Share

Bab 5. Pengakuan Mengejutkan

"Astagfirullah, aku bangun terlambat. Harusnya aku tidur dua jam saja kenapa malah sampai tiga jam? Bagaimana kalau Weni marah?" Faridah gelagapan takut Weni akan memarahinya. Faridah gegas menyiapkan makan malam, sedangkan Keynan bermain sendiri di kamar. Keynan tak pernah mengganggu pekerjaan neneknya.

Weni juga tertidur akibat meminum obat pereda nyeri. Faridah bersyukur karena Weni tak sampai memarahinya karena terlambat bangun. Diambilnya beberapa bahan makanan yang akan digunakan untuk menu makan malam. Tak berapa lama menu makan malam selesai, kini Faridah harus memandikan Keynan dan menyuapi setelah mandi.

"Cucu nenek sudah ganteng!" Senyum Keynan mengembang karena Faridah selalu memberikan perhatian dan kasih sayang kepada Keynan. Meski lelah namun melihat Keynan tersenyum, sudah cukup membuatnya bahagia.

"Bu!" Teriakan Weni menggema di penjuru ruangan. Gegas Faridah segera menghampiri Weni setelah mengurus Keynan.

"Ada apa, Wen?" Wajah Weni memperlihatkan amarah yang besar, kedua tangannya berkacak pinggang.

"Ibu itu harus masak yang banyak, mulai sekarang ibu harus masak porsi besar! Karena ibu mertuaku juga maunya menu yang sama dengan Weni!" Yang ditakutkan benar-benar terjadi. Memasak dalam jumlah besar tentu saja memakan waktu yang cukup banyak. Belum lagi mengurus semua pekerjaan rumah tanpa bantuan siapapun.

"Ibu tidak bisa, Wen. Ibu..

"Ibu tidak boleh membantah Weni, ibu itu numpang jadi harus nurut sama Weni!" Benar-benar hancur perasaan Faridah. Ingin sekali kembali ke kampung, namun melihat Keynan akan menjadi terlantar karena ibunya tak memperhatikannya membuat Faridah mengurungkan niatnya kembali ke kampung dan menerima keadaan. Terpaksa Faridah memasak lagi menu yang sama dengan Weni. Tenaga renta dipaksa mengerjakan tugas yang cukup berat.

Weni berlalu begitu saja saat Faridah kembali memasak untuk mertua Weni. Tak ada rasa ingin membantu supaya cepat selesai. Keynan keluar dari kamar dan menghampiri Weni.

"Ma, Keynan mau es krim!" Keynan merengek menatap ibunya penuh harap.

"Tidak bisa, nanti gigimu sakit!" Suara Weni terdengar keras membuat Keynan takut hingga mundur beberapa langkah.

Keynan lari ke kamar dan menangis di sudut kamar. Faridah menghampiri Keynan sejenak untuk menenangkannya. Ucapan Faridah selalu membuat Keynan tenang dan kembali tersenyum.

"Nek, kita tinggal di rumah bibi, yuk!" Miris hati Faridah mendengar permintaan Keynan. Tak salah jika Keynan lebih nyaman bersama Fatma daripada ibunya sendiri.

"Kita disini saja, Nak. Kasihan kalau Mama ditinggal!" Faridah mengusap kepala Keynan memberi pengertian untuknya.

"Tapi Mama jahat, Nek. Enak sama bibi Fatma, orangnya baik," Keynan memuji sosok bibinya. Weni kesal mendengar ucapan Keynan yang membandingkan dirinya dengan Fatma.

"Oh, jadi bibi Fatma lebih baik dari mama?" Keynan ketakutan melihat Weni berkacak pinggang di depannya. Diraihnya telinga Keynan dan dijewer hingga menangis. Faridah berusaha melerai Weni namun kenyataannya Weni semakin kalap menjewer Keynan.

"Ampun, Ma!" Keynan menangis kesakitan karena cubitan di telinga Keynan.

Setelah puas, Weni meninggalkan Keynan meringkuk kesakitan begitu saja seakan tak bersalah sama sekali. Faridah memeluk Keynan dalam dekapannya. Faridah tak bisa berbuat banyak, hanya bisa menenangkan Keynan saja.

"Bu, besok bantu-bantu masak di rumah Mama. Di sana mau ada acara keluarga besarnya Mama. Lagian, ibu sangat pantas jadi tim bantu-bantu!" Faridah tak hentinya beristighfar setelah mendengar ucapan Weni. Besok ada tugas berat menunggunya. Anak kandungnya memperlakukannya seperti pembantu gratisan.

"Kuatkan hambamu, Ya Allah!" Hanya kepadaNya, Faridah meminta kekuatan untuk dirinya.

Benar saja, keesokan harinya lebih tepatnya pukul empat pagi, Faridah diantar Weni ke rumah mertuanya. Di sana sudah disuguhi banyak sekali bahan makanan yang akan dijadikan beberapa menu makanan. Terdapat sebuah catatan menu makanan yang diminta.

