Share

Bab 6. Kecewa

Tanpa dikomando, air mata yang ditahan sedari tadi akhirnya jatuh juga. Weni sama sekali tak kasihan kepada ibu kandungnya yang dipermalukan di depan teman ibu mertuanya.

"Ya sudah, kembali masuk kedalam, Faridah!" Faridah gegas ke dapur. Ratna geram melihat majikan serta menantunya tak memiliki hati sama sekali. Tega sekali menghina Faridah tanpa mau tahu perasaannya.

Ratna memergoki Faridah menangis di teras belakang. Ratna memahami saat ini hati Faridah benar-benar hancur.

"Bu, apakah tidak ada lagi keluarga ibu yang lain?" Faridah merasakan pelukan hangat dari perempuan muda seusia Fatma.

"Ibu sebenarnya punya satu anak lagi namun ibu tidak mau merepotkan mereka."

Teringat kehidupan Fatma serba pas pasan namun tak pernah sama sekali mengeluh atau meminta bantuan kepada ibunya sendiri. Fatma hanya berbelanja sesuai kebutuhan, kebutuhan sayur dan beberapa bumbu sengaja ditanam sendiri di halaman belakang rumahnya.

"Ratna kesal melihat Bu Faridah dihina terus seperti ini, andai Bu Faridah adalah ibu kandung Ratna, pasti mulut mereka sudah Ratna robek!" Kedua tangan mengepal kuat ketika menguraikan kekesalannya.

"Sudah, ibu tak apa. Anggap saja ini bayaran ibu yang telah menumpang kepada anak ibu!" Faridah gegas menghapus air matanya setelah terhibur dengan sosok Ratna.

"Bu, bikinin sirup buat mereka dong, malah asik bercanda di belakang!"

Saat asik bercengkerama dengan Ratna, Weni datang meminta Faridah membuatkan minuman untuk tamu mertuanya. Baru saja Faridah hendak berdiri, Ratna lebih dulu menahannya supaya tetap duduk sedangkan dirinya yang mengerjakan perintah Weni. Ratna membuat minuman yang diperintahkan Weni tanpa sepengetahuan mereka semua. Faridah benar-benar bersyukur masih ada orang yang memberikan perhatian padanya.

"Terima kasih, Ratna!" Sahut Faridah usai Ratna mengantarkan minuman kepada tamu Meli.

Hari menjelang siang, namun belum ada tanda-tanda Weni mengajaknya pulang. Ratna membuat dua mangkuk mie instan sebagai pengganjal perut siang ini. Mereka akan makan jika tamu sudah pulang. Dua mangkuk mie instan yang dibeli Ratna sendiri habis oleh mereka berdua.

"Terima kasih, Nak. Maafkan ibu, belum bisa membalas kebaikan Nak Ratna!" Ratna hanya tersenyum. Ratna merasa memiliki seorang ibu. Kasih sayang seorang ibu yang tak pernah didapatkan setelah ibunya meninggal. Semasa hidup, Ratna tinggal bersama Ayahnya.

"Bu Faridah menganggap Ratna sebagai anak Bu Faridah itu sudah cukup. Ratna serasa memiliki seorang ibu," wajah Ratna menyiratkan kebahagiaan yang cukup besar.

Tak berapa lama, tamu mereka sudah meninggalkan rumah mereka dan itu artinya, Faridah bisa pulang. Itulah harapan Faridah, bisa segera pulang dan istirahat. Tubuh rentanya tak bisa lagi bekerja cukup berat.

"Bu, pulang yuk!" Weni menghampiri Faridah mengajaknya pulang. Keynan terljhat mengantuk digendongan Weni.

"Nyonya, apakah Bu Faridah tidak diperkenankan makan siang dulu?" Weni mendelik ke arah Ratna yang sudah lancang bertanya padanya.

"Siapa kamu mengatur hidup ibuku! Mau ibuku makan atau tidak, itu bukan urusanmu!" Weni berbalik meninggalkan dapur. Faridah gegas mengekor di belakang Weni. Ratna menggelang pelan, begitu heran melihat perlakuan anak kandung kepada ibunya.

Weni melajukan mobilnya tanpa sepatah katapun, Faridah yang berada di kursi penumpang pun tak berani mengeluarkan ucapan apapun. Tak berapa lama, mobil yang dikendarai sudah masuk ke halaman rumah. Faridah gegas menggendong Keynan ke kamarnya supaya bisa beristirahat. Sedangkan Weni, entah kemana membawa mobilnya keluar tanpa pamit kepada Weni.

