Share

Bab 3 Sadarlah Selina, Kamu Itu Jaminan!

“Selina, kenapa kamu di sini?” Erlan baru pulang mengajar saat mendapati Selina duduk di teras rumahnya seorang diri. Di sebelah wanita itu tergeletak koper merah muda berukuran besar dan sebuah ransel berwarna ungu.

Selina mendongak menatap Erlan.

“Hei, apa yang terjadi?” tanya Erlan begitu menyadari bibir bawah Selina terluka. Dia lantas berlutut dengan sebelah kakinya di hadapan wanita itu untuk memeriksa. “Apa kamu jatuh?”

Selina menggeleng. “Rentenir itu datang.”

“Dan mereka memukulmu?!” Erlan menebak.

Selina mengangguk.

Saat itu juga api kemarahan terpancar jelas di mata Erlan, dibarengi dengan kedua tangan lelaki itu yang mengepal kuat-kuat. Menyadari kekasihnya murka, Selina segera menenangkan. “Tapi sekarang semua udah selesai. Angga datang dan melunasi semua utangku,” beri tahunya.

“Angga?”

“Iya.” Selina membenarkan. “Kamu nggak marah, kan?”

“Mana mungkin aku marah,” jawabnya.

Erlan memang tidak marah, hanya saja ada sesuatu yang tidak nyaman di dadanya, seperti … sesak? Dia bersyukur ada Angga yang menyelamatkan Selina, tapi di sisi lain dia cemburu. Kenapa harus Angga dan bukan dia? Padahal dialah kekasih Selina, dia yang pantas melindungi Selina, bukan Angga yang notabene adalah mantan wanita itu. Tapi mau bagaimana lagi, semua sudah terjadi. “Sampaikan terima kasihku ke Angga.”

“Tentu,” jawab Selina.

“Jadi, bagaimana dengan syarat laki-laki itu? Kamu menerimanya?”

“Ya, aku nggak punya pilihan.” Selina menjawab dengan berat hati, tapi ekspresinya dipalsukan menjadi sedikit lebih ceria supaya kekasihnya tidak khawatir. “Tapi kali ini beda, lebih mudah dari yang kemarin. Aku cuma harus kerja di rumah Angga sampai semua uangnya kukembalikan. Yaaa, meskipun itu nggak nyaman, tapi seenggaknya dia ngebolehin aku buat bayar pelan-pelan.”

Erlan malu mendengarnya. Sebagai pacar sekaligus satu-satunya lelaki yang dimiliki Selina, seharusnya dia bisa diandalkan saat wanita itu dalam kesulitan. Namun keterbatasannya membuat Erlan tidak bisa berbuat apa-apa. Gajinya sebagai guru honorer di sebuah sekolah dasar tidak cukup untuk membantu membayar utang Selina meskipun sudah digabung dengan uang hasil jualan keripik. Apalagi, dia juga harus menanggung biaya sekolah adiknya yang masih SMK.

“Maaf.” Jemari Erlan terulur menyentuh tangan Selina. “Maaf karena aku miskin. Maaf karena sekarang aku nggak bisa bantu apa-apa. Tapi ke depannya, aku janji akan membantu semampuku.”

Sungguh, Selina tidak suka setiap kali Erlan merendahkan dirinya sendiri seperti ini. Sambil tersenyum, dia segera mengalihkan pembicaraan dengan senatural mungkin. “Daripada membantuku, bukankah lebih baik kamu menabung untuk biaya pernikahan kita?”

Erlan menganga. “Kamu mau menikah denganku?!”

“Ya, mau, lah! Kamu pikir selama ini aku pacaran denganmu untuk main-main?!” Selina merengut.

“Tapi aku miskin.”

“Aku juga,” balas Selina.

“Dan rumahku jelek,” lanjut Erlan.

Selina mendengkus kesal. “Aku suka rumah jelek ini dan aku akan menikahi pemiliknya. Jadi, tolong jangan halangi aku karena tekadku udah bulat!”

Perkataan Selina benar-benar membuat Erlan senang, terbukti dari senyuman manis yang terukir di wajah tampan lelaki itu. “Apa kamu mau melihat-lihat rumah jelekku?”

“Tentu,” jawab Selina.

Erlan pun bergegas membuka pintu rumahnya dan menuntun Selina masuk.

Di tempat lain, di sebuah pertemuan yang diadakan di kediaman camat, Angga tiba-tiba naik pitam saat menerima laporan dari anak buahnya yang diam-diam mengikuti Selina. Melalui aplikasi pesan, lelaki itu mengirimkan beberapa foto yang memperlihatkan kemesraan Selina bersama sang kekasih. Ketika Erlan berlutut di hadapan Selina seraya memegang tangannya, ketika Selina menatap Erlan dengan penuh cinta, dan saat Erlan menuntun Selina masuk rumah sambil membawakan koper dan ransel milik wanita itu. Sungguh, semua terlihat menjengkelkan di mata Angga.

“Oh, jadi ini yang namanya ambil barang?” gumamnya, tak sabar ingin berjumpa dengan Selina untuk memberi wanita itu pelajaran karena diam-diam menemui lelaki lain.

