Bab 2
Pov Arkatama
[Mas ini serius hadiah untukku? Bukan bingkisan yang nyasar?]
Dahiku mengerut saat membaca pesan yang dikirim Salma istriku. Aku tak mengerti apa maksud dari pesan yang dia kirim. Segera kukirim balasan.
[Hadiah apa maksudnya?]
Akupun terkaget saat melihat pesan balasan dari Salma yang berisi foto buket bunga mawar dan mobil jazz.
Hadiah yang seharusnya kukirimkan untuk Rahma, wanita yang telah mengisi hari-hariku terbebas dari kejenuhan. Wanita yang selalu tahu bagaimana memanjakanku saat aku merasa lelah sepulang kerja.
Dia tahu kalau aku sudah memiliki istri, karena memang kedekatan kami berawal saat aku sering curhat padanya tentang rumah tanggaku yang begitu-begitu saja. Hingga pada akhirnya aku dan Rahma saling mencintai.
Rahma memintaku untuk menikahinya agar hubungan kami tidak terlarang. Dia rela menjadi yang kedua, asal cintaku padanya lebih besar daripada cintaku pada Salma, begitulah permintaannya.
Akupun menyetujui pernikahan itu. Tidak ada keluargaku yang mengetahui pernikahan kami, karena aku dan Rahma menikah secara diam-diam di kediaman orang tua Rahma.
Sial!!!
Aku terperangkap dengan permainanku sendiri. Bisa-bisanya aku salah mengirim alamat pada kurir yang mengantarkan mobil hadiah untuk Rahma.
Kuusap wajah yang sedikit berkeringat. Meski ruangan sudah berAC, tapi tubuhku terasa sangat panas. Aku duduk diatas meja sambil memperhatikan layar ponsel. Aku mengetuk-ngetuk tumit kakiku memikirkan bagaimana caranya agar Salma tidak mencurigaiku. Pikiranku hampir buntu.
Ah, sudahlah mobil itu sudah terlanjur berada dirumah dan sudah pasti Salma mengira itu benar-benar untuknya. Sebab ada namaku tertera sebagai pengirim di kartu memo yang kuselipkan dibuket bunga mawar itu. Untungnya aku tidak menulis nama Rahma dikertas itu.
Alhasil, akupun terpaksa menjawab kalau hadiah itu memang kupersembahkan khusus untuknya. Semoga saja Salma tidak mencurigai kalau sebenarnya hadiah itu memang bukan untuknya.
Lega rasanya, melihat ekspresi wajah Salma saat aku bilang kalau mobil itu adalah surprise untuknya. Meski saat pulang kerumah, aku tidak terlalu membahas soal hadiah itu karena malas.
Masalah Rahma nanti bisa kuhandle. Asal dia dibelikan barang yang sama dengan model yang diinginkannya.***
Aku adalah seorang pengusaha di bidang produksi makanan di daerah Bandung. Memang pada awalnya perusahaan milikku hanyalah home produksi kecil-kecilan.N amun, sejak orang tua Salma memberikan suntikan dana untukku, omsetku meroket. Hingga memiliki cabang di berbagai daerah, contohnya di Cianjur, Sukabumi dan Tasikmalaya.
Salma adalah istri yang cantik dan ramah, usia pernikahanku dengannya sudah hampir sepuluh tahun. Tapi, Tuhan belum memberikan amanah keturunan pada kami. Jelas, orang tuaku yang sudah cukup tua, sangat mengidamkan cucu dariku. Karena aku merupakan anak tunggal. Terkadang aku selalu pusing, hampir setiap hari mereka merengek meminta diberikan cucu.
Selama itu pula aku menjalani rumah tangga bersama Salma tanpa pernah ada pertengkaran. Didepannya aku selalu berusaha tidak pernah merasa bosan. Meskipun, tidak bisa dipungkiri, pria normal manapun pasti akan merasakan kesepian dan jenuh di dalam rumah tanpa hadirnya seorang anak didalam.
Salma sudah mencoba beberapa kali program bayi tabung, bahkan bukan hanya sedikit biaya yang dikeluarkan untuk itu. Sayang, usaha itu selalu saja gagal.
"Mas, Mas masih tetap mencintaiku kan?" Pertanyaan yang selalu dilontarkan Salma setiap malam sebelum dia tertidur. Tentu saja aku masih mencintainya karena dia adalah cinta pertamaku.
"Tentu dong Ma."
Dia memelukku dengan erat, akupun mengelus kepalanya dan mencium keningnya, sebelum akhirnya aku harus berangkat lebih awal.