Faridah gegas menyiapkan bahan makanan yang akan digunakan memasak di rumah. Belum ada menu makanan yang bisa dimakan karena sejak subuh sudah berkutat di rumah besannya.

Sampai menjelang sore, Weni belum juga pulang ke rumah. Aris juga belum pulang, hanya ada dirinya dan Keynan. Dalam hati, Faridah berharap tidak terjadi sesuatu kepada Weni.

"Nek, Keynan lapar," Faridah gegas mengambil makananan dan menyuapi Keynan hingga habis. Melihat Keynan lahap makan sudah sangat melegakannya. Keynan tak pernah protes dengan makanan buatan neneknya.

"Papa dan Mama kemana ya, Nek? Kok belum pulang," Keyna merasa kesepian saat tak ada orang tuanya meski tak ada perhatian sama sekali dari orang tuanya.

"Bentar lagi juga pulang, Nak. Sebaiknya Keynan tidur dulu!" Faridah menggendong Keynan dan menidurkannya. Faridah khawatir jika Keynan ikut menunggu kedatangan orang tuanya yang tidak jelas kapan pulangnya.

Malam semakin larut dan belum ada tanda-tanda Aris dan Weni pulang. Faridah sampai mengantuk menunggu kedatangan anak dan menantunya di depan rumah. Wajah terlihat begitu tenang saat mobil Weni memasuki halaman rumahnya. Namun Faridah merasa aneh dengan lelaki yang berada di samping Weni. Lelaki itu bukanlah Aris, menantunya.

Ceklek

Lelaki itu keluar dari mobil dan menghampiri Faridah yang hanya berdiri melihat kedatangan mobil anaknya.

"Bu Weni mabuk jadi tidak bisa pulang sendiri, Bu!" Lelaki itu kemudia pergi meninggalkan Faridah tanpa pamitan atau sekedar mengucapkan selamat tinggal. Kini Faridah melihat keadaan Weni meracau tak jelas di dalam mobilnya. Faridah segera membantu Weni keluar dari mobil dan memapahnya sampai ke kamarnya.

"Aku harus dapatkan berlian itu!" Racau Weni tidak jelas diselingi tawa.

"Ya Allah, kenapa anak hamba menjadi seorang pemabuk? Hamba sudah mendidiknya supaya menjauhi barang haram yang dilarang."

Faridah gegas mengambilkan air dan meminumkannya kepada Weni. Tak ada yang bisa Faridah lakukan untuk menangani orang mabuk. Setelah melepas sepatunya, Faridah membiarkan Weni tertidur. Melihat perubahan Weni, rasa kantuk hilang sempurna, berubah menjadi rasa gelisah. Semasa kecil, Weni dan Fatma selalu menurut dengan nasehat dan pesan Faridah. Katika sudah sama-sama dewasa, sudah berubah sikap Weni.

Waktu menunjukkan sepertiga malam, dibentangkan sajadah dan bersujud kepadaNya. Rasa syukur serta keluah kesah dipanjatkan. Tak ada penolong kecuali kepadaNya.

Pagi hari, Weni sudah terlihat rapi dengan stelan kemeja dan rok selutut bersiap kerja. Ingin sekali Faridah menanyakan keberadaan Aris dan saat Weni mabuk semalam, namun diurungkan. Faridah khawatir Weni akan menjadi marah padanya.

"Sarapannya sudah, Bu?" Tanya Weni saat mengambil sepatu di rak.

"Sudah, Nak!"

Weni gegas ke ruang makan dan sudah ada Keynan di sana menunggunya makan bersama.

"Hai, Ma!" Tak ada sahutan dari Weni saat Keynan menyapa dirinya.

"Ma, suapin Keynan dong!"

"Tidak, kamu sudah besar dan harus makan sendiri!" Wajah ceria berubah muram setelah mendengar jawaban Weni. Keynan terpaksa makan sendiri meski ada rasa ingin sekali-kali disuapi Ibunya.

"Biar nenek yang suapin!" Faridah mengambil alih piring Keynan dan menyuapinya sampai habis.

"Bu, Weni tidak mau tahu. Ibu harus segera menjual rumah warisan bapak dan harus jatuh ke tanganku!" Faridah terkejut saat Weni kembali membahas rumah warisan ayahnya.

"Ibu tak akan menjualnya, Wen. Jika memang kamu menampung ibu demi warisan bapakmu, lebih baik ibu pulang!" Tak ada yang bisa Faridah kecuali pulang ke kampung demi mengamankan rumah peninggalan suaminya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status