangan berharap banyak.” Bu Diyah menyampirkan tas ke bahunya. “Saya duluan.”

Maya mengangguk kecil. Dia membereskan buku-buku di mejanya. Sekali lagi memikirkan perkataan Bu Diyah. Dia tidak peduli Ray anak siapa dan sekaya apa keluarganya. Dia hanya mau membuat anak itu sadar akan kesalahan yang sudah diperbuat. Tidak semua hal di dunia ini bisa dibeli dengan uang.

*****

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Putri Pena
Ray mulutnya nggak bisa direm
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status