Share

Bab 3. Tuduhan

Tuduhan atas warisan membuat Fatma sakit hati. Tak ada niatan sedikitpun datang menemani ibunya demi warisan seperti yang dituduhkan. Hanya kesehatan Faridah yang selalu ada di setiap doanya, selain itu Fatma tak menginginkannya.

"Nggak usah sok baik deh, Fat. Kamu sengaja kan demi warisan ibu!"

"Hentikan ucapanmu, Weni! Kamu sudah sangat keterlaluan!" Faridah akhirnya angkat bicara karena ucapan Weni.

"Ibu selalu bela dia," Weni melipat tangannya di dada tanpa melihat Keynan sama sekali. Perlahan kedua mata Keynan mengerjab, bibirnya tersenyum ketika melihat ibunya sudah berada di depannya.

"Mama," Weni hanya melihatnya saja tanpa menghampiri atau memberikan pelukan untuk Keynan.

"Mama," Keynan berharap Weni menghampirinya. Keynan sangat merindukan ibunya sendiri.

"Kamu juga, anak bisanya nyusahin aja! Pakai sakit lagi!"

"Astagfirullah!" Gumam Fatma dan Faridah bersamaan.

Harapan mendapat pelukan dari ibunya hancur sudah ketika ucapan menyakitkan keluar dari mulut ibunya. Keynan hanya bisa menunduk tanpa mau melihat wajah ibunya lagi. Fatma gegas menghampiri Keynan yang tengah kecewa pada ibunya sendiri.

"Jangan dekat-dekat anaku, nanti ketularan mandul kayak kamu!" Hinaan selalu saja didapatkan Fatma jika berhadapan dengan Weni. Air mata luruh seketika, bibir hanya bisa mengucapkan istighfar.

"Mama jahat!" Kebencian terpancar setelah melihat ibunya merendahkan bibinya.

"Oh, jadi ini yang diajarkan nenek padamu? Mama membawa Nenekmu ke kota supaya bisa mengasuhmu menjadi anak baik. Bukan pembangkang seperti ini!"

"Kamu sangat keterlaluan, Weni. Ibu gagal mendidikmu!"

"Yang gagal kan ibu, bukan Weni!"

Weni berlalu begitu saja meninggalkan adik, ibu dan juga anaknya. Fatma sesenggukan di pelukan Faridah, sungguh tak pantas bagi Weni menghina keadaan Fatma. Semua sudah digariskan dan tak ada yang bisa merubahnya.

"Bibi, maafkan Mama Keynan ya?" Fatma menghapus air mata dan menghampiri Keynan. Diusapnya ràmbut Keynan layaknya anak sendiri.

"Sudahlah, Sayang. Bibi tidak apa-apa," Fatma tersenyum mendengar Keynan. Fatma begitu sayang dengan Keynan begitu juga dengan Faridah.

"Keynan suka dibelai seperti ini. Andai Mama seperti Bibi, pasti Keynan bahagia," mendengar harapan Keynan, Faridah hanya bisa mendoakan perubahan sikap Weni.

"Tenang saja, jika bertemu lagi, bibi akan membelai Keynan sampai puas!" Senyum manis dari bibir mungil Keynan menandakan hatinya perlahan bahagia meski sebelumnya kecewa dengan sikap ibunya.

"Nek, Keynan tinggal sama bibi di kampung ya?" Fatma dan Faridah diam sejenak. Sungguh pilihan sulit karena Weni pasti akan melarangnya tinggal di kampung. Weni tak suka jika ada yang mengetahui bahwa dirinya berasal dari kampung.

Weni melajukan mobilnya ke sebuah cafe tempat arisan bersama kaum sosialitanya. Arisan berlian yang selalu dibanggakannya. Terlihat pakaian serba mewah yang dikenakan teman-temannya. Tas dan sepatu serba mahal dan bermerk.

"Kalau aku yang dapat arisan, aku traktir kalian makan sepuasnya!" Stella, istri pengusaha batu bara selalu menjadi saingan Weni. Weni sangat membenci Stella karena kekayaannya.

Semua fokus pada nama yang akan keluar. Weni berharap namanya keluar karena bisa digunakan untuk pamer ke beberapa teman-temannya. Ternyata harapan Weni salah, Stella yang memenangkan arisan kali ini. Sungguh hati Weni meradang gagal mendapat berlian yang diinginkannya kali ini.

"Bagus banget!" Kalung berlian begitu mewah dan cantik saat dipakai Stella. Semua saling memuji kecuali Weni yang sibuk bermain ponsel. Cukup jengah melihat teman-temannya merayakan kebahagiaannya.

