"Hallo!"
suara wanita itu terdengar jelas dan tak asing ditelingaku. Ya, siapa lagi kalau bukan suara sekertaris Rahma. "Ada apa SEKERTARIS Rahma?!" kutanya to the point sambil menatap tajam Mas Tama. Dia terlihat salah tingkah dan gelisah. Lantas, Mas Tama mendekatiku, lalu berbisik lembut ditelinga kananku, "sini biar mas yang bicara!" Pelan-pelan dia berusaha mengambil alih ponselnya. Namun, segera kutangkis tangannya, mempertahankan ponsel yang masih menempel ditelingaku. "Ada apa? ngomong saja! Pak Tama disamping saya," Nadaku sedikit meninggi. Kekesalan dan kesakitan semakin menyeruak menusuk-nusuk dada. Mas Tama tak berkutik. Wajahnya terhenti disamping wajahku yang sedang berbicara dengan wanita itu, dia sangat kaku. hmmh Mas Tama, Mas Tama, kamu tak bisa menyembunyikan sikapmu, sungguh, kamu terlihat kerakutan. Takut, kalau wanita j*l*ng itu berbicara aneh-aneh padaku. "Ma-ma-maaf bu, saya mau memberi tahu jadwal sama bapak, kalau setelah makan siang ada pertemuan dengan investor baru bu""Oke, ada pesan lain lagi? Kalau tidak saya matikan ponselnya," "Ti-ti-dak bu," Jawabnya terbata. Mungkin dia sudah menyadari, bahwa akulah yang mengangkat telepon saat malam itu. Malam setelah pemberian bingkisan mobil yang kuterima. Aku semakin yakin, mobil itu dihadiahkan Mas Tama untuk Rahma. Kumatikan ponselnya, lalu kuberikan pada Mas Tama dengan sedikit melempar dan nyaris terjatuh. "Siapa sekertaris Rahma, mas? bukannya disini hanya ada sekrtaris Gun?" Aku mencoba memancing Mas Tama, sekedar ingin tahu bagaimana tanggapan Mas Tama. "Ah, itu sekertaris cadangan sayang. kalau Gun sibuk ke luar kota, dia yang menggantikan.""Ke luar kota? bukannya kalau ke luar kota itu tugas kamu?" Mas Tama mulai terpancing. Untung saja, aku sudah mengetahui semua kegiatan Mas Tama dari sekertaris Gun. Termasuk yang sering menemui klien dan mengontrol pabrik cabang di luar kota adalah Gun, bukan Mas Tama. "Iya maksud Mas, kalau Mas sama Gun ke luar kota, Rahma lah yang bertanggung jawab disini. Mas mau bilang sama kamu, tapi mas belum sempat sayang." Mas, Mas, mulutmu begitu lumer dan cantik, sungguh tidak sepadan dengan tampangmu yang kekar. Kepalaku makin pusing, ditambah mual yang semakin menjadi. Allah, jangan sampai terlihat lemah didepan Mas Tama. Kukerjapkan mata berkali kali. Kutelan saliva dalam, mulut terasa mengering. Ingin sekali aku berlari menghindari Mas Tama, tapi dia masih duduk didekatku. Bahkan dia hendak memelukku. "Mas, aku mau ke kamar mandi." Izinku pada Mas Tama. Hanya dengan cara ini aku bisa menjauh dari sentuhan Mas Tama. "Mau Mas antar?"Tatapannya begitu meluluhkan hati, dari awal menikah hingga saat ini, sikapnya tak berubah. Hingga aku tidak menyadari, begitu banyak rahasia yang ia sembunyikan dibelakangku. "Tidak usah Mas," pintaku sambil beranjak ke kamar mandi. Mas Tama memang selalu menemani dan menggandengku setiap kali aku ingin ke kamar mandi. Tapi kali, aku benar-benar kehilangan mood berdekatan dengan Mas Tama. Aku pun tak sudi bergandengan dengan lelaki yang telah menduakan cintanya dariku. Mas Tama tetap menghampiriku, lalu menggandeng tanganku