"Bu Besan, agak cepat ya masaknya. Jam sepuluh acara dimulai!" Tak ada yang bisa Faridah lakukan kecuali melakukannya. Meli benar-benar keterlaluan kepada Faridah.

Faridah mulai memilih bahan untuk menu makanan tertentu. Tak ada yang mau membantu mengurus beberapa jenis makanan yang diminta, hanya dibantu satu asisten rumah tangga untuk mengerjakan ini semua.

"Ratna, Kamu bersihkan ruang tamu! Urusan makanan biar Bu Faridah yang urus!" Teriak Weni saat Ratna baru saja hendak membantu mengupas bawang.

"Maafkan Ratna karena tak bisa membantu ya, Bu?"

"Tidak apa-apa, Nak!" Faridah bersusaha tersenyum meski batin tengah menangis.

Ratna sebenarnya kasihan dengan Faridah, wanita yang seharusnya dihormati malah sebaliknya. Besan majikannya diperlakukan layaknya pembantu. Sedangkan Meli sedang asik bercengkerama bersama Keynan dan Weni di ruang tengah.

Pukul sembilan, semua makanan sudah siap. Faridah dibantu Ratna menata semua makanan di meja makan. Perut melilit karena sedari pagi belum ada makanan yang masuk ke perutnya.

"Ibu lapar?" Ratna mendengar suara perut Faridah. Faridah jadi malu karena teriakan perutnya diketahui orang lain. Ratna buru-buru ke kamarnya dan mengambil dua roti tawar yang sudah diolesi selai.

"Bu, makanlah!" Faridah menerima roti dari Ratna dan segera memakannya di dapur. Ratna juga membuatkan susu untuk Faridah supaya kondusinya tetap bugar tidak mudah sakit

"Terima kasih, Nak!" Ratna tersenyum ketika tangan Faridah membelai rambut Ratna.

"Ratna tak tega Bu Faridah diperlakukan seperti ini. Maafkan Ratna tak bisa membantu Bu Faridah!" Hampir saja air mata memenuhi pelupuk mata melihat kondisi Faridah. Bahkan sarapan saja mereka tidak ada yang memberi. Untung saja Ratna selalu menyediakan beberapa camilan di kamarnya jika lapar.

"Bu, selama acara jangan pernah nongol ya? Tetaplah di dapur. Penampilan ibu cocok sekali menjadi pembantu!" Ratna terkesiap mendengar ucapan Weni. Apalagi Meli dengan pongahnya berkacak pinggang di belakang Weni seolah mendukung ucapan Weni.

"Bu Besan bisa sarapan gulai nangka sisa kemarin di lemari es. Tinggal dipanaskan saja sudah bisa dimakan!" Ratna mengusap dadanya, begitu teganya Faridah diberi lauk sisa kemarin. Ratna meraih dan membungkusnya dengan kantong plastik sebelum membuangnya. Kondisi gulai nangka benar-benar tak bisa dimakan. Aromanya sudah berbeda ditambah warnanya sudah memucat tandanya sayur gulai sudah rusak.

"Jangan pernah makan makanan basi selagi kita masih bisa menyediakannya, Bu," Faridah hanya menatap yang Ratna lakukan. Ratna benar-benar membuangnya ke tong sampah yang berada di luar rumah. Ratna kembali ke dapur membawa dua bungkus nasi uduk untuk Faridah dan dirinya.

"Nak, tak apa jika memang sayur kemarin masih bagus. Ibu malu harus merepotkanmu seperti ini!" Faridah sungkan karena sudah merepotkan Ratna pagi ini.

"Bu, Ratna tidak suka saat Bu Faridah diperlakukan seperti itu. Bu Faridah jangan protes lagi ya, sebaiknya Bu Faridah segera sarapan!" Keduanya menikmati sebungkus nasi uduk yang dibeli Ratna di depan rumah. Kebetulan ada penjual nasi uduk keliling yang sedang melayani pembeli. Ratna berinisiatif membeli untuk Faridah dan dirinya.

Acara arisan berlangsung lancar hingga mereka begitu menikmati jamuan makan siang di kediaman Meli.

"Enak banget, pembantu kamu jago masak nih!" Salah satu teman arisan benar-benar memuji masakan yang dibuat Faridah.

"Iya, pembantu baru rumah ini pintar memasak!" Balas Meli. Ratna hanya menggeleng pelan mendengar pengakuan Meli.

"Faridah!" Meli memanggil Faridah tanpa embel-embel Bu atau sejenisnya. Faridah keluar dari dapur setengah berlari menghampiri mereka di ruang makan.

"Kenalkan, ini namanya Faridah. Pembantu baruku!" Bagai disambar petir saat disebut sebagai pembantu di depan teman arisan besannya. Dilihatnya Weni ikut menertawakan dirinya. Tak ada yang bisa Faridah katakan kecuali menunduk saat dipermalukan. Mulut tak hentinya melantunkan istighfar supaya hatinya tetap tenang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status