Share

Bab 4 Apa Menahanku Belum Cukup?

Tidak terasa satu minggu telah berlalu sejak Selina mulai bekerja di rumah Angga. Tapi hingga detik ini, Selina sama sekali tidak mengindahkan perintah Angga yang memintanya mengundang Erlan.

Bukan karena Selina meremehkan Angga. Hanya saja, dia tidak mau Erlan dibawa-bawa dalam urusan mereka karena bisa saja Angga berbuat macam-macam. Apalagi semua orang tahu Angga punya reputasi buruk. Pekerjaannya adalah serendah-rendahnya pekerjaan yang ada di dunia ini, dan menghabisi nyawa orang sudah jadi kebiasaan. Kalaupun harus berurusan dengan lelaki seperti Angga, biar Selina saja, Erlan jangan.

“Selina.” Bik Lastri memanggil.

Selina yang sedang mengupas sekeranjang bawang bombai bersama dua pembantu lainnya langsung menoleh. “Ya?”

“Tolong antar ini ke ruang kerja Tuan Angga,” ujar Bik Lastri sembari mengulurkan nampan berisi dua gelas teh dan beberapa kudapan di piring bermotif bunga berukuran sedang.

“Oke.”

Selina menerima nampan tersebut dan pergi meninggalkan dapur. Di antara keempat pembantu yang ada di rumah ini, Selina merasa dirinya yang paling banyak diberi pekerjaan yang berhubungan dengan Angga. Seperti mengantarkan teh untuk lelaki itu, membersihkan kamarnya selepas Angga bangun tidur, memasangkan koyo di punggung, dan masih banyak lagi, yang sebetulnya tugas-tugas itu adalah jatah pembantu lain.

Lagi pula, sejak awal Angga hanya memintanya berbagi tugas dengan Bik Lastri, tapi sekarang semua pembantu di rumah ini berbagi tugas dengannya, sungguh melelahkan.

“Permisi.” Selina masuk ruang kerja Angga dan mendapati lelaki itu sedang berbincang dengan anak buahnya yang tidak Selina kenal. “Bik Lastri memintaku mengantarkan ini untuk kalian.”

“Terima kasih.” Anak buah Angga menjawab.

Sementara Angga hanya diam mengamati Selina meletakkan teh dan piring berisi kudapan di atas meja. Saat wanita itu hendak pergi, barulah Angga bicara. “Selina, kapan pacarmu akan ke sini?”

Selina tidak bisa menahan diri untuk tidak mengernyit. Tatapannya kepada Angga bahkan mulai menajam. “Apa menahanku saja belum cukup?”

“Apa maksudmu?” tanya Angga.

“Kamu udah bikin aku tinggal di sini karena utang. Aku nggak menyalahkanmu karena itu utangku, tapi tolong jangan libatkan dia dalam masalah ini.” Ada kilat amarah di mata Selina, yang belum pernah Angga lihat sebelumnya. “Kalau kamu berani mengusik orangku, aku nggak akan tinggal diam!”

Mendengar hal itu, anak buah Angga langsung mengerutkan dahi tanda tak suka. Tapi di sisi lain, Angga justru terlihat kagum pada sosok Selina yang pemberani. Dari semua wanita yang dia kenal, Selina-lah satu-satunya wanita yang tidak takut padanya. Sungguh menarik, Angga jadi penasaran sejauh mana keberanian wanita itu akan bertahan.

“Di matamu, apa aku seburuk itu sampai nggak boleh berurusan dengan pacarmu?” tanya Angga.

Kontan Selina mengiyakan. “Pacarku terlalu baik untuk berurusan dengan penjahat seperti kamu.”

“Hei! Jaga bicaramu!” Anak buah Angga tiba-tiba menyahut karena tak tahan mendengar penghinaan yang Selina lakukan kepada bosnya.

Dengan tenang, Angga mengulurkan tangan sebagai kode supaya anak buahnya itu diam. “Dia benar, Dion, aku memang penjahat.”

“Tapi, Bos—”

“Udah.” Angga memotong, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Selina yang juga tampak bersungut-sungut karena Dion tiba-tiba menyela. “Kembalilah ke dapur sebelum ada keributan yang lebih parah di sini,” perintah Angga.

Selina langsung pergi tanpa menjawab.

Selepas kepergian wanita itu, Angga menyandarkan punggungnya ke sofa dan menarik napas dalam-dalam sembari memejamkan mata. Berbeda dengan Dion yang sampai saat ini masih kesal, Angga malah sama sekali tidak tersinggung. “Kamu lihat betapa beraninya dia?”

Dion—orang kepercayaan Angga yang selama ini ditugaskan untuk mengikuti Selina—menjawab dengan serius, “Ya, dia terlalu berani sampai saya nggak sabar ingin membunuhnya.”

“Hei, udah kubilang dia harus tetap hidup.”

“Tapi dia lebih pantas mati, Bos.” Berkat kesetiaannya selama lima tahun terakhir, perkataan Dion yang kadang-kadang kurang ajar tidak pernah Angga permasalahkan. “Kenapa Anda nggak langsung ‘memakai’ wanita itu dan membunuhnya? Pengkhianat kalau dibiarkan hidup, lama-lama makin ngelunjak.”

Angga terkekeh, tampaknya anak buahnya ini salah paham tentang Selina. “Dia bukan pengkhianat seperti yang kamu pikirkan.”

“Maksudnya?”

