Share

Kejutan Pertama

               

Hati istri mana yang rela jika sang suami membagi cintanya dengan wanita lain? Apalagi pernikahan yang sudah dibangun bertahun-tahun harus hancur seketika, akibat adanya pihak ketiga. Allah, kuatkan hati ini untuk bisa  membuktikan semua prasangka buruk yang sudah menghantui pikiranku.

Mas Tama kini sudah berani membohongiku. Entah mulai kapan dia  menyembunyikan rahasia terbesar ini dariku. 

Lihat saja bingkisanku, Mas! 

Sesuai rencana, aku akan memberikan bingkisan terindah melebihi bingkisan mobil mewah yang diberikan Mas Tama untukku. 

Ups!!! Bukan bingkisan untukku, tapi terlanjur sampai ditanganku. 

Mas Tama sangat terkejut melihat kedatanganku yang tiba-tiba. Tentu saja, ini adalah kejutan pertama untuknya. Aku datang ke kantor, tanpa memberi tahunya terlebih dulu. 

Kulangkahkan kaki seanggun mungkin. Akan kubuktikan padanya, akupun bisa berdandan cantik dan elegan. Tidak hanya melulu diam di rumah mengenakan daster emak-emak yang setiap hari Mas Tama lihat sebagai pemandangan di rumah. 

Dulu, sebelum Mas Tama menikahiku orang-orang menyebutku mirip penyanyi pop terkenal fathin sidqia Lubis, dari penampilan hingga suaraku saat menyanyi. Namun setelah aku menikah dan memutuskan menjadi ibu rumah tangga full di rumah, aku jadi tak sebebas dulu. Karena aku tahu, kewajiban seorang istri adalah menaati suami. 

Satu langkah saja keluar rumah tanpa seizin suami. Maka akan dilaknat oleh Allah. Begitu menurut salah satu hadits yang pernah kudengar. 

Terlihat jelas kegugupan menguasai Mas Tama. Sungguh kasihan suamiku, Ia tak pandai menutupi salah tingkahnya. 

Ponsel milik Mas Tama terus bergetar. Herannya, Mas Tama tak langsung mengangkatnya, padahal ponsel itu  ia genggam sejak tadi. 

"Angkat saja Mas!" 

Mas Tama masih salah tingkah didepanku. Dia mengusap wajahnya yang tak berkeringat. Sudah bisa ditebak. Siapa lagi kalau bukan wanita yang semalam menelepon. Kalau bukan wanita itu, tak mungkin Mas Tama mendiamkan panggilan itu didepanku. 

"Angkat saja Mas! Apa perlu, aku keluar dulu?" tanyaku santai. Aku tersenyum semanis mungkin. 

Mas, Mas, begitu saja kamu sudah kelihatan kikuk. 

"Tidak sayang. Duduk saja! Mas angkat teleponnya dulu ya sayang."

Sayang? Memang Mas Tama  tidak pandai menyembunyikan rahasia. Tidak seperti biasanya dia memanggilku sayang. Mungkin saking gugupnya, dia jadi salah manggil. 

Kutarik kursi depan meja Mas Tama. Duduk, sambil memperhatikan tingkah Mas Tama  yang membuatku semakin risih untuk mendekatinya. 

Sungguh tak kusangka, baru beberapa tahun Mas Tama menggapai kesuksesan, dia sudah bertingkah di belakangku. Dia hampir lupa, akulah yang pertama kali membantunya membangun perusahaan hingga sebesar sekarang. 

Berkat ilmu yang kudapat di bangku kuliah, semua manajemen di Perusahaan bisa dikelola dengan baik. Dari mulai strategi, rencan, prosedur, hingga meluncurkan  produk makanan yang berkualitas serta  menghasilkan keuntungan yang lumayan. Bahkan bisa merekrut orang-orang yang membutuhkan pekerjaan. Sehingga memberi keuntungan juga untuk pekerja serta toko-toko yang kami pasok. Semua telah kurancang sedemikan rupa hingga memiliki anak cabang dibeberapa kota. 

