Share

Siapa Sekretaris itu?

Kugertakan gigi, amarah mulai naik ke ubun-ubun. Satu bukti jelas nampak terlihat dengan mata kepalaku sendiri. 

Mas Tama  berani berselingkuh di pabrik yang kami rintis dari nol. Hal yang paling mengejutkan,  wanita yang  saat ini berada dalam pelukan Mas Tama, tengah  berbadan dua. Itu berarti, hubungan mereka telah berlangsung lama. Bisa-bisanya aku kecolongan seperti ini.

Kuusap dada sekali lagi, berusaha mengatur napas. 

Allah, Mas Tama yang selama ini sempurna dimataku dan keluarga. Mas Tama yang selama sepuluh tahun selalu romantis padaku. Mas Tama yang setiap malam mengatakan akan tetap mencintai dan setia padaku hingga ujung usia. Kini, semua perkataan itu sirna. Kepercayaan yang kujaga selama sepuluh tahun, seketika hancur berkeping-keping. 

Lekas kurogoh ponsel dari saku blazer. Berniat merekam video mereka. Bergerak pelan, berusaha tak mengeluarkan suara. Namun, saat kunyalakan kamera dan kuhadapakan kearah mereka, tiba-tiba mereka terdiam. 

Ah, apa mereka menyadari ada orang lain  didalam gudang ini? 

Kututup mulut yang sebenarnya ingin meneriaki dua makhluk  yang tak tahu malu itu. 

Perih?

Sungguh, wanita mana yang hatinya tak teriris menyaksikan suaminya sedang bersama wanita lain. Tentu hatiku menjerit. Tapi, tidak dengan mataku. Sayang, jika air mata ini kubiarkan menetes hanya untuk menangisi pria hidung belang seperti Mas Tama. Sia-sia memproduksi air mata tanpa ada manfaat. 

Lagi pula,sekeping dalam dada ini sudah terlanjur hancur semenjak menerima bingkisan itu. 

Sudah kutumpahkan  air mata sejak awal mengetahui kebusukan Mas Tama. Kali ini, air mata bukanlah hal istimewa yang kupersembahkan  untuk Mas Tama. 

"Mas, Mas  bahagia kan, akhirnya  Mas akan punya anak? Itu artinya Mas akan menjadikanku nomor satu kan?" rengek wanita itu, nadanya begitu manja. 

Kutelan saliva dalam, kesal mendengar pengakuan wanita  yang seolah ingin menyingkirkan posisiku dari hati Mas Tama. Meski memang aku sadar, aku belum bisa memberikan  keturuanan untuk mas Tama. Tapi, apa aku patut ditiadakan dari hati Mas Tama? 

Tak kusangka, dibalik keromantisan Mas Tama padaku, dia pun telah menanam benih di rahim wanita lain. Entah sudah berapa lama mereka menjalin hubungan itu dibelakangku. 

"Tentu bahagia sayang." 

Kulihat wajah Mas Tama makin maju dan menunduk. Dilihat dari gerakannya, sudah pasti, Mas Tama sedang mentautkan bibirnya pada bibir wanita itu. Gerakan tangannya yang lihai memegang pinggul wanita lajang itu. Sialnya, tubuh Mas Tama masih menutupi kecilnya tubuh wanita itu. 

Dasar tak tahu malu melakukan itu didalam pabrik. Tidak malu apa kalau orang-orang memergoki mereka? 

Rasanya ingin muntah membayangkan adegan itu, adegan yang selalu kami lakukan setiap hari sepulang kerja. Bahkan Mas Tama sering melakukannya denganku didalam kamar yang berada di ruangan kerjanya. Ya, Mas Tama selalu membuatku terbuai dalam rayuan mautnya. Dari mulai bibir kami terpaut hingga kami melakukan yang seharusnya dilakukan suami istri saat diatas ranjang.

  

Sudah cukup rekaman ini sebagai bukti pengkhianatan Mas Tama. Meski aku belum bisa menangkap wajah wanita itu, setidaknya aku bisa merekam ciri-ciri wanita yang memakai seragam karyawan lapangan. Berarti itu bukan sekertaris, kalau sekertaris tentu tidak memakai seragam khusus bagian produksi.

Lantas kumasukkan kembali ponsel pada saku. Bersandar sejenak pada rak. Hanya rak tepung yang saat ini menjadi sandaranku. 

Apa aku harus protes pada Tuhan, bahwa Dia tidak adil. Aku yang telah bersama dengan Mas Tama selama hampir  sepuluh tahun, tapi belum ada tanda-tanda kehamilan dalam rahimku. 

Apa benar aku ini mandul, dan gak akan punya anak? 

Allah, apa pantas aku protes padaMU? Mengapa harus pelakor itu yang hamil anaknya Mas Tama. 

Mencoba berdiri dalam pertahanan yang telah rapuh. Seorang diri menopang tubuh yang hampir terkulai lemah. Istighfar memenuhi hati yang kemelut. 

Aku harus segera beranjak dari gudang, sebelum mereka menyadari kehadiranku.

Brugh!!

Tak sengaja menubruk salah satu kardus dan terjatuh. Sementara, kuabaikan kardus-kardus itu, kukencangkan langkah menuju pintu keluar. Lantas berlari secepat mungkin sambil menyekap mulutku sendiri. 

Mas Tama tidak boleh melihatku. Karena yang dia tahu aku sedang sibuk merancang untuk persiapan pabrik baru didalam ruangan. 

Salah satu petunjuk, sebagai bukti kebusukan Mas Tama kini terbuka. Aku harus mengumpulkan bukti-bukti lain. 

