Faridah berpikir sejenak, ada rasa ingin kembali ke kota demi Keynan dan ada rasa ragu ketika harus bersama dengan menantunya."Bu, tolonglah Weni. Keynan tak ada yang menjaga, Bu!" Weni mulai bersandiwara memperlihatkan wajah memelas. Fatma malah mencebik ke arah Weni yang pasang wajah memelas."Kalau Keynan dibawa ke kampung saja bagaimana, Mbak? Disini Keynan bisa belajar mengaji, daripada di kota cuma diem aja di rumah!" Andai tidak sedang bersandiwara, ingin sekali Weni menampar mulut Fatma. "Jangan dong! Masa cucuku mau dibawa ke kampung!" Meli terdengar sewot dengan ucapan Fatma. "Disana juga nggak ada yang jaga, lebih baik di kampung saja!" Ucapan Fatma lagi-lagi memancing emosi Weni dan Meli. Dua wanita beda generasi tersebut saling melirik karena kesal dengan ucapan Fatma."Tidak bisa, Keynan tetap tinggal di kota!" Akhirnya Weni memutuskan jika Keynan tetap di kota. Fatma kembali menyimak ucapan Weni dan Meli."Berikan wantu untuk ibu dulu, Nak. Ibu ingin tinggal di kampu
Teriakan Keynan membuat Weni semakin geram. Bagaimana tidak, Keynan memutuskan tinggal bersama Faridah. "Dengar tuh, Bu. Keynan minta tetap bersama Neneknya tapi Weni tidak setuju kalau tinggal di kampung. Ibu harus kembali tinggal disini!" "Supaya bisa jadi babu gratisan? Ingat, Mbak! Nggak seharusnya Mbak Weni kayak gitu pada ibu!" Fatma angkat bicara membela ibunya. Weni berjalan ke arah Fatma dan tiba-tiba mendorongnya hingga Fatma mundur beberapa langkah ke belakang."Jangan pernah ikut campur urusanku lagi! Tau apa kamu susahnya hidup di kota?" "Aku tak akan ikut campur selama ibu bahagia. Kalau kamu memperlakukan ibu seperti pembantu, aku akan tetap ikut campur!" Fatma mendorong balik Weni. Tenaga Fatma tak kalah besar dari Weni meski postur tubuh Fatma hampir sama dengan Weni."Sudah kalian jangan bertengkar! Ibu akan bawa Keynan ke kampung!" Keputusan Faridah saat itu juga. Meli seakan kebakaran jenggot karena Keynan lebih memilih neneknya dari kampung daripada dirinya. M
Faridah senang sekali masih ada rejeki untuk membayar biaya rumah sakit Keynan. Tak ada perhatian sedikitpun dari Weni selama anaknya di rawat. Hanya Faridah yang selalu menemani Keynan. Fatma sesekali datang membawa baju ganti dan membawa makanan untuk Faridah."Nenek pijit ya," Faridah memijit pelan kaki Keynan, tak lupa dilantunkannya sholawat. Sholawat yang selalu Faridah lantunkan menjadi candu bagi Keynan.Seminggu sudah Keynan dirawat dan keadaan mulai membaik. Faridah memutuskan membawa Keynan pulang ke kampung. Melihat sikap dan rasa tidak peduli semakin membuat Faridah mantap membawa dan merawat Keynan ke kampung."Nanti kalau di kampung, Keynan bisa ikut Paman Ridho mengaji ya?" Keynan tersenyum sambil mengangguk cepat. Keynan bersemangat sekali belajar mengaji. Saat Faridah masih mengasuhnya, Faridah selalu mengaji di samping Keynan membuat Keynan ingin bisa mengaji seperti Faridah."Nek, bagus banget ya?" Faridah tersenyum melihat Keynan penuh semangat melihat pemandangan
Dua hari berselang, tidak ada tanda-tanda Weni mengirim pesan atau sekedar menghubungi Fatma melalui ponselnya. Meski tidak menghubungi namun Fatma tetap khawatir akan rencana yang dilakukan Weni. Apalagi Fatma mencurigai Meli di balik perubahan sikap Weni.Fatma asik mengawasi Keynan bermain dengan teman sebaya di halaman rumah Faridah. Sehari-hari Fatma selalu membantu Faridah menjaga Keynan disaat Faridah sedang bekerja di sawah tetangga atau sedang berjualan sayur di pasar. Ridho bahkan lebih senang karena Fatma memiliki sosok teman yaitu keponakannya sendiri. "Bibi, Keynan capek!" Keynan setengah berlari ke arah Fatma. "Jagoan Bibi lelah ternyata," Fatma menggendong Keynan masuk ke rumah Faridah dan memintanya beristirahat. Wajah Keynan begitu ceria, tidak ada lagi wajah sedih yang biasanya ditunjukkan. Keynan membaringkan tubuhnya di dipan bambu samping jendela. Angin sejuk di siang hari membuat kedua mata Keynan perlahan terpejam. Keynan mudah sekali tidur siang jika berada