Sungguh Mas Tama lupa akan hal itu. 

"Oke, atur saja  jadwalnya ya! Oke oke Ko, nanti saya hubungi lagi."

Dia mengakhiri  panggilannya secepat kilat, lalu  memasukkan ponselnya  kedalam saku celananya. 

"Siapa Mas?" 

aku pura-pura tak tahu, meski dalam hati tak mungkin itu Koko. Biasanya kalau Koko yang menelepon, selalu berbincang lama, dan tak hanya membahas bisnis. Terkadang mereka saling bertukar pikiran bahkan mmengobrol tentang keluarga. 

"Itu sayang, biasalah koko."

O....!!! 

Mulutku membulat. 

Oke Mas, aku akan mengikuti permainan yang kau mulai. 

"Sayang,  ko tumben  datang ke kantor gak bilang-bilang." Mas Tama beranjak dari kursinya, lalu mendekati dan menarik lenganku. 

"Duduk sini sayang!" 

Dia menddukkanku diatas pangkuannya. Sejujurnya aku sudah tak ingin lagi sedekat ini dengannya. Tapi dia masih suamiku, aku pun menjalankan misi demi membuka kebohongannya selama ini.

Mas Tama mendekatkan wajahnya dengan wajahku. Hidung kami beradu. Bibirnya sudah hampir terpaut dengan bibirku. Namun aku segera berdiri dan berpindah ke sampingnya. 

"Malu Mas, ini di kantor. Nanti saja ya di rumah." Rayuku sambil menyandarkan kepalaku dibahunya. 

"Ah, maaf sayang. Mas lupa." 

Apa dia sering melakukan hal seperti ini dengan si sekertaris itu, di ruangan ini ? Ah, Mas Tama semakin membuat hasratku hilang. Tapi, aku harus tenang, jangan sampai Mas Tama tahu rencanaku. Setidaknya, aku harus bersikap baik padanya sebelum bukti-bukti kecurigaanku terkumpul. 

"Mas, aku bosan dirumah terus, aku pengen menyibukkan diri di  kantor ini Mas, boleh?"

"Apa sayang? Apa Mas tidak salah denger? bukannya kamu memutuskan untuk tetap di rumah?" Mas Tama malah bertanya balik, ada rasa tak suka tersirat diwajahnya. 

Mas Tama  terus  memanggilku dengan panggilan sayang, romantis memang. Tapi sayang, sepertinya dia sudah keceplosan, karena sudah terlanjur keceplosan, jadi terpaksa dia harus memangilku sayang terus.

  

"Tidak mas, Mas tidak salah dengar. aku bosan dirumah terus, lagi pula aku kan belum mulai program lagi Mas, sambil menunggu rejeki momongan. Aku pengen ada kegiatan." Aku menggelayut manja ditangannya. 

"Yaa kalau memang itu keinginanmu, Mas setuju-setuju aja. Asal kamu tidak boleh cape-cape ya sayang!" Dia mencolek ujung hidungku. 

Aku mengangguk menjawabnya. 

Yes, rencana pertama berhasil. Itu artinya aku  leluasa mencari kebenaran di kantor. 

***

Seminggu setelah aku datang dan bergabung  di kantor, Mas Tama  menjadi lebih sering bersamaku. Berangkat dan pulang pun bersama. Aku tidak pernah membawa mobil sendiri. Akupun tak pernah melihat ada wanita masuk atau pun menelepon Mas Tama saat dia bersamaku. 

"Sayang, kamu nggak mau pakai mobil barunya?" Tanyanya saat dalam perjalanan menuju kantor. 

"Sayang Mas, nanti lecet itu kan hadiah paling bagus yang pernah Mas kasih." sindirku, aku melirik kearahnya yang masih fokus menyetir. Sengaja aku berkata seperti itu, sebab Mas Tama tak mungkin memberikan mobil itu kalau saja tidak salah kirim alamat. 

"Pakai dong sekali-kali! Kan bagus." 

Bilang saja Mas kamu nggak mau aku buntuti terus!! 