sampai kedepan kamar mandi. Batinku menolak, namun jasadku tak mungkin, walau bagaimanapun dia masih suamiku. Manja, ya memang aku manja pada Mas Tama. Begitupun sebaliknya, Mas Tama manja padaku, bahkan dia lebih manja dariku. Apalagi saat sakit, dia selalu menginginkanku yang merawatnya dari mulai memandikan hingga menyuapinya, sampai satu waktu, kami melakukan hubungan itu di kamar mandi rumah sakit. Dia tak mampu menahan hasratnya selama beberapa hari ia tahan akibat dirawat dan tak boleh beraktifitas.Dia menjamahku didalam kamar mandi, sedangkan infusan masih menempel ditangannya. Begitu hasratnya tinggi untuk menginginkan surga duniawi yang selalu kami lakukan untuk melepas rindu. "Hanya kamu surga yang Mas miliki, hanya kamu satu-satunya," rayunya sambil mendesah. Ah, kenapa ingatanku selalu mengingatnya saat dia sedang romantis? Tapi tidak ada yang bisa kubayangkan selain keromantisan Mas Tama. Karena setiap waktu dia selalu romantis dan tidak pernah marah padaku. Tak pernah ada keributan dalam rumah tangga kami. Tiba-tiba aku sempoyongan. Kepala seperti berputar. Kupijit kening sekedar menghilangkan rasa pusing.Perut ini semakin mual, seperti ada sesuatu yang mendorong melalui tenggorokan, rasanya ingin segera muntah, tapi tidak ada apapun yang keluar dari mulutku.
"Sayang! sayang! kamu baik-baik saja?" Mas Tama mengetuk-ngetuk pintu.Mungkinkah dia mendengar suaraku? Kunyalakan kran pura-pura tak mendengar teriakannya.
Kutatap wajahku didepan cermin. Hatiku terasa remuk tak tersisa. Mengingat kelakuan Mas Tama yang benar-benar diluar dugaan. Mas Tama begitu pintar merayu, akhir-akhir ini dia lebih sering memanggilku dengan panggilan sayang. Lantas, dia berikan pula gelar itu untuk wanita lain. Kubuka jilbab yang sedikit basah, karena cipratan air. Saat aku hendak berkumur, tiba-tiba pintu terbuka, Mas Tama melangkah cepat menghampiriku. "Sayang, kamu tidak apa-apa?" Dia memijit-mijit bahuku yang sedikit membungkuk. "Nggak mas, mungkin aku belum terbiasa berlama-lama di kantor, jadi sedikit lelah." Kulepas tangan Mas Tama dari bahuku. "Yasudah, Mas antar pulang ya!" Mas Tama memegang bahuku lagi."Tidak Mas, aku baik-baik saja, aku minta tolong bawain jilbab dimejaku Mas! jilbabku yang ini basah.""Pakai jas mas aja dulu!" pintanya seraya membuka jas yang masih membalut tubuhnya. Lalu menutupkannya pada kepalaku. Dia menutup auratku agar tidak dilihat orang lain, tapi dia sendiri menikmati au
Pov RahmaMenjadi istri kedua yang disembunyikan, memang bukanlah sesuatu hal yang patut dibanggakan. Namun, bagaimanapun juga aku membutuhkan Mas Arka.***Mas Arka, seorang bos yang baik hati, semua karyawan tahu itu. Dia selalu memberikan bantuan pada setiap karyawan yang kesusahan. Begitupun denganku, aku termasuk karyawan yang selalu menerima bantuan darinya. Sejak itu pula, aku selalu dihantui rasa hutang budi padanya. Masih teringat jelas, pesan terakhir bapak sebelum beliau meninggal. Meskipun kita bukan berasal dari orang kaya, kita tetap harus pandai menjaga harga diri. Perkataan itu yang selalu terngiang dipikiranku. Sebagai seorang gadis yang menjaga kesucian, aku tak mau melakukan dosa indah itu dengan lelaki yang bukan muhrim. Karenanya, aku meminta Mas Arka menikahiku detik itu juga, saat dia hendak mendekatiku penuh hasrat.Setelah dia menjelaskan tentang kehidupannya, aku pun rela dijadikan yang kedua. Asal aku tidak berdosa, dan kami menikmatinya dengan halal. Set