“Anda bilang apa?” tanya Pak Camat yang duduk tepat di sebelah Angga.

“Bukan apa-apa.”

Meskipun pekerjaan yang Angga geluti adalah kejahatan dan terbilang keji, orang-orang tetap menghormatinya, termasuk pejabat tingkat kecamatan sekalipun. Sejak mendiang kakek Angga—pemimpin begal generasi pertama—memulai bisnis gelap tersebut, tak ada seorang pun yang berani mengusiknya karena nyawa yang jadi taruhan. Hasilnya, kini lebih dari setengah penduduk daerah ini menggeluti pekerjaan yang sama di bawah kepemimpinan Angga. Kebanyakan dari mereka adalah anak muda yang putus sekolah dan kepala keluarga pengangguran.

Sebagai pemimpin, Angga hanya bertugas membekali orang-orangnya dengan pelatihan bela diri dan senjata tajam, serta mewanti-wanti mereka untuk tidak beroperasi di daerah sendiri supaya sanak saudaranya tak jadi korban.

“Omong-omong,” Pak Camat bicara lagi, namun kali ini terdengar lirih dan diucapkan dengan malu-malu, “saya punya anak gadis, loh, cantik, baru wisuda kemarin. Gimana kalau nanti malam kalian makan bersama?”

Angga berhasil menahan kernyitannya. Persis inilah yang dia dapatkan setiap kali ada perkumpulan dengan pria tua yang mempunyai anak gadis. Benar-benar memuakkan. “Maaf, saya sudah ada janji.”

“Oh, kalau gitu kapan-kapan saja, kalau Anda senggang,” kata Pak Camat.

Angga hanya tersenyum hambar. Kalaupun senggang, dia tetap tak sudi makan dengan wanita yang tidak dia kenal, apalagi sekarang sudah ada Selina di sisinya. Daripada makan dengan wanita lain, lebih baik Angga makan dengan Selina dan mencoba mendisiplinkan wanita itu supaya berhenti menemui laki-laki secara diam-diam.

Saat makan malam tiba, Angga akhirnya buka suara, “Kudengar tadi kamu menemui laki-laki, apa itu benar?”

Selina menaikkan sebelah alisnya. Lagi-lagi, dia duduk di seberang Angga yang jaraknya kurang lebih dua meter. “Ya, pemilik kontrakanku laki-laki. Aku menemuinya untuk berpamitan.”

“Hanya itu?”

“Memangnya kamu berharap aku menemui siapa lagi?”

“Bukankah kamu juga menemui penjual keripik itu?” Angga tersenyum miring seraya menyandarkan punggungnya ke kursi.

Mendengar itu, Selina spontan meletakkan sendok dan garpunya di atas piring hingga bunyi “ting” menggema di ruangan tersebut. Dia belum selesai makan, tapi pertanyaan Angga membuat nafsunya hilang seketika. “Apa kamu mengawasiku?” tanyanya tak suka.

Bukan menjawab, Angga justru kembali bertanya, “Apa dia pacarmu?”

“Kamu kelewatan!” Selina mulai geram.

Namun Angga tetap terlihat tenang dan sama sekali tidak meninggikan suaranya seperti yang dilakukan Selina. “Kudengar namanya Erlan.”

“Angga, hentikan!” Selina berdiri dan menggebrak meja dengan kedua tangannya. “Hanya karena aku bekerja di rumahmu bukan berarti kamu berhak mencampuri urusan pribadiku! Berhenti mengawasiku dan urus hidupmu sendiri!”

Angga melipat kedua tangannya di depan perut. “Jangan lupa kalau kamu adalah jaminan dari utangmu padaku, Selina. Selama utang itu masih ada, kamu adalah milikku, dan aku bukan tipe orang yang akan membiarkan apa yang sudah jadi milikku disentuh orang lain. Kamu mengerti?”

“Dasar gila!”

Angga menyeringai. “Terserah kamu mau menyebutku bagaimana. Tapi sejak awal seharusnya kamu tahu kamu sedang berurusan dengan siapa. Aku memang bisa menahan diri, tapi bukan berarti aku orang yang penuh kesabaran. Lebih daripada itu, aku bukan orang baik. Kalau kamu terus bersikap seenaknya, aku bisa melakukan apa pun yang kuinginkan tanpa peduli itu menyakitimu. Jadi, selagi aku sopan, jagalah sikapmu.”

Selina terdiam.

Pada akhirnya, Angga tidak ada bedanya dengan lintah darat yang mengatur hidup Selina. Seandainya dari awal dia mempertimbangkan reputasi buruk Angga dan tidak mendatangi lelaki itu untuk meminta bantuan, mungkin ini tidak akan terjadi. Angga tidak akan mencampuri hidupnya dan takkan memaksa Selina menjadi miliknya.

“Ah, pacarmu …,” lanjut Angga, berdiri dari tempat duduknya karena sudah selesai makan, “kapan-kapan ajaklah dia datang ke sini, aku ingin bertemu.”

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status