Kasih ulasan dong bun biar aku semangat update!
Cium kening. Sama sekali bukan hal tabu dalam gaya pacaran mereka dalam kurun waktu sembilan tahun ini. Jadi, Selina pasti akan mendapatkannya andai saja Bik Lastri tidak datang dan mengajaknya pulang. “Sial!” gumam Selina, yang hanya didengar oleh Erlan. Erlan tersenyum gemas. “Jangan sering-sering mengumpat, Sayang, nggak baik.” Usai berpisah dengan kekasihnya, Selina mampir ke toserba yang tak jauh dari parkiran untuk membeli sesuatu yang nantinya akan diberikan kepada Angga jika lelaki itu menginterogasinya soal barang-barang apa saja yang dibelinya di pasar. Tapi sesampainya Selina di rumah, Angga belum pulang. Setiap kali ada orangnya yang meninggal, Angga memang selalu melayat dan tak langsung pulang hingga berjam-jam. Dia bahkan kerap kali ikut mengantarkan anak buahnya sampai ke liang lahat. Itu merupakan sikap pemimpin yang diajarkan kakeknya sejak dini dan hingga kini masih Angga terapkan. Termasuk pesan kakeknya yang mengatakan bahwa anak-anak yang orangtuanya tertangk
Gara-gara posisi mereka yang terlalu dekat, detak jantung Selina jadi dua kali lipat lebih kencang dari biasanya. Nyaris meledak. Pipinya juga merona. Akan tetapi, pertanyaan Angga yang menyebut-nyebut nama Erlan membuatnya dilanda kekhawatiran seketika. “Kenapa kamu tiba-tiba tanya soal Erlan?” “Apa nggak boleh?” “Bukan begitu.” Suara Selina bergetar. “Maksudku, bagaimana aku bisa memberinya sesuatu kalau aku sendiri udah janji nggak akan menemuinya lagi?” Angga tersenyum tawar. “Selina, bukankah seharusnya ada hukuman bagi pengingkar janji?” Selina menelan ludah dengan susah payah. “Saat ada yang memberitahuku kalau kamu menemui laki-laki itu lagi, aku sangat marah. Kalau bukan karena seseorang yang memintaku memenangkan hatimu dengan cara yang baik, aku mungkin akan langsung menghabisi pacarmu supaya kalian nggak bisa bertemu lagi.” “Angga, kamu gila!” beri tahu Selina. “Ya, aku tahu.” Sejak Angga menyadari perasaannya kepada Selina adalah antara benci dan cinta, sikapnya pada
Sebelum ibunya berselingkuh, masa remaja Selina tak pernah sepi dari pertengkarannya dengan sang ibu. Wanita yang melahirkannya itu kerap kali menudingnya macam-macam setiap kali Selina melakukan kenakalan, tapi ayahnya tak pernah sekalipun membela. Jangankan mencari cara supaya Selina berhenti diomeli ibunya, melerai pertengkaran yang terjadi di antara anak-istrinya saja tidak.Ayah Selina, meskipun sebetulnya penyayang namun sikapnya kadang-kadang seperti pecundang. Itulah kenapa sejak dulu Selina selalu menjauhkan laki-laki yang mirip dengan ayahnya dari daftar suami idaman.“Apa kamu tersinggung karena aku mengatakan itu, mengaku kita akan menikah?”Selina dengan cepat menggelengkan kepala.Bagaimana dia bisa tersinggung kalau Angga secara mengejutkan menunjukkan perilaku yang bertolak belakang dengan sikap ayah Selina yang pecundang? Angga membelanya, sungguh mengagumkan.“Syukurlah,” ujar lelaki itu.*** Hari ini menjadi hari tersial Dion karena Angga memintanya mengantarkan Li
“Aku bisa melunasi semua utangmu, tapi sebagai gantinya jadilah milikku.” Lelaki bernama Angga Alvian itu, mantan kekasih yang pernah Selina campakkan, tampaknya tahu kapan waktu yang tepat untuk balas dendam. Ya, sekarang! Setelah Selina jatuh miskin dan terlilit utang. Padahal, rasanya baru kemarin hidup Selina begitu cemerlang dan penuh kebahagiaan. Namun kini, dalam sekejap semuanya hilang. Ibunya selingkuh dan pergi entah ke mana, perusahaan milik keluarganya bangkrut, asetnya habis terjual untuk membayar utang judi yang ditinggalkan ayahnya sebelum meninggal. Itupun belum cukup, Selina masih harus mencari pinjaman ke mana-mana, bahkan rela melakukan pekerjaan paruh waktu hanya untuk menyambung hidup. Bagi Selina yang biasa hidup bergelimang harta, tiba-tiba jatuh miskin terasa sangat menyiksa. Belum lagi setiap hari gerak-geriknya diawasi rentenir, sungguh menambah keresahan dan kecemasan. Takut kalau suatu hari nanti dirinya dijual karena tidak bisa melunasi utang. Hingga a