Keesokan paginya, Fatma bersama Ridho berangkat ke kantor polisi tempat Faridah ditahan. Fatma begitu bersemangat sekali, berharap Ibunya segera bebas. Sesampai di sana, Faridah terlihat duduk bersila di tahanan sementara. Mulut Faridah hanya bisa berdzikir dan beristighfar atas musibah yang menimpanya. "Lapangkan hati hamba, Ya Allah," gumam Faridah di sela-sela dzikirnya. Fatma diijinkan bertemu dengan Faridah. Pertemuan mengharukan, Faridah memeluk Fatma yang menangis di depannya. Faridah berusaha tetap tegar di depan Fatma. Faridah yakin jika Fatma adalah orang yang paling terpukul atas musibah yang menimpanya. Ridho dan salah satu temannya mengurus kasus Faridah dengan menunjukkan beberapa bukti. Bukan itu saja, rekan Ridho juga berhasil mencari bukti data Keynan di rumah sakit dan puskesmas dalam waktu semalam saja. Beberapa polisi mendalami kasus Faridah sejenak. Memastikan bukti yang dibawa pihak Faridah bisa membebaskan Faridah dari tuduhan palsu. "Ibu, Fatma tidak terima
Hari minggu, kebetulan libur kerja dan Weni sengaja bermalas-malasan di rumah mertuanya. Meli hari ini juga malas bertemu Weni meski sementara waktu tinggal di rumahnya."Ratna, makanan sudah siap?" "Sudah, Nyonya!" Meli membuka tudung saji dan menu sarapan sudah terhidang di meja. Meli gegas menikmati sarapan tanpa memanggil Weni terlebih dahulu. Tiba-tiba Weni keluar dari kamar dan menghampiri meja makan. Melihat Weni rasanya kesal sekali karena gagal mendapatkan sertifikat rumah Faridah."Pagi, Ma!" "Hmm," malas sekali Meli saat menjawab sapaan Weni."Mama selesai makan dan sekarang mau rebahan!""Tumben mama nggak nemenin Weni?" Weni merasa aneh dengan Meli. Biasanya Meli akan menemani sekedar mengobrol bersama Weni di saat makan."Mama lagi nggak mood aja," sahut Meli."Mama ada rencana lagi untuk merebut sertifikat itu kah?" Seketika kedua mata Meli berbinar mendengar ucapan Weni. Meli ingin sekali menguasai uang hasil penjualan rumah milik Faridah. Meli kembali duduk bersama
Keduanya kembali ke kediamannya dengan suka cita. Keynan yang selalu dianggapmya beban sudah bersama Neneknya dan sebentar lagi rumah Faridah akan menjadi jatuh ke tangannya."Mama nggak sabar bisa segera jual rumah itu, Wen!" "Weni juga, Ma. Lokasi rumah cukup bagus dan pasti harganya terbilang lumayan!" Weni sudah membayangkan hasil penjualan rumah Faridah. Meski lokasi kampung berada di pinggiran kota namun harga tanah di sana termasuk cukup lumayan. Mereka sudah larut dalam khayalan menikmati uang dalam jumlah besar."Aku bisa beli berlian itu!" Gumam Meli."Aku akan menjadi wanita paling keren karena perhiasan terbaruku!" Weni mulai membayangkan dirinya menjadi pusat perhatian karena penampilannya. Terlihat cukup norak, tetapi ini adalah pilihan Weni.Pagi itu, Ratna yang mengetahui rencana majikannya, segera kembali menghubungi Fatma. Ratna hanya ingin menyampaikan rencana jahat Weni dan Meli kepada salah satu anggota keluarga Faridah. Kesempatan bagi Ratna ketika majikannya t
Seminggu sudah Keynan tinggal bersama Faridah dan kini Weni bersiap berangkat ke rumah Faridah. Weni sudah membawa keperluan pribadinya selama menginap semalam di rumah Faridah. Meli bertugas menyiapkan buah tangan yang akan dibawanya ke kampung."Tidak apa berkorban kue, asalkan bisa dapat ganti yang lebih banyak," Meli mulai membayangkan sejumlah uanh yang dimilikinya sebentar lagi. "Sarapan dulu, Wen!" Meli dengan pura-pura baik meminta Weni sarapan sebelum menjalankan rencana."Doakan Weni berhasil, Ma!" Tanpa diminta, Meli selalu berharap jika Weni berhasil membawa sertifikat rumah Faridah. Weni melajukan mobilnya menuju ke kediaman Faridah, hati begitu senang karena rencana sebentar lagi akan dijalankan. Tepat di persimpangan, kedua netra Weni menangkap sosok yang dikenalnya. Aris tengah tertawa dan terlihat mesra bersama wanita lain. Wanita dengan perut membuncit sedang bermesraan dengan lelaki mirip suaminya. Weni menghentikan mobilnya sejenak dan kembali melihat sosok mirip