Tak ada sedikitpun keinginan untuk memakainya. Mobilnya pun masih terbalut pita seperti pertama aku terima. 

"Sayang Mas, kalau pitanya dibuka nanti jadi jelek."

Mas Tama tertawa renyah  mendengar penuturanku. Tak tahu, hatinya berkata apa, karena sungguh itu bingkisan memang bukan untukku.

Arkatama arkatama!!! 

"Mas, gimana kalau aku buka cabang, aku pengen buka pabrik  japanese cake serta perpaduan dengan cake khas sunda. Sepertinya pangsa pasarnya lumayan Mas." Aku mengutarakan ide ku yang sudah muncul dari bebrapa hari ke belakang

"Bagus sayang coba aja!" Dia memandang lalu memegang daguku. 

"Kamu memang pintar sayang, gak salah Mas memilih kamu sebagai istri mas."

Hmmh.. Bisa aja mas kamu gombal. 

Setelah tiga puluh menit perjalanan, kami sampai di kantor. Aku menuju ruanganku dan Mas Tama menuju ruanganya. Kerap sekali dia selalu romantis padaku di depan karyawan. Membuat  para karyawan iri dengan keromantisan kami. 

Heran, sejak awal aku tidak menemukan dimana wanita itu. Wanita dengan nama sekertaris Rahma di ponsel Mas Tama. Seharusnya dia berada dekat Mas Tama kalau memang dia adalah sekertaris. Bahkan, kata sekertaris Gun, tidak ada nama Rahma dalam data pegawai staf kantor. 

Dimana wanita itu? 

AKu mendesah kasar.  Lalu kujatuhkan tas ku diatas sofa. 

Jadwalku hari ini mengunjungi bagian pabrik produksi  roti dan donat, untuk mengecek perkembangan produksi di lapangan. 

Aku segera memakai seragam khusus untuk terjun ke lapangan. 

Kulangkahkan kaki sedikit lebih cepat. Tak lupa  senyum  pada tim  karyawan yang sedang sibuk dengn komputernya masing-masing adalah salah  satu kewajibanku sebagai istri Mas Tama. 

Tiba di ruangan pabrik yang cukup luas, kupanggil Ujang salah satu kepala bagian gudang. 

"Jang, aku mau ke gudang sebentar ya ngecek bahan. Berikan saja kuncinya biar saya sendiri yang mengecek. Kamu bisa lanjutkan pekerjaanmu yang lain." 

Ujang pun memebrikan kunci gudan padaku. 

Saat aku memasukkan kunci, ternyata pintu sudah tak dikunci.alhasil aku melepas kembali kunci itu dari lubangnya. 

Ah ujang mungkin lupa menguncinya. Meski dikatakan gudang tapi ke sterillannya terjamin. Karena pabrik makanan, otomatis kebersihan adalah tombak utama. 

Terdengar remang-remang suara orang berbicara. Ah, bukannya gudang ini hanya Ujang yang menyimpan kuncinya. 

Kudekati sumber suara dari balik rak  tinggi.

"Mas, aku gak bisa terus bersembunyi seperti ini.  Lama-lama Teh Salma akan tahu. Apalagi sekarang aku sedang mengandung anakmu Mas!"

Kuintip siapa yang berada dibalik rak itu.

Astagfirullah Mas Tama. Ternyata Mas Tama bersembunyi disini. Apa  Mungkin setiap pagi dia berkunjung ke bagian pabrik? 

Kuusap dada mengatur nafas. 

Aku mengendap-ngendap agar tidak ketahuan oleh mereka lalu aku beringsut duduk dilantai sambil terua menguping pembicaraan mereka. 

Dengan hati bergemuruh aku mencoba menenangkan diri. Karena memang ini tujuan pertamaku, membuka kedok Mas Tama yang pura-pura mesra padaku. 

Mas Tama!!!

Kugertakan gigi, amarah mulai naik ke ubun ubun. Satu bukti jelas nampak terlihat dengan mata kepalaku sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status