"Aku harus bisa mendapatkan uang dari penjualan rumah dan membeli berlian itu. Weni tidak boleh kalah dengan mereka!" Weni berpamitan dan pulang terlebih dahulu. Weni pulang dan menyusun rencana supaya Faridah mau menjual rumah peninggalan ayahnya dan memberikan hasil penjualan tanpa dibagi dengan Fatma.

"Bagaimana cara aku meminta ibu untuk menjual rumah itu?" Terlintas ide di pikiran Weni supaya Faridah mau menjual rumah peninggalan ayahnya.

Keesokan harinya Keynan diperbolehkan pulang karena keadaanya cukup membaik meski harus tetap kontrol dua kali satu minggu. Faridah dan Fatma terkejut ketika Weni sudah menunggunya di depan rumah. Bukan hanya Fatma dan Faridah yang terkejut melainkan Keynan juga tersenyum melihat ibunya menunggu kepulangannya.

"Mama," Keynan berjalan ke arah Weni dan memeluknya. Weni juga membalas pelukan Keynan meski hati tak ingin.

"Syukurlah kamu sudah sembuh!" Ucapan Weni terdengar melunak. Hari ini sengaja Weni tak berangkat bekerja demi bisa melancarkan aksinya.

"Bu, Weni mau bicara!" Fatma mengambil alih Keynan dan membiarkan Kakaknya dan ibunya bicara berdua. Dari kejauhan Fatma melihat gerak gerik Weni cukup aneh, terlihat ada rencana yang sedang dilakukan.

"Ada apa, Wen?"

"Bu, aku ingin rumah warisan Ayah!" Cukup tercengang saat Weni membahas soal warisan apalagi meminta rumah kenangan suaminya. Ternyata inilah alasannya Weni terlihat baik pagi ini.

"Wen, rumah itu tak akan ibu jual. Ayahmu melarang rumah ini dijual karena sebagai tempat berkumpul ketika hari raya," Weni cemberut mendengar penolakan ibunya. Segera Weni mencari cara supaya ibunya mau menyetujui permintaannya.

"Buat apa sih, Bu. Lagian ibu sudah menumpang disini. Buat apa lagi rumah itu, daripada rusak mending dijual!" Weni bersikukuh supaya Faridah menjual rumah warisan ayahnya.

"Bukan karena itu, Wen. Rumah itu penuh kenangan saat kita masih bersama. Ibu tidak ingin menjualnya, tapi jika direnovasi ibu mengijinkan!" Weni merasa gagal mendapatkan rumah warisan berlalu begitu saja. Tak ada keinginan menawari ibu dan adiknya sarapan.

Faridah beristighfar berkali-kali atas ucapan anaknya. Fatma segera menghampiri Faridah yang terlihat gelisah.

"Maafkan hambamu Ya Allah, hamba gagal mendidik anak hambamu ini!" Gumam Faridah dalam hati.

"Bu, Mbak Weni kenapa?" Faridah hanya menggeleng dengan bibir yang dipaksakan tersenyum supaya Fatma tidak risau.

"Ibu jangan bohong!" Faridah hanya mengangguk dan tersenyum sembari mengusap pundak Fatma. Tak lama, sebuah motor bebek sudah berada di halaman rumah Weni. Ridho menjemput istrinya yang sudah tiga hari mendampingi keponakannya di rumah sakit.

"Bu, Fatma dan Mas Ridho pamit!" Setelah mencium punggung telapak tangan Faridah, motor bebek yang dikendarai Ridho melaju dengan kecepatan sedang. Kini tinggal dirinya bersama Keynan di teras.

"Nek, Keynan lapar!" Gegas Faridah mengajak Keynan ke kamarnya kemudian menyiapkan makanan untuk Keynan. Tak ada makanan sama sekali di meja makan, hanya ada dua piring kotor bekas sarapan yang diletakkan begitu saja tanpa mau mencucinya.

"Masak ini juga, Bu!"

Weni meletakkan beberapa sayur dan daging di meja makan saat Faridah sedang menyiapkan makanan Keynan. Tak ada rasa kasihan kepada ibunya sendiri yang sudah rela menjaga anaknya ketika sedang sakit. Tak ada rasa kasihan atau perhatian kepada Faridah.

"Ibu lelah, Wen. Tiga hari ibu kurang tidur!" Faridah merasa begitu lelah tiga hari kurang tidur hingga terasa cukup lemas.

"Ibu itu numpang disini dan tak ada yang gratis. Jadi ibu harus masak ini semua!" Weni berlalu begitu saja membiarkan ibunya berkutat dengan masakan.

Keynan kasihan melihat tugas Neneknya yang cukup berat. Badannya belum istirahat total sudah disuruh ibunya.

"Biar Keynan bantu, Nek!" Faridah tersenyum mendengar perhatian Keynan.

"Nenek bisa kok, Sayang. Keynan di kamar saja!" Keynan terpaksa menurut ucapan Faridah dan kembali ke kamarnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status