Aku sering menghindar dari kebosanan didalam rumah. Memberi alasan berangkat ke kantor lebih awal. Padahal aku pergi hanya untuk menghindar darinya.
Tak sabar menemui Rahma. Aku langsung melesat menuju sebuah rumah yang tak jauh dari kantorku.
"Maaf sayang... Nanti kita sama-sama ke dealer lagi ya, mungkin kemaren Mas terlalu sibuk ngurusin cabang pabrik baru yang akan dibangun. Jadi Mas salah kirim alamat."
Kukecup keningnya. Dia pun meringkukkan badannya dipelukanku. Hingga aku terbuai dalam keindahan surgaku yang kedua. Satu jam sudah aku berada dirumah Rahma.
"Mas berangkat sekarang ya sayang. Sebaiknya kamu tidak usah masuk dulu. Kasihan nanti kamu cape dipabrik. kalau ada apa-apa kabarin Mas. Jam makan siang kita ke dealer! "
"Tapi Mas, aku takut, takut ketahuan sama Mba Salma dan temen-temen di pabrik." Dia merengek sambil menggelayut manja ditanganku."Tenang saja! Soal itu biar Mas yang handle! Kamu tidak usah mikirin apa-apa yang penting sekarang jaga kesehatanmu!"
"Iya sayang makasihh."
Dia melingkarkan tangannya dibahuku. Akupun tersenyum melihat wanita mungil yang menggemaskan itu. Apalagi dia sedang mengandung anakku. Pasti orang tuaku akan sangat bahagia mendengar kabar bahwa mereka akan mempunyai cucu meski bukan dari Salma.
Lima belas menit aku sudah sampai di kantor. Pekerjaanku santai karena ada sekertaris Gun yang cekatan dan mampu diandalkan.
"Bagaimana dengan pembangunan pabrik di Tasik?" tanyaku pada Sekertaris Gun yang datang membawa berkas.
"Lancar Bos!"
"Sip"
Kubuka beberapa berkas, ada berkas tentang kerjasama dengan suplier bahan mentah. pemiliknya adalah salah satu penduduk dari orang yang berkulit putih dan bermata sipit. Beruntung bisa bekerja sama dengan mereka. Selain disiplin, motivasi dalam berbisnisnya pun bisa menjadi panutan bagi semua orang.
Mereka menpunyai sifat ulet, rajin dan gigih yang sudah mendarah daging. Merekapun memiliki pepatah, makan bubur dulu sebelum sukses baru makan nasi setelah suskes, pantang hidup mewah dan harus bisa mewarisi tujuh turunan.
Itu yang kupelajari dari Koko partnerku.
Kusandarkan tubuhku dikursi. Lalu Kuhembuskan nafas dengan kasar. Semua yang kuinginkan telah kudapatkan. Tinggal satu harapanku yaitu keturuanan. Aku akan memanjakan Rahma demi menjaga calon anakku.
"Assalamualaikum Mas," Suara lembut yang tak asing ditelingaku masuk kedalam ruangan.
"Salma?"
Aku kaget, tidak biasanya Salma datang ke kantor. Penampilannya pun terlihat lebih muda dari umurnya. Akupun terkesima melihatnya. Karena dirumah, ia selalu mengenakan pakaian biasa.
"Kenapa kaget Mas?"
Ponselku terus bergetar.
Nama sekertaris Rahma tertera dilayar ponsel.
"Siapa Mas? Angkat saja!"
Lagi-lagi aku terperangkap dalam situasi sulit seperti ini.
Sialll!!!
(Bersambung gak?)