Pov Rahma"Mas kenapa Mas?"Aku menghampiri Mas Arka yang terlihat kelimpungan. Dia membolak-balikkan kartu persegi kecil dan mengganti dengan kartu yang lain dari dompetnya. lalu memberikannya pada petugas kasir."Maaf, ini juga tidak bisa pak!" Kasir itu menyerahkan kembali kartu yang tadi diberikan Mas Arka. Mas Arka menyambar kartu itu dan terlihat frustasi. Darahku mendidih, rasanya ingin ku tumpahkan didihan darah itu pada Mas Arka yang saat ini ekspresinya seperti orang yang idiot. Aku langsung berlari menghampiri dan mengambil dompet yang dipegang Mas Arka. "Coba lagi Mba kartu yang satu ini!" pintaku memaksa kasir untuk menggesekkan satu kartu lagi yang terselip di dompet Mas Arka. "Sudah, sudah Rahma, hentikan! itu tidak bisa digunakan Rahma!" bentak Mas Arka membuat seluruh karyawan yang ada di dealer melihat ke arah kami. Kugertakan gigi. Beraninya Mas Arka membentakku di depan umum? Aku tidak bisa menyembunyikan rasa malu yang sudah terlanjur terlihat oleh banya
Aku memaksa Mas Arka putar balik.Jangan sampai ponsel itu pindah tangan pada orang lain. Akan tamat riwayatku.Hatiku tak tenang.Mas Arka meraih tanganku yang mulai gemetar."Kenapa tanganmu dingin sayang?"Aku mengigit bibir bawah. Ketakutan menjalar pada seluruh tubuhku. Bagaimana jika ponsel itu tidak ditemukan?"Mas, gimana kalau ponsel itu hilang?" suaraku melemah dan hampir menghilang, lemas tubuh ini, membayangkan berbagai kemungkinan jika ponsel itu benar-benar hilang.aku menatap Mas Arka yang sesekali melirikku.Mas Arka menarik napas panjang, lantas mengangkat kening dan mengembuskan napasnya."Nanti kita pikirkan ya sayang, yang terpenting sekarang kamu tenangkan diri dulu. Mas juga akan mengurus rekening mas dulu ya."Mas Arka menggenggam erat tanganku. Lalu menciumnya berkali-kali. Tidak biasanya Mas Arka mengeluh seperti itu. Dia selalu mengatakan tenang saja sayang, nanti kita beli yang baru. Namun, kali ini tidak. Mas Arka tidak mengatakan itu. Dia masih kebingu
My Last BreathKutatap nama itu di layar ponsel, mendesah pelan, dulu kami pernah berjanji satu sama lain. Cinta kami tidak boleh terpisahkan hingga maut menjemput. Apapun rintangan yang dihadapi, kami akan melaluinya bersama. Hingga, aku dan Mas Tama memberi nama yang cukup romantis di ponsel masing-masing.Ah, bulshitt!!! Semua lelaki sama saja. Tidak ada lelaki setia, saat sudah tergoda wanita lain.Kutelan saliva dalam-dalam, lalu kusentuh nama itu. Bukan khawatir, hanya untuk memastikan posisi Mas Tama dimana. Karena, aku harus menyelesaikan misiku sebelum dia benar-benar datang. Namun, kuurungkan kembali niat untuk menghubunginya. Kugagalkan panggilan yang sudah mulai terhubung. Biarkan saja dia tahu, kalau aku sedang menghukumnya. Mungkin dia akan sadar, apa yang telah dilakukannya merupakan kesalahan fatal. Allah, maafkan hamba yang tak bisa sabar jika di khianati. Kusimpan kembali ponsel diatas nakas, lantas turun menemui Gun. "Kenapa kamu tidak pernah mengatakannya pad
