Tanpa dikomando, air mata yang ditahan sedari tadi akhirnya jatuh juga. Weni sama sekali tak kasihan kepada ibu kandungnya yang dipermalukan di depan teman ibu mertuanya.
"Ya sudah, kembali masuk kedalam, Faridah!" Faridah gegas ke dapur. Ratna geram melihat majikan serta menantunya tak memiliki hati sama sekali. Tega sekali menghina Faridah tanpa mau tahu perasaannya.Ratna memergoki Faridah menangis di teras belakang. Ratna memahami saat ini hati Faridah benar-benar hancur."Bu, apakah tidak ada lagi keluarga ibu yang lain?" Faridah merasakan pelukan hangat dari perempuan muda seusia Fatma."Ibu sebenarnya punya satu anak lagi namun ibu tidak mau merepotkan mereka."Teringat kehidupan Fatma serba pas pasan namun tak pernah sama sekali mengeluh atau meminta bantuan kepada ibunya sendiri. Fatma hanya berbelanja sesuai kebutuhan, kebutuhan sayur dan beberapa bumbu sengaja ditanam sendiri di halaman belakang rumahnya."Ratna kesal melihat Bu Faridah dihina terus seperti ini, andai Bu Faridah adalah ibu kandung Ratna, pasti mulut mereka sudah Ratna robek!" Kedua tangan mengepal kuat ketika menguraikan kekesalannya."Sudah, ibu tak apa. Anggap saja ini bayaran ibu yang telah menumpang kepada anak ibu!" Faridah gegas menghapus air matanya setelah terhibur dengan sosok Ratna."Bu, bikinin sirup buat mereka dong, malah asik bercanda di belakang!"Saat asik bercengkerama dengan Ratna, Weni datang meminta Faridah membuatkan minuman untuk tamu mertuanya. Baru saja Faridah hendak berdiri, Ratna lebih dulu menahannya supaya tetap duduk sedangkan dirinya yang mengerjakan perintah Weni. Ratna membuat minuman yang diperintahkan Weni tanpa sepengetahuan mereka semua. Faridah benar-benar bersyukur masih ada orang yang memberikan perhatian padanya."Terima kasih, Ratna!" Sahut Faridah usai Ratna mengantarkan minuman kepada tamu Meli.Hari menjelang siang, namun belum ada tanda-tanda Weni mengajaknya pulang. Ratna membuat dua mangkuk mie instan sebagai pengganjal perut siang ini. Mereka akan makan jika tamu sudah pulang. Dua mangkuk mie instan yang dibeli Ratna sendiri habis oleh mereka berdua."Terima kasih, Nak. Maafkan ibu, belum bisa membalas kebaikan Nak Ratna!" Ratna hanya tersenyum. Ratna merasa memiliki seorang ibu. Kasih sayang seorang ibu yang tak pernah didapatkan setelah ibunya meninggal. Semasa hidup, Ratna tinggal bersama Ayahnya."Bu Faridah menganggap Ratna sebagai anak Bu Faridah itu sudah cukup. Ratna serasa memiliki seorang ibu," wajah Ratna menyiratkan kebahagiaan yang cukup besar.Tak berapa lama, tamu mereka sudah meninggalkan rumah mereka dan itu artinya, Faridah bisa pulang. Itulah harapan Faridah, bisa segera pulang dan istirahat. Tubuh rentanya tak bisa lagi bekerja cukup berat."Bu, pulang yuk!" Weni menghampiri Faridah mengajaknya pulang. Keynan terljhat mengantuk digendongan Weni."Nyonya, apakah Bu Faridah tidak diperkenankan makan siang dulu?" Weni mendelik ke arah Ratna yang sudah lancang bertanya padanya."Siapa kamu mengatur hidup ibuku! Mau ibuku makan atau tidak, itu bukan urusanmu!" Weni berbalik meninggalkan dapur. Faridah gegas mengekor di belakang Weni. Ratna menggelang pelan, begitu heran melihat perlakuan anak kandung kepada ibunya.Weni melajukan mobilnya tanpa sepatah katapun, Faridah yang berada di kursi penumpang pun tak berani mengeluarkan ucapan apapun. Tak berapa lama, mobil yang dikendarai sudah masuk ke halaman rumah. Faridah gegas menggendong Keynan ke kamarnya supaya bisa beristirahat. Sedangkan Weni, entah kemana membawa mobilnya keluar tanpa pamit kepada Weni.Faridah gegas menyiapkan bahan makanan yang akan digunakan memasak di rumah. Belum ada menu makanan yang bisa dimakan karena sejak subuh sudah berkutat di rumah besannya.Sampai menjelang sore, Weni belum juga pulang ke rumah. Aris juga belum pulang, hanya ada dirinya dan Keynan. Dalam hati, Faridah berharap tidak terjadi sesuatu kepada Weni."Nek, Keynan lapar," Faridah gegas mengambil makananan dan menyuapi Keynan hingga habis. Melihat Keynan lahap makan sudah sangat melegakannya. Keynan tak pernah protes dengan makanan buatan neneknya."Papa dan Mama kemana ya, Nek? Kok belum pulang," Keyna merasa kesepian saat tak ada orang tuanya meski tak ada perhatian sama sekali dari orang tuanya."Bentar lagi juga pulang, Nak. Sebaiknya Keynan tidur dulu!" Faridah menggendong Keynan dan menidurkannya. Faridah khawatir jika Keynan ikut menunggu kedatangan orang tuanya yang tidak jelas kapan pulangnya.Malam semakin larut dan belum ada tanda-tanda Aris dan Weni pulang. Faridah sampai mengantuk menunggu kedatangan anak dan menantunya di depan rumah. Wajah terlihat begitu tenang saat mobil Weni memasuki halaman rumahnya. Namun Faridah merasa aneh dengan lelaki yang berada di samping Weni. Lelaki itu bukanlah Aris, menantunya.CeklekLelaki itu keluar dari mobil dan menghampiri Faridah yang hanya berdiri melihat kedatangan mobil anaknya."Bu Weni mabuk jadi tidak bisa pulang sendiri, Bu!" Lelaki itu kemudia pergi meninggalkan Faridah tanpa pamitan atau sekedar mengucapkan selamat tinggal. Kini Faridah melihat keadaan Weni meracau tak jelas di dalam mobilnya. Faridah segera membantu Weni keluar dari mobil dan memapahnya sampai ke kamarnya."Aku harus dapatkan berlian itu!" Racau Weni tidak jelas diselingi tawa."Ya Allah, kenapa anak hamba menjadi seorang pemabuk? Hamba sudah mendidiknya supaya menjauhi barang haram yang dilarang."Faridah gegas mengambilkan air dan meminumkannya kepada Weni. Tak ada yang bisa Faridah lakukan untuk menangani orang mabuk. Setelah melepas sepatunya, Faridah membiarkan Weni tertidur. Melihat perubahan Weni, rasa kantuk hilang sempurna, berubah menjadi rasa gelisah. Semasa kecil, Weni dan Fatma selalu menurut dengan nasehat dan pesan Faridah. Katika sudah sama-