Share

Bab 2 Serumah dengan Mantan

Sambil berjalan pergi meninggalkan kediaman Angga yang bak istana, air mata Selina jatuh. “Hiks, gagal lagi. Ke mana sekarang aku harus pergi?”

Kerabatnya, meskipun berpunya tapi tidak ada yang sudi meminjamkan sepeser pun uang untuk Selina. Teman-temannya juga tidak bisa diharapkan, semua mendadak menghilang setelah tahu keluarga Selina runtuh dari kejayaan. Pacarnya apalagi, sangat tidak mungkin dimintai bantuan karena keadaannya sama sulitnya dengan Selina. Tapi satu hal yang selalu Selina syukuri, meski tidak dapat membantu secara finansial, setidaknya kekasihnya masih bisa dijadikan tempat pulang.

Akhirnya, Selina memutuskan untuk mampir ke rumah kekasihnya, Erlan.

“Sayang …,” panggil Selina dengan nada sendu.

“Hei, ada apa?” Erlan baru selesai menggoreng keripik pisang saat Selina datang dan langsung memeluknya dari belakang. Kekasih Selina itu memiliki bahu yang lebar dan pinggang ramping sehingga siapa pun yang memeluknya akan merasa nyaman.

“Pertemuanku dengan Angga nggak berjalan baik,” jawab Selina. “Aku marah karena dia cuma mau membantuku kalau aku mau menuruti syarat anehnya.”

Erlan tersenyum. “Duduklah, akan kubuatkan teh.”

“Aku maunya susu.”

“Baiklah.” Erlan tersenyum, kemudian bergegas membuatkan segelas susu putih untuk pacarnya. “Minumlah.”

“Makasih.”

Selina sudah duduk di sofa hijau yang tampak usang. Di depannya terdapat sebuah meja kayu berwarna hitam yang keempat sudutnya mulai lapuk, meski begitu masih cukup kokoh untuk ditumpangi segelas susu buatan Erlan dan setoples keripik pisang.

Erlan duduk di sebelah Selina, tangannya menyentuh tangan wanita itu dengan lembut seraya berkata, “Selina, apa pun keputusanmu aku akan mendukungnya.”

“Apa maksudmu?” Selina tidak mengerti.

“Tentang syarat Angga.” Lelaki itu menatap Selina dalam-dalam. “Kalau itu nggak terlalu menyulitkanmu, terimalah, jangan hiraukan perasaanku. Meskipun mungkin kamu harus berurusan dengan dia dalam waktu yang lama, aku akan baik-baik saja.”

Hati Selina perih mendengarnya. Tujuannya menemui Erlan adalah supaya hatinya yang kacau usai menemui Angga jadi kembali tenang, tapi lelaki itu malah mendorongnya untuk terus berurusan dengan Angga tanpa tahu apa-apa.

Dengan kesal Selina berkata, “Kamu nggak tahu se-nggak masuk akal apa bantuan yang dia tawarkan! Udahlah, aku nggak mau bahas soal ini, aku mau pulang!”

Selepas kepergian Selina, Erlan terpuruk di dapur rumahnya. Dia menangis. Mengingat cerita Selina tempo hari tentang siapa Angga dan bagaimana dulu lelaki itu mencintainya, Erlan jadi berpikir mungkin saja Angga masih mengharapkan Selina. Dan jika benar, Erlan tidak bisa berbuat apa-apa karena bila disandingkan dengan Selina, dia sama sekali tidak pantas. Dia tidak punya apa-apa selain cinta, sedangkan Angga punya segalanya, termasuk uang yang bisa membebaskan Selina dari lilitan utang yang kian membengkak.

Lelaki miskin sepertinya mana mungkin bersikap egois. Daripada menahan Selina dalam kemiskinan, lebih baik melepasnya.

***

Satu hal yang Selina sesali setelah akhirnya jatuh miskin adalah tidak mengejar pendidikan setinggi mungkin selagi ada kesempatan. Hidupnya selama ini terlalu santai karena berpikir kekayaan yang dimiliki ayahnya takkan habis.

Tapi sekarang, saat akhirnya jadi orang tak punya, Selina menyadari dirinya benar-benar tertinggal. Minimnya pengalaman dan ijazah yang rendah tidak bisa membawanya bekerja di tempat dengan gaji tinggi. Satu-satunya tempat yang mau menerima Selina bekerja hanyalah kios pulsa yang tutupnya hingga larut malam.

“Heuhh … capeknya.” Selina meregangkan tubuh saat akhirnya jam kerja selesai.

Biasanya, setengah jam sebelum kios tutup Erlan sudah datang menjemput, tapi setelah perselisihan waktu itu Selina bersikeras ingin pulang sendiri. Walau harus melewati jalanan sepi, setidaknya Selina tidak perlu mendengarkan bujukan Erlan untuk mempertimbangkan tawaran bantuan dari Angga.

“Di sini kau rupanya!”

Langkah Selina tiba-tiba terhenti saat dua orang pria berwajah garang menghadangnya. “S-siapa kalian?”

Bukannya menjawab, kedua pria itu langsung membekap mulut Selina dan membungkus kepala wanita itu dengan sebuah karung. Selanjutnya, Selina tidak tahu apa yang terjadi karena salah satu dari mereka memukulinya hingga pingsan karena melawan.

Saat membuka mata, Selina sudah berada di sebuah kamar yang luas dan tampak seorang lelaki berbadan tinggi tegap tengah menatap ke arahnya dari ambang pintu.