Hati istri mana yang rela jika sang suami membagi cintanya dengan wanita lain? Apalagi pernikahan yang sudah dibangun bertahun-tahun harus hancur seketika, akibat adanya pihak ketiga. Allah, kuatkan hati ini untuk bisa membuktikan semua prasangka buruk yang sudah menghantui pikiranku.Mas Tama kini sudah berani membohongiku. Entah mulai kapan dia menyembunyikan rahasia terbesar ini dariku. Lihat saja bingkisanku, Mas! Sesuai rencana, aku akan memberikan bingkisan terindah melebihi bingkisan mobil mewah yang diberikan Mas Tama untukku. Ups!!! Bukan bingkisan untukku, tapi terlanjur sampai ditanganku. Mas Tama sangat terkejut melihat kedatanganku yang tiba-tiba. Tentu saja, ini adalah kejutan pertama untuknya. Aku datang ke kantor, tanpa memberi tahunya terlebih dulu. Kulangkahkan kaki seanggun mungkin. Akan kubuktikan padanya, akupun bisa berdandan cantik dan elegan. Tidak hanya melulu diam di rumah mengenakan daster emak-emak yang setiap hari Mas Tama lihat sebagai pemandangan
Kugertakan gigi, amarah mulai naik ke ubun-ubun. Satu bukti jelas nampak terlihat dengan mata kepalaku sendiri. Mas Tama berani berselingkuh di pabrik yang kami rintis dari nol. Hal yang paling mengejutkan, wanita yang saat ini berada dalam pelukan Mas Tama, tengah berbadan dua. Itu berarti, hubungan mereka telah berlangsung lama. Bisa-bisanya aku kecolongan seperti ini.Kuusap dada sekali lagi, berusaha mengatur napas. Allah, Mas Tama yang selama ini sempurna dimataku dan keluarga. Mas Tama yang selama sepuluh tahun selalu romantis padaku. Mas Tama yang setiap malam mengatakan akan tetap mencintai dan setia padaku hingga ujung usia. Kini, semua perkataan itu sirna. Kepercayaan yang kujaga selama sepuluh tahun, seketika hancur berkeping-keping. Lekas kurogoh ponsel dari saku blazer. Berniat merekam video mereka. Bergerak pelan, berusaha tak mengeluarkan suara. Namun, saat kunyalakan kamera dan kuhadapakan kearah mereka, tiba-tiba mereka terdiam. Ah, apa mereka menyadari ada or
"Hallo!" suara wanita itu terdengar jelas dan tak asing ditelingaku. Ya, siapa lagi kalau bukan suara sekertaris Rahma. "Ada apa SEKERTARIS Rahma?!" kutanya to the point sambil menatap tajam Mas Tama. Dia terlihat salah tingkah dan gelisah. Lantas, Mas Tama mendekatiku, lalu berbisik lembut ditelinga kananku, "sini biar mas yang bicara!" Pelan-pelan dia berusaha mengambil alih ponselnya. Namun, segera kutangkis tangannya, mempertahankan ponsel yang masih menempel ditelingaku. "Ada apa? ngomong saja! Pak Tama disamping saya," Nadaku sedikit meninggi. Kekesalan dan kesakitan semakin menyeruak menusuk-nusuk dada. Mas Tama tak berkutik. Wajahnya terhenti disamping wajahku yang sedang berbicara dengan wanita itu, dia sangat kaku. hmmh Mas Tama, Mas Tama, kamu tak bisa menyembunyikan sikapmu, sungguh, kamu terlihat kerakutan. Takut, kalau wanita j*l*ng itu berbicara aneh-aneh padaku. "Ma-ma-maaf bu, saya mau memberi tahu jadwal sama bapak, kalau setelah makan siang ada pertemuan de
Kutatap wajahku didepan cermin. Hatiku terasa remuk tak tersisa. Mengingat kelakuan Mas Tama yang benar-benar diluar dugaan. Mas Tama begitu pintar merayu, akhir-akhir ini dia lebih sering memanggilku dengan panggilan sayang. Lantas, dia berikan pula gelar itu untuk wanita lain. Kubuka jilbab yang sedikit basah, karena cipratan air. Saat aku hendak berkumur, tiba-tiba pintu terbuka, Mas Tama melangkah cepat menghampiriku. "Sayang, kamu tidak apa-apa?" Dia memijit-mijit bahuku yang sedikit membungkuk. "Nggak mas, mungkin aku belum terbiasa berlama-lama di kantor, jadi sedikit lelah." Kulepas tangan Mas Tama dari bahuku. "Yasudah, Mas antar pulang ya!" Mas Tama memegang bahuku lagi."Tidak Mas, aku baik-baik saja, aku minta tolong bawain jilbab dimejaku Mas! jilbabku yang ini basah.""Pakai jas mas aja dulu!" pintanya seraya membuka jas yang masih membalut tubuhnya. Lalu menutupkannya pada kepalaku. Dia menutup auratku agar tidak dilihat orang lain, tapi dia sendiri menikmati au