“Apa kamu tahu kalau kami pernah pacaran?” Angga mengambil cangkir teh di hadapannya, pada saat yang sama Dion membelalak karena kaget. “Dia pernah selingkuh, jadi aku menyebutnya pengkhianat.”

“APA?!”

Tanpa menghiraukan keterkejutan Dion, Angga yang tidak terlalu tertarik membicarakan masa lalu segera mengalihkan pembicaraan. “Seperti yang kamu lihat, wanita keras kepala itu nggak akan mengundang pacarnya datang ke sini. Jadi, sebagai gantinya, kamu yang harus membawanya.”

***

Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam, yang artinya jam kerja Selina telah selesai. Sambil melepas ikat rambutnya, Selina berjalan menaiki tangga menuju kamar. Berbeda dengan pembantu lain yang harus berbagi kamar, Selina memiliki kamar sendiri yang bahkan luasnya hampir sama dengan kamar tamu.

Sayangnya, kamar tersebut terletak di lantai tiga sehingga Selina harus menaiki banyak anak tangga yang seringkali membuatnya terengah-engah begitu sampai atas, apalagi tangga di rumah Angga bentuknya melingkar seperti tangga di rumah orang-orang kaya yang sering Selina lihat di televisi—tangga di rumah Selina dulu tidak begini, dan kamarnya selalu ada di lantai dasar.

“Heuhhh … heuhhh ….” Napas Selina memburu.

“Apa naik tangga begitu melelahkan?” Terdengar suara laki-laki dari arah pintu kamar Selina. Selina lantas menoleh dan mendapati Angga berjalan mendekat. “Kalau kuminta turun lagi, apa kamu mau?” lanjut lelaki itu.

Selina berdecak kesal. “Nggak mau, lah!”

“Kalau begitu, kita lakukan saja di kamarmu.”

“Eh?” Selina benar-benar tidak mengerti apa yang Angga bicarakan. Bahkan sebelum dia sempat bertanya, Angga sudah berjalan ke kamarnya dan masuk begitu saja. Mau tak mau Selina mengejarnya. “Hei, apa yang kamu lakukan?”

Sesampainya Selina di ambang pintu, Angga sudah duduk di atas tempat tidur sembari melepas kancing teratas kemeja hitamnya.

“Tutup pintunya,” perintah lelaki itu.

Selina menelan ludah dan agak ketakutan.

“Kamu punya koin, kan?”

“Koin?” Selina nge-bug sebentar, hingga akhirnya, “Oh, kamu mau kerokan?”

“Iya, lah, memangnya apa lagi?” Selesai melepas baju, Angga lekas menelungkupkan badannya di atas tempat tidur Selina. Tak lama kemudian wanita itu menyusul dengan membawa uang koin dan minyak angin.

Selina duduk di sebelah Angga, badannya dicondongkan ke arah lelaki itu agar mudah mengerok punggungnya. Jika dibandingkan dengan Erlan, Angga memiliki badan yang lebih kekar dan warna kulit sedikit lebih gelap. Namun bukan berarti Angga berkulit gelap, hanya saja, Erlan yang terlalu putih. Selina bahkan kalah.

“Selina.” Angga memanggil.

“Apa?” jawab wanita itu ketus.

“Kamu … udah berapa lama pacaran sama Erlan?”

“Sembilan tahun.”

Angga terbelalak. “Selama itu?! Apa yang kamu cari dari laki-laki miskin sepertinya?”

“Jaga mulutmu, bedebah!” Selina menekan kuat-kuat kerokannya ke punggung Angga hingga lelaki itu mengaduh kesakitan. Dia paling benci setiap kali ada yang meremehkan Erlan. “Kalau kamu tanya apa yang kucari, aku sendiri juga nggak tahu. Tapi kalau kamu tanya apa tujuanku, tentu saja untuk menikah.”

Sedetik usai Selina mengatakan itu, ponselnya yang ada di atas nakas tiba-tiba berdering karena panggilan telepon dari Erlan.

“Angkatlah,” kata Angga.

“Nggak usah.” Selina menolak. Daripada berbincang dengan Erlan di dekat Angga, lebih baik Selina menelepon balik lelaki itu setelah Angga pergi dari kamarnya.

Namun ternyata Angga bersikeras. “Angkat, Selina! Kalau kamu nggak mau, biar aku yang angkat.”

“Iya, iya!” Selina langsung menjawab panggilan tersebut dan meminta Angga cepat-cepat pergi dari kamarnya karena sudah selesai. “Halo,” ucap Selina.

[“Hai.”]

Suara berat Erlan selalu membuat Selina senyum-senyum sendiri. Melihat itu, Angga yang sedang memakai baju hanya memandang jijik ke arah Selina.

[“Kamu di mana?”] tanya Erlan dari seberang telepon.

“Di kamar,” jawab Selina.

[“Udah mau ti—”] Erlan langsung berhenti bicara saat mendengar suara laki-laki di sebelah Selina yang berkata:

“Makasih ya, Sel, yang tadi enak banget.”

Sontak, Selina membulatkan mata karena kaget dan refleks melempari Angga dengan bantal. Dia juga memakinya tanpa suara. Kalau tahu akan dijaili begini, Selina tidak akan menuruti perkataan Angga untuk menjawab panggilan telepon dari Erlan.

Sial!

[“Siapa itu?”] tanya Erlan penasaran.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
eksa viera
Angga sengaja nih biar Erlan salah paham.. wkwkwkwk
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status