Sambil berjalan pergi meninggalkan kediaman Angga yang bak istana, air mata Selina jatuh. “Hiks, gagal lagi. Ke mana sekarang aku harus pergi?” Kerabatnya, meskipun berpunya tapi tidak ada yang sudi meminjamkan sepeser pun uang untuk Selina. Teman-temannya juga tidak bisa diharapkan, semua mendadak menghilang setelah tahu keluarga Selina runtuh dari kejayaan. Pacarnya apalagi, sangat tidak mungkin dimintai bantuan karena keadaannya sama sulitnya dengan Selina. Tapi satu hal yang selalu Selina syukuri, meski tidak dapat membantu secara finansial, setidaknya kekasihnya masih bisa dijadikan tempat pulang. Akhirnya, Selina memutuskan untuk mampir ke rumah kekasihnya, Erlan. “Sayang …,” panggil Selina dengan nada sendu. “Hei, ada apa?” Erlan baru selesai menggoreng keripik pisang saat Selina datang dan langsung memeluknya dari belakang. Kekasih Selina itu memiliki bahu yang lebar dan pinggang ramping sehingga siapa pun yang memeluknya akan merasa nyaman. “Pertemuanku dengan Angga nggak
“Selina, kenapa kamu di sini?” Erlan baru pulang mengajar saat mendapati Selina duduk di teras rumahnya seorang diri. Di sebelah wanita itu tergeletak koper merah muda berukuran besar dan sebuah ransel berwarna ungu. Selina mendongak menatap Erlan. “Hei, apa yang terjadi?” tanya Erlan begitu menyadari bibir bawah Selina terluka. Dia lantas berlutut dengan sebelah kakinya di hadapan wanita itu untuk memeriksa. “Apa kamu jatuh?” Selina menggeleng. “Rentenir itu datang.” “Dan mereka memukulmu?!” Erlan menebak. Selina mengangguk. Saat itu juga api kemarahan terpancar jelas di mata Erlan, dibarengi dengan kedua tangan lelaki itu yang mengepal kuat-kuat. Menyadari kekasihnya murka, Selina segera menenangkan. “Tapi sekarang semua udah selesai. Angga datang dan melunasi semua utangku,” beri tahunya. “Angga?” “Iya.” Selina membenarkan. “Kamu nggak marah, kan?” “Mana mungkin aku marah,” jawabnya. Erlan memang tidak marah, hanya saja ada sesuatu yang tidak nyaman di dadanya, seperti … s
Tidak terasa satu minggu telah berlalu sejak Selina mulai bekerja di rumah Angga. Tapi hingga detik ini, Selina sama sekali tidak mengindahkan perintah Angga yang memintanya mengundang Erlan. Bukan karena Selina meremehkan Angga. Hanya saja, dia tidak mau Erlan dibawa-bawa dalam urusan mereka karena bisa saja Angga berbuat macam-macam. Apalagi semua orang tahu Angga punya reputasi buruk. Pekerjaannya adalah serendah-rendahnya pekerjaan yang ada di dunia ini, dan menghabisi nyawa orang sudah jadi kebiasaan. Kalaupun harus berurusan dengan lelaki seperti Angga, biar Selina saja, Erlan jangan. “Selina.” Bik Lastri memanggil. Selina yang sedang mengupas sekeranjang bawang bombai bersama dua pembantu lainnya langsung menoleh. “Ya?” “Tolong antar ini ke ruang kerja Tuan Angga,” ujar Bik Lastri sembari mengulurkan nampan berisi dua gelas teh dan beberapa kudapan di piring bermotif bunga berukuran sedang. “Oke.” Selina menerima nampan tersebut dan pergi meninggalkan dapur. Di antara keem
“I-itu … Angga,” jawab Selina merasa bersalah. [“Kalian berduaan di kamar? Di jam segini?”] Selina meraup wajahnya dengan panik. “Ini nggak seperti yang kamu pikirkan, kok. Dia cuma minta tolong dan langsung pergi, udah.” [“Oh ….”] Sungguh di luar dugaan, hanya kata itu yang keluar dari mulut Erlan. Padahal, kalau Selina yang ada di posisi lelaki itu dia akan langsung murka. “Kamu nggak marah?” tanya Selina hati-hati. [“Nggak, aku percaya sama kamu,”] ujar Erlan, kemudian meminta Selina tidur sebelum akhirnya menutup panggilan. Meski bibirnya berkata tidak, di dalam hati sebetulnya Erlan benar-benar kesal. Dia cemburu. Wajahnya mengetat setiap kali membayangkan Selina berduaan dengan lelaki lain di dalam kamar, apalagi lelaki itu adalah Angga, mantan Selina. “Aarrgghh!” Sekuat tenaga Erlan mengarahkan tinjunya ke cermin yang menggantung di dinding kamar hingga buku-buku jarinya terluka. Namun hal itu tidak membuat amarahnya meredam. Erlan butuh sesuatu yang bisa mengalihkan pik