Pov RahmaMenjadi istri kedua yang disembunyikan, memang bukanlah sesuatu hal yang patut dibanggakan. Namun, bagaimanapun juga aku membutuhkan Mas Arka.***Mas Arka, seorang bos yang baik hati, semua karyawan tahu itu. Dia selalu memberikan bantuan pada setiap karyawan yang kesusahan. Begitupun denganku, aku termasuk karyawan yang selalu menerima bantuan darinya. Sejak itu pula, aku selalu dihantui rasa hutang budi padanya. Masih teringat jelas, pesan terakhir bapak sebelum beliau meninggal. Meskipun kita bukan berasal dari orang kaya, kita tetap harus pandai menjaga harga diri. Perkataan itu yang selalu terngiang dipikiranku. Sebagai seorang gadis yang menjaga kesucian, aku tak mau melakukan dosa indah itu dengan lelaki yang bukan muhrim. Karenanya, aku meminta Mas Arka menikahiku detik itu juga, saat dia hendak mendekatiku penuh hasrat.Setelah dia menjelaskan tentang kehidupannya, aku pun rela dijadikan yang kedua. Asal aku tidak berdosa, dan kami menikmatinya dengan halal. Set
Pov Rahma"Mas kenapa Mas?"Aku menghampiri Mas Arka yang terlihat kelimpungan. Dia membolak-balikkan kartu persegi kecil dan mengganti dengan kartu yang lain dari dompetnya. lalu memberikannya pada petugas kasir."Maaf, ini juga tidak bisa pak!" Kasir itu menyerahkan kembali kartu yang tadi diberikan Mas Arka. Mas Arka menyambar kartu itu dan terlihat frustasi. Darahku mendidih, rasanya ingin ku tumpahkan didihan darah itu pada Mas Arka yang saat ini ekspresinya seperti orang yang idiot. Aku langsung berlari menghampiri dan mengambil dompet yang dipegang Mas Arka. "Coba lagi Mba kartu yang satu ini!" pintaku memaksa kasir untuk menggesekkan satu kartu lagi yang terselip di dompet Mas Arka. "Sudah, sudah Rahma, hentikan! itu tidak bisa digunakan Rahma!" bentak Mas Arka membuat seluruh karyawan yang ada di dealer melihat ke arah kami. Kugertakan gigi. Beraninya Mas Arka membentakku di depan umum? Aku tidak bisa menyembunyikan rasa malu yang sudah terlanjur terlihat oleh banya
Aku memaksa Mas Arka putar balik.Jangan sampai ponsel itu pindah tangan pada orang lain. Akan tamat riwayatku.Hatiku tak tenang.Mas Arka meraih tanganku yang mulai gemetar."Kenapa tanganmu dingin sayang?"Aku mengigit bibir bawah. Ketakutan menjalar pada seluruh tubuhku. Bagaimana jika ponsel itu tidak ditemukan?"Mas, gimana kalau ponsel itu hilang?" suaraku melemah dan hampir menghilang, lemas tubuh ini, membayangkan berbagai kemungkinan jika ponsel itu benar-benar hilang.aku menatap Mas Arka yang sesekali melirikku.Mas Arka menarik napas panjang, lantas mengangkat kening dan mengembuskan napasnya."Nanti kita pikirkan ya sayang, yang terpenting sekarang kamu tenangkan diri dulu. Mas juga akan mengurus rekening mas dulu ya."Mas Arka menggenggam erat tanganku. Lalu menciumnya berkali-kali. Tidak biasanya Mas Arka mengeluh seperti itu. Dia selalu mengatakan tenang saja sayang, nanti kita beli yang baru. Namun, kali ini tidak. Mas Arka tidak mengatakan itu. Dia masih kebingu
My Last BreathKutatap nama itu di layar ponsel, mendesah pelan, dulu kami pernah berjanji satu sama lain. Cinta kami tidak boleh terpisahkan hingga maut menjemput. Apapun rintangan yang dihadapi, kami akan melaluinya bersama. Hingga, aku dan Mas Tama memberi nama yang cukup romantis di ponsel masing-masing.Ah, bulshitt!!! Semua lelaki sama saja. Tidak ada lelaki setia, saat sudah tergoda wanita lain.Kutelan saliva dalam-dalam, lalu kusentuh nama itu. Bukan khawatir, hanya untuk memastikan posisi Mas Tama dimana. Karena, aku harus menyelesaikan misiku sebelum dia benar-benar datang. Namun, kuurungkan kembali niat untuk menghubunginya. Kugagalkan panggilan yang sudah mulai terhubung. Biarkan saja dia tahu, kalau aku sedang menghukumnya. Mungkin dia akan sadar, apa yang telah dilakukannya merupakan kesalahan fatal. Allah, maafkan hamba yang tak bisa sabar jika di khianati. Kusimpan kembali ponsel diatas nakas, lantas turun menemui Gun. "Kenapa kamu tidak pernah mengatakannya pad