“Udah bangun?” Lelaki itu berjalan mendekat.

Selina mengerjapkan mata. “Angga? Sialan! Apa maumu sampai harus melakukan ini?!”

“Melakukan apa?”

“Menculikku!” tegas Selina. Dia buru-buru bangun dan menyandarkan punggungnya di kepala ranjang.

“Bukan aku, itu rentenir,” jawab Angga, lelaki itu duduk di pinggir kasur tepat di sebelah Selina. Mereka saling menatap. “Kudengar kamu udah tiga bulan nggak bayar utang, jadi mereka nggak punya pilihan lain selain membawamu.”

Selina terdiam.

Itu benar, sudah tiga bulan dia menunggak karena tidak punya uang.

“Apa kamu tahu risiko berutang pada lintah darat seperti mereka? Mereka itu kejam, kalau nggak mampu bayar kamu bisa dijual.” Angga memperingatkan dengan nada bicara yang tegas. Selina menggigit bibir bawahnya, agak perih karena ada yang luka. “Sekarang utangmu udah lunas. Ke depannya, jangan sampai berurusan lagi dengan mereka.”

“Kamu membayarnya?!” Bibir Selina terbuka, wujud dari keterkejutannya.

“Iya,” jawab Angga.

“Kenapa?!”

“Bukankah seharusnya kamu berterima kasih?” Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya.

“Tapi, kan, aku udah bilang kalau aku nggak mau jadi milikmu! Aku juga nggak bisa mengembalikan uangmu dalam waktu dekat!”

Angga tersenyum, masih punya segudang kesabaran untuk menghadapi Selina yang pemarah. “Kamu bisa bayar pelan-pelan. Sebagai jaminan, tinggallah di rumahku.”

“Apa? Bagaimana dengan pekerjaanku?” Kios pulsa tempat Selina bekerja jaraknya cukup jauh dari rumah Angga. Kalau harus pulang-pergi setiap hari bisa-bisa gajinya yang tak seberapa habis hanya untuk biaya transportasi.

“Berhentilah.” Angga menyarankan. “Aku akan memberimu pekerjaan.”

“Benarkah?”

“Ya.”

“Berapa kamu akan membayarku?” tanya Selina.

“Itu tergantung bagaimana sikapmu padaku.”

Selina memicing curiga. “Kamu nggak berencana memberiku pekerjaan yang aneh-aneh, kan?”

Angga menyeringai sebelum akhirnya berdiri dari tempat tidur Selina. “Kita akan tahu besok, sekarang tidurlah.”

***

Selina bangun pagi-pagi sekali dan langsung membersihkan diri. Semalam, pembantu Angga memberikan setumpuk pakaian yang salah satunya kini Selina kenakan. Gaun floral panjang yang didominasi warna sand dengan sedikit renda di lengannya, entah bagaimana bisa sangat pas di tubuh Selina.

“Untuk ukuran laki-laki brengsek, selera fesyenmu sopan juga ya ternyata,” komentarnya sambil bercermin.

Karena belum terdengar aktivitas apa pun di rumah ini, Selina yang belum tahu apa pekerjaannya hanya berdiam diri di dalam kamar sampai tiba waktunya sarapan. Pembantu Angga yang kemarin mengantarkan pakaian ke kamar Selina memanggilnya untuk bergabung ke meja makan. Di ujung meja, Angga sudah menunggu.

“Cuma kita berdua?” tanya Selina.

“Iya.”

Selina langsung duduk di depan piringnya yang sudah disiapkan di ujung meja, berhadapan dengan Angga dalam jarak yang cukup jauh karena meja makan berbentuk persegi panjang itu lumayan besar. Meja tersebut dan dua kursi yang menjadi pasangannya dicat serbaputih. “Jadi, apa yang bisa kukerjakan untukmu?”

“Pertama,” Angga menatap Selina lekat-lekat, “temani aku makan setiap hari.”

Selina tertawa. “Apa kamu kesepian sampai minta ditemani makan?”

“Begitulah.” Angga mengakui.

“Ck! Kasihan.”

Mendengar komentar tersebut, pembantu Angga yang sedang menuangkan minum untuk Selina langsung mengerutkan dahi. Berani-beraninya wanita itu mengasihani Angga, padahal yang pantas dikasihani adalah dirinya sendiri karena tempo hari sudah memecahkan guci Angga dan sekarang malah punya segunung utang kepada lelaki itu.

Untungnya, Angga tidak mempermasalahkan komentar tersebut. Daripada menanggapi, dia memilih lanjut menjelaskan pekerjaan apa yang akan Selina lakukan. “Kedua, kamu bisa berbagi pekerjaan rumah dengan Bik Lastri.”

“Bik Lastri?” Selina mengerutkan dahi.

“Saya, Non.” Pembantu Angga menyahut.

“Oh, tapi aku mulai kerjanya besok aja, ya? Hari ini mau ambil barang-barang di kontrakan.”

“Kamu perlu sopir?” Angga menawarkan.

Namun Selina menolaknya. “Ada seseorang yang mau kutemui setelah ambil barang. Jadi, kayaknya mending naik ojek daripada ngerepotin sopirmu.”

“Seseorang? Siapa?” Angga menaikkan sebelah alisnya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
eksa viera
ckck.. Selina keras kepala juga ya, untung ada orang suruhan Angga yg selamatkan dia klo ngga pasti lah udh dijual ma om² buncit berkepala botak
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status