Pov TamaRahma, kutinggalkan wanita itu dalam keadaan nelangsa. Kasihan memang, tapi bagaimana lagi, aku belum bisa berkutik sebelum rekeningku bisa digunakan lagi.Dia selalu menatapku sendu, setiap kali aku pergi meninggalkannya. Bergelayut manja tidak mau lepas dariku."Mas, janji ya setelah urusan rekening selesai mas langsung kesini lagi."Aku mengangguk dan melepaskan tangannya. Lalu kuelus kepalanya sekedar menenangkan hatinya. Entah, aku merasa tidak enak hati. Perasaanku mulai tidak nyaman dengan kondisi seperti ini. Sepanjang jalan, aku tidak bisa fokus mengemudi. Bahkan hampir menabrak pengendara motor. Aku tidak mengerti kenapa rekening tidak bisa digunakan? Bertanya pada Gun, dia bilang tidak mengetahuinya, lagi pula aku sudah menyuruhnya untuk meeting ke kantor cabang di Cianjur. Mana mungkin dia mengurus rekening.Aku mendesah kasar,Apa jangan-jangan Salma yang sudah memblokir rekening ini? tiba-tiba pertanyaan itu terbesit dalam hati.Siittt!!Kupukul setir penuh
Aku mencoba berdiri sekuat tenaga. Sungguh kasihan, melihat Rahma yang terus merintih kesakitan. Tapi, entah, rasa hambar itu kembali menggelitik hati. Pikiranku kalut, masih membayangkan Salma dengan wajah teduhnya. "Menolehlah Salma! Lihat aku! Lihat!!!Aku gak akan rela jika kamu pergi, sayang!" gumamku sambil menahan air mata, bukti kelemahanku sebagai lelaki. Namun, Salma tidak mungkin mendengar rengekanku lagi. Dia tidak menoleh sedikitpun padaku. Itu artinya, rasa cinta dan sayangnya telah pudar. Rasa ibanya pun telah hilang. Sebenarnya, ingin sekali aku mengejarnya. Tapi, tidak mungkin juga aku meningglkan Rahma. Bahaya sedang mengancam keselamatan dirinya. Bukan hanya dia, tapi calon anakku. "Mas, Mas! cepat bawa aku ke rumah sakit!"suara Rahma menyadarkanku yang terus memandangi langkah Salma dan papa yang terus menghilang beserta bayangan mereka. Kuhela napas panjang, menelan saliva dalam-dalam. Kuhampiri wanita yang telah menjadi istri sirriku selama dua tahun ini
Bulir bening hampir saja terjun dari kelopak mata Salma. Ia berusaha menahan sekuat tenaga agar rintihan kesedihan itu tidak jatuh setetes pun. Baginya, tidak ada lagi tetesan-tetesan air mata untuk lelaki yang telah berkhianat.Wanita bergamis hitam itu terus berjalan tanpa menghiraukan suaminya. Melangkah dengan memegang erat tangan Sang Papa."Jangan goyah, Salma! Kamu harus memberi pelajaran pada pria yang tak tahu diri."Bisikan itu menguatkan Salma hingga menjauh dari Tama.Awalnya, tidak ada keinginan dalam hati Salma untuk mengikuti kemana suaminya pergi. Dia berniat membiarkan Tama benar-benar keluar dan pergi sejauh mungkin dari rumah. Namun, hati kecilnya menjerit, hingga menarik tubuhnya agar segera beranjak membuntuti lelaki yang telah menemaninya hampir sepuluh tahun itu, demi membuktikan rasa penasaran dan kekecewaan yang terus menembus keakar-akar hati.Terisak sambil mengendalikan kemudi. Tangisannya semakin menjadi ketika dia menyaksikan ekspresi suaminya yang keli