Aku pun menerka-nerka siapa wanita itu. Kalau  dia memakai seragam lapangan produksi. Lalu siapa nama sekertaris Rahma yang ada dalam ponsel Mas Tama? Apa Mas Tama berselingkuh tidak hanya dengan satu wanita? Lalu ada berapa wanita? 

Ah,,sungguh otakku tak bisa berpikir jernih.

Setelah terasa aman, dan agak jauh dari gudang, kurogoh kembali ponsel dan membuka kunci layar.

Sekertaris Gun, aku rasa dia tahu tentang ini. Hanya dia yang bisa kuandalkan. Karena hanya dia yang selalu pergi bersama Mas Tama. 

"Gun, tolong datang ke ruangan ibu sekrang juga ya!"

"Baik  bu." Jawabnya singkat. 

"Oke ditunggu."

Lalu kumatikan ponsel dan melanjutkan langkah sedikit berlari. Sesampai didepan ruangan, Gun sudah menunggu deidepan pintu. 

"Masuk!" suruhku seraya berjalan mendahuluinya masuk kedalam ruangan. 

Dia hanya membungkuk membalas perkataanku. Lalu, berjalan mengikutiku. 

" Oke to the point aja. Gun kamu jawab jujur, apa Pak Tama sering berkunjung ke pabrik? apa  Kamu tahu siapa yang sering dia temui di pabrik?" Aku mengintrogasi. 

"Maksud ibu? "

"Jawab jujur saja! jangan  takut sama pak Tama!"

Dia hanya menggaruk garuk kepala. Gelagatnya sangat mencurigakan. Aku yakin,  dia menyembunyikan sesuatu tentang Mas Tama. 

Ku perlihatkan video tadi. Gun pun nampak kaget melihat itu. 

"Itu pak Tama bu?" Tanyanya kaget. Hmmh, atau mungkin dia pura-pura kaget? 

Aku mengangguk. 

"Kamu kan  sekertarisnya, harusnya kamu tahu kemana Pak Tama pergi dan apa jadwal dia." 

"Bagaimana saya bisa tahu bu. Saya saja jarang di kantor, karena sering disuruh bapak untuk menyelesaikan seluruh pekerjaannya. Bahkan dua minggu lalu saya yang disuruh meeting di luar kota bertemu dengan investor baru."

"Jadi selama ini, dia?..." Kekesalan semakin menyeruak.

"Pak Tama Kerja ko bu. hanya saja..." 

Gun menggantung perkataannya

"Hanya saja apa?" Aku seidkit berteriak. 

"Hanya saja dia lebih sering menyuruh saya untuk menggantikannya  meeting dengan investor."

"Saya pikir kalau bapak menyuruh saya, bapak pulang ke rumah bu."

Kutarik nafas panjang. Jadi selama ini, Mas Tama. Ah, dua minggu lalu dia bilang mau ke Cianjur untuk membahas pabrik baru diasana ternyata Gun yang kesana. 

Ya Allah,, 

"Oke, tolong cari tahu  wanita  yang bernama Rahma itu dibagian data karyawan bagian produksi sekarang juga!" Kudesak Gun untuk segera mencari tahu.

"Baik bu!" dia mengangguk.

"Bisa kan kamu tanya  ke bagian hrd?"

"Bisa bu"

"Oke aku tunggu sekarang juga." Dia beranjak dari ruangan. Kuhempaskan tubuhku diatas sofa. 

Tak lama kemudian Gun memberikan data  itu melalui email. 

Nur Siti Rahmawati dia berada dideretan karyawan bagian produksi.

Jadi bukan sekertaris? Lalu kenapa Mas Tama memberi nama seketaris di ponselnya. 

Ah, pintar sekali kamu menipuku Mas. Tapi, menyembunyikan bangkai apapun, lama-lama akan tercium baunya. Aku segera menelepon Gun. 

"Apa saja agenda Pak Tama hr ini?"

"Hari ini kebetulan full di kantor pusat bu tidak ada agenda keluar." 

"Oh, oke thanks."

Tiba tiba sosok tinggi tampan itu masuk keruanganku. 

"Assalamu'alaikum, sayang kamu betah banget dalam ruangan. Kenapa tidak mendatangi ruangan Mas?" 

Aku berusaha tersenyum didepannya padahal hatiku mendidih, ingin sekali memotong hidung bangirnya itu. 

"Ah, iya mas aku sampai lupa,saking sibuk merancang  pabrik baru kita."

"Ah sayang, sudah mas bilang jangan cape-cape kamu rekrut sekertaris saja ya."

Dia mendekatiku lalu memegang bahu. Ingin kuhempaskan tangan yang menelusuk ini. Wajahnya sudah menempel dileherku. Namun,  Aku tak bereaksi. Biasanya dia akan memancing hasratku. 

Mencium wangi parfum, tiba-tiba kepalaku pusing dan mual. Aku sedikit meringis karena tak tahan dengan wanginya. 

"Kenapa sayang? Kamu kenapa?" tanyanya terlihat panik. 

Sial, kenapa harus pusing didepannya.

Dia memegang keningku. "badanmu sedikit hangat, kamu pulang ya, biar Mas antar."

"Tidak Mas, mungkin sedikit lelah."

Tiba-tiba ponselnya berdering lama. Biasanya hanya getaran, mungkin Mas Tama lupa merubah mode ponsel. 

"Siapa mas? "

"Biasa, sayang kerjaan." Aku merebut ponselnya. 

Nama Sekertaris Rahma berkedip dilayar ponsel. 

Mas Tama salah tingkah  melihatku yang mangangkat teleponnya. 

"Hallo."

Suara seorang wanita seperti tak asing ditelingaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status