Semalaman Aris tidak pulang ke rumah demi menunggu Weni di depan apartemennya. Tidak masalah harus menunggu lama demi bisa bertemu mantan istrinya.Drrt drrtPonsel berdering panggilan dari salah satu perawat yang merawat Meli. Dengan tangan gemetar, Aris berharap mendapat kabar baik dari perawat. Aris takut jika harus mendapatkan kabar buruk setelah kehilangan Marisa dan juga Weni."Halo, Sus!" Keringat dingin karena kekhawatiran yang cukup besar kini berangsur hilang. Meli sadar dari masa kritisnya selama satu bulan. Aris gegas ke rumah sakit untuk menemui Ibunya.Sesampai di sana, terlihat Meli sudah bisa diajak bicara oleh suster meski tenaganya masih lemah. Aris melihat pemandangan yang sangat membahagiakan. Setidaknya bisa mengobati rasa gundah di hatinya saat ini."Mama," Aris memeluk Meli saat itu juga."Anakku!" Keduanya benar-benar larut dalam kebahagiaan. Aris belum berani mengatakan jika Marisa sudah meninggal dunia dalam keadaan tragis. Aris takut jika nanti Meli akan te
"Bu, sarapannya udah siap, belum?" Weni turun dari lantai dua untuk memeriksa semua pekerjaan ibunya, seperti memandikan Keynan, anak lelaki Weni berusia tiga tahun. Pekerjaan Bu Faridah di rumah anaknya sendiri seperti pembantu dan pemgasuh.Pagi-pagi buta, Bu Faridah sudah berkutat dengan pekerjaan rumah dua lantai ini. Meski sudah berusia lanjut namun pekerjaan berat masih tetap menunggunya. Weni adalah anak kandung Bu Faridah"Belum Wen. Ibu tidak sempat karena Keynan rewel terus. Wen, lihatlah Keynan. Dari tadi Keynan rewel terus, sepertinya lagi kurang enak badan. Apa tidak sebaiknya kamu bawa periksa ke rumah sakit? Ibu khawatir, Wen," Bu Faridah sangat khawatir ketika melihat Rendy sedari tadi muntah dan demam."Bu, maaf ya. Hari ini aku ada meeting dan tidak bisa ditinggal, Bu. Ibu saja deh yang bawa Keynan ke puskesmas terdekat. Lagian juga Keynan sebentar lagi juga sehat."Weni sepertinya tidak menghiraukan keadaan anak lelakinya yang berusia tiga tahun, bahkan menggendongp
Panggilan kedua tak ada sahutan dari Weni. Terpaksa Faridah mengambil kembali secarik kertas berisi nomor telepon Fatma memanggilnya untuk meminta bantuan. Tak ada lagi yang bisa dimintai bantuan kecuali Fatma."Fat, ini ibu. Ibu boleh minta bantuan padamu?""Ibu kenapa, kok sepertinya ibu sedang kesulitan," Fatma berhasil menebak kondisi Faridah saat ini."Tolong jualkan gelang emas yang ibu titipkan padamu. Keynan sakit dan harus dirawat sedangkan Kakakmu dari tadi tak bisa dihubungi!""Ba, baik, Bu." Tanpa banyak alasan, Fatma segera menjual gelang emas milik ibunya yang dititipkan kepadanya sebelum berangkat ke kota bersama Weni. Hari semakin sore dan Weni tak kunjung datang ke puskesmas. Bahkan seharian perut Faridah belum terisi makanan apapun. Tak berapa lama Fatma datang bersama suaminya membesuk Keynan. Tak lupa Fatma membawa hasil penjualan gelang dan akan menyerahkannya kepada Ibunya. Faridah cukup lega melihat kedatangan Fatma."Assalamu alaikum, Bu!" Fatma dan Ridho menc
Tuduhan atas warisan membuat Fatma sakit hati. Tak ada niatan sedikitpun datang menemani ibunya demi warisan seperti yang dituduhkan. Hanya kesehatan Faridah yang selalu ada di setiap doanya, selain itu Fatma tak menginginkannya."Nggak usah sok baik deh, Fat. Kamu sengaja kan demi warisan ibu!""Hentikan ucapanmu, Weni! Kamu sudah sangat keterlaluan!" Faridah akhirnya angkat bicara karena ucapan Weni."Ibu selalu bela dia," Weni melipat tangannya di dada tanpa melihat Keynan sama sekali. Perlahan kedua mata Keynan mengerjab, bibirnya tersenyum ketika melihat ibunya sudah berada di depannya."Mama," Weni hanya melihatnya saja tanpa menghampiri atau memberikan pelukan untuk Keynan."Mama," Keynan berharap Weni menghampirinya. Keynan sangat merindukan ibunya sendiri."Kamu juga, anak bisanya nyusahin aja! Pakai sakit lagi!" "Astagfirullah!" Gumam Fatma dan Faridah bersamaan.Harapan mendapat pelukan dari ibunya hancur sudah ketika ucapan menyakitkan keluar dari mulut ibunya. Keynan han
Sampai menjelang siang, Faridah baru selesai menyiapkan makanan yang diminta Weni. Rendang daging, sop daging dan perkedel Faridah siapkan sendirian. Tak ada niatan bagi Weni untuk membantu ibunya yang berkutata seorang diri di dapur."Alhamdulillah selesai," gumam Faridah sambil mengusap peluh usai memasak. Gegas Faridah mandi sebelum melakukan kewajiban shalat dhuhur. Bibir tersenyum ketika melihat Keynan tengah tidur siang setelah makan. Di setiap sujudnya, Faridah tak hentinya mendoakan kebaikan untuk keluarga anak-anaknya.PrankFaridah dikejutkan dengan suara pecahan gelas yang berasa dari dapur. Faridah gegas keluar dari kamar dan melihat yang terjadi. Di sana telah berdiri mertua Weni bernama Meli yang tak lain adalah besannya sendiri. "Lihatlah, Bu Besan! Gelas ini sangat licin sehingga mudah jatuh. Bagaimana anda mencuci gelas ini, bahkan minyak masih menempel di gelas?" Siang ini benar-benar belum bisa istirahat. Besannya datang dan membuat kejutan untuknya. Terlihat besan
"Astagfirullah, aku bangun terlambat. Harusnya aku tidur dua jam saja kenapa malah sampai tiga jam? Bagaimana kalau Weni marah?" Faridah gelagapan takut Weni akan memarahinya. Faridah gegas menyiapkan makan malam, sedangkan Keynan bermain sendiri di kamar. Keynan tak pernah mengganggu pekerjaan neneknya.Weni juga tertidur akibat meminum obat pereda nyeri. Faridah bersyukur karena Weni tak sampai memarahinya karena terlambat bangun. Diambilnya beberapa bahan makanan yang akan digunakan untuk menu makan malam. Tak berapa lama menu makan malam selesai, kini Faridah harus memandikan Keynan dan menyuapi setelah mandi. "Cucu nenek sudah ganteng!" Senyum Keynan mengembang karena Faridah selalu memberikan perhatian dan kasih sayang kepada Keynan. Meski lelah namun melihat Keynan tersenyum, sudah cukup membuatnya bahagia."Bu!" Teriakan Weni menggema di penjuru ruangan. Gegas Faridah segera menghampiri Weni setelah mengurus Keynan."Ada apa, Wen?" Wajah Weni memperlihatkan amarah yang besar,
Tanpa dikomando, air mata yang ditahan sedari tadi akhirnya jatuh juga. Weni sama sekali tak kasihan kepada ibu kandungnya yang dipermalukan di depan teman ibu mertuanya."Ya sudah, kembali masuk kedalam, Faridah!" Faridah gegas ke dapur. Ratna geram melihat majikan serta menantunya tak memiliki hati sama sekali. Tega sekali menghina Faridah tanpa mau tahu perasaannya.Ratna memergoki Faridah menangis di teras belakang. Ratna memahami saat ini hati Faridah benar-benar hancur."Bu, apakah tidak ada lagi keluarga ibu yang lain?" Faridah merasakan pelukan hangat dari perempuan muda seusia Fatma."Ibu sebenarnya punya satu anak lagi namun ibu tidak mau merepotkan mereka."Teringat kehidupan Fatma serba pas pasan namun tak pernah sama sekali mengeluh atau meminta bantuan kepada ibunya sendiri. Fatma hanya berbelanja sesuai kebutuhan, kebutuhan sayur dan beberapa bumbu sengaja ditanam sendiri di halaman belakang rumahnya. "Ratna kesal melihat Bu Faridah dihina terus seperti ini, andai Bu F
"Ibu nggak perlu mengada-ngada deh, apa Ibu mau hidup merepotkan Fatma yang penghasilan suaminya aja kurang!" Sengaja Weni mengintimidasi Faridah supaya mau menyetujui permintaannya. "Tapi itu kenangan ayahmu!" Faridah mencoba memberi pengertian pada Weni. Weni tak melanjutkan perdebatan dan pergi bekerja begitu saja. Faridah terisak, Weni begitu keras kepala tanpa memahami perasaanya. Disinilah Faridah mulai bimbang, ucapan Weni benar-benar menguji pendirian Faridah. Tidak mungkin dirinya tinggal di kampung dan merepotkan Fatma. Tinggal sendirian di rumah peninggalan suaminya seorang diri pun tak akan mungkin. Fatma pasti akan tahu keadaanya dan membawanya tinggal bersamanya.Hanya istigfar yang bisa diucapkan. Tak berselang lama, Meli datang ke rumah Weni seakan seperti rumahnya sendiri."Faridah, belanjakan bahan untuk membuat tongseng dong! Sekalian kamu masak juga!" Meli tanpa basa basi memberikan sejumlah uang kepada Faridah."Bu, maaf! Saya repot mengasuh Keynan, jadi.."Oh! K