Share

Bab 6 Erlan Si Pemberani

“B-bagaimana bisa dia ada di sini?” Selina menatap Angga.

“Aku mengundangnya makan malam.”

“Apa?!”

Tanpa memedulikan keterkejutan Selina, Angga langsung turun dari mobil untuk menyapa Erlan. Lelaki itu dengan sok akrab dan sok dekatnya menyalami kekasih Selina sambil tersenyum. Tak tahan melihat pemandangan itu dari dalam mobil, Selina akhirnya keluar. Dia ingin menarik Erlan menjauh dari Angga untuk bicara berdua. Tapi belum sempat dia melakukan itu, Angga tiba-tiba mengajak masuk.

Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam saat Angga mengambil posisi duduk di ujung meja sebagai tuan rumah. Erlan lalu dipersilakan duduk di hadapan Angga, tepat di kursi yang biasa diduduki Selina ketika makan. Sedangkan Selina duduk di tengah-tengah kedua lelaki itu dalam jarak yang cukup jauh.

“Terima kasih sudah mengundang saya makan malam di sini.” Erlan memulai pembicaraan, namun dengan ekspresi datar karena tidak menyukai lawan bicaranya.

Angga tersenyum meremehkan. “Kamu adalah satu-satunya keluarga yang Selina miliki. Sebagai orang yang mempekerjakan Selina, kurasa kita harus bertemu supaya kamu tahu orang seperti apa yang memberi pacarmu tempat tinggal dan menjaganya.”

“Ah ….” Erlan mengangguk.

Di tengah-tengah mereka, Selina hanya menyimak.

“Kalau boleh tahu, apa pekerjaanmu?” tanya Angga, lalu memasukkan sepotong daging ke dalam mulutnya.

“Saya guru SD,” jawab Erlan.

“Oh …,” Angga menelan makanannya, “PNS?”

“Bukan, honorer.”

“Wah, pasti nggak mudah, apalagi gajinya kecil, kan?”

Bukan Erlan, justru Selina yang tersulut emosi mendengar komentar Angga. Tapi dia tidak mengatakan apa-apa karena Erlan segera menjawab, “Namanya juga pahlawan tanpa tanda jasa. Kamu sendiri bekerja sebagai apa?”

“Emm,” Angga berpikir sejenak, “agak sulit mencari nama yang cocok untuk pekerjaanku, tapi kayaknya … bos begal.”

“Wah, itu terdengar keji,” balas Erlan.

Angga tidak menjawab.

Hanya menggertakkan gigi karena tidak menyangka ternyata pacar Selina cukup pemberani. Sebelumnya, Angga mengira nyali Erlan akan menciut bila berhadapan dengannya yang notabene adalah pemimpin begal dengan reputasi buruk. Tapi bukannya takut, lelaki itu malah menghinanya? Sialan!

“Sebagai bos, apa kamu juga membunuh?” tanya Erlan lagi.

“Ya, kadang-kadang,” jawab Angga dengan bangga. “Apalagi kalau ada tamu yang kurang ajar, biasanya pulang-pulang tinggal nama.”

“Oh, kamu juga mau membunuhku?”

“Erlan, jaga bicaramu!” Selina menegur. Dia tidak mau hanya karena salah bicara, nyawa Erlan benar-benar melayang di kandang “macan” ini.

Namun sayang, Erlan sama sekali tidak menggubris ucapan Selina. Dia bahkan tidak melirik sedikit pun ke arah kekasihnya itu, malah sibuk beradu pandang dengan Angga yang sorot matanya sama-sama tajam dan penuh kebencian.

“Pastinya.” Angga mengambil segelas air putih di hadapannya, lalu minum sebanyak dua tegukan. “Tapi bukan sekarang ataupun dalam waktu dekat ini. Kasihan Selina, dia belum siap ditinggal mati.”

“Angga, hentikan!” Selina tidak tahan lagi. Dia memelototi Angga dengan marah, lalu beralih menatap Erlan dengan ekspresi yang sama. “Kita harus bicara,” ucapnya pada sang kekasih.

Erlan hanya diam.

Angga pun sama. Diam. Memperhatikan Selina berdiri dari kursinya dan menghampiri Erlan dengan wajah bersungut-sungut. Erlan terlihat pasrah saat wanita itu menariknya meninggalkan ruang makan.

Awalnya Selina tidak tahu mau membawa Erlan pergi ke mana, tapi kemudian pilihannya jatuh ke teras belakang yang sepi dan tidak ada orang. “Kamu, kok, bisa-bisanya, sih, memenuhi undangan Angga dan datang ke sini?! Aku, kan, udah pernah bilang kalau dia bukan orang baik, kenapa nggak diabaikan saja?!”

Erlan memegang kedua bahu Selina, meremasnya pelan untuk menenangkan sang kekasih dari rasa cemas. “Aku kangen kamu. Apa nggak boleh, aku memanfaatkan kesempatan ini untuk ketemu pacarku?”

“Tapi kamu nggak perlu memancing kemarahan Angga kalau cuma mau ketemu aku!” Selina merasa kedua lututnya lemas. “Pakai tanya tentang pembunuhan segala, lagi! Kalau kamu tiba-tiba dibunuh gimana?!”

“Itu takdir,” balas Erlan sambil tersenyum.

Hal itu kontan membuat Selina makin kesal hingga tanpa sadar kepalan tangannya memukul dada Erlan. Lelaki itu mengaduh kesakitan, tapi Selina pura-pura tidak peduli.

“Sayang, lihat aku ….” Erlan mengenggam kedua tangan Selina dengan penuh kelembutan. Selina mendongak, menatap wajah kekasihnya dengan mata yang entah sejak kapan sudah berkaca-kaca. “Pertama, aku datang ke sini karena aku merindukanmu. Tolong jangan hakimi aku karena hal itu, aku benar-benar nggak bisa menahannya. Kedua, aku ingin mengenal Angga karena sekarang orang terkasihku tinggal di rumahnya. Aku harus tahu dia laki-laki seperti apa. Apakah dia akan menjagamu atau justru menyengsarakanmu, aku harus tahu.”

Air mata Selina benar-benar jatuh. “Kalau cuma itu, seharusnya kamu nggak perlu menantang Angga untuk membunuhmu.”

“Maaf kalau itu membuatmu khawatir,” ucap Erlan sungguh-sungguh.

Dia tahu dalam hal kekuatan, dirinya kalah telak dari Angga. Itulah sebabnya alih-alih menyerangnya secara fisik, dia lebih memilih mencederai lelaki itu secara mental supaya Angga tidak menganggapnya remeh; supaya lelaki itu berpikir dua kali seandainya mau berbuat macam-macam kepada Selina.

Dan menurut Erlan, mengungkapkan hal itu secara gamblang di depan Selina bukan pilihan yang tepat karena sejatinya kebanyakan wanita hanya butuh permintaan maaf dari laki-laki, bukan alasan.

Selina mengangguk dan langsung memeluk Erlan. “Jangan seperti itu lagi, aku nggak suka kamu dalam bahaya.”

“Baiklah.” Erlan merasakan kemeja cokelat mudanya basah oleh air mata Selina. Dia lalu mengelus punggung wanita itu dengan lembut. “Omong-omong, malam ini kamu cantik sekali.”

Selina mendongak. “Jadi, kemarin-kemarin aku nggak cantik?”

“Bukan begitu,” sahut Erlan sambil tersenyum, tangan kanannya menghapus air mata Selina di pipi. “Setiap hari kamu cantik, tapi malam ini kecantikanmu berlipat ganda. Mungkinkah karena gaun hitam ini? Aku belum pernah melihatmu memakainya.”

Selina menunduk, menatap gaun hitam yang melekat indah di tubuh rampingnya.

“Tadi aku sempat kesal karena bajumu dan Angga terlihat serasi, sama-sama hitam. Kalian juga keluar dari mobil yang sama dan—” Erlan terpaksa berhenti bicara karena bibirnya dikecup mesra oleh Selina. Sontak, hal itu membuat wajahnya merona dan jantungnya berdebar gila-gilaan.

“Jangan cemburu hanya karena hal-hal kecil,” bisik Selina di depan wajah sang kekasih, “ini cuma baju, nggak ada artinya.”

Erlan mengangguk.

***

Selina sedang membantu Bik Lastri membereskan meja makan saat Angga dan Erlan berbincang di ruang tamu. Mereka duduk berseberangan, ditemani dua gelas teh bunga osmanthus dan beberapa kue basah di atas piring.

“Saya tahu tujuanmu mengundang saya ke sini bukan hanya untuk makan malam. Pasti ada sesuatu. Katakan!”

Angga menatap Erlan selama dua detik penuh, lalu bibirnya melengkung, menampakkan senyum meremehkan yang tidak dapat dipungkiri membuat Erlan merasa kesal.

“Ternyata kamu nggak sebodoh dugaanku,” ujarnya.

Erlan tidak menanggapi.

Baiklah, Angga akan langsung ke intinya. Tanpa basa-basi, sebuah amplop ungu berisi segepok uang dikeluarkan dari saku jasnya dan diletakkan di atas meja. “Kamu butuh uang untuk membiayai adikmu sekolah, kan? Ambil uang ini dan tinggalkan Selina.”

Amsol

Kasih ulasan dong bun biar aku semangat update!

| Like
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
eksa viera
weww.. Angga to the point banget, minta pacar orang kayak ga ada dosa gitu. gimana coba Selina mau respect lagi ma Angga klo mainnya ga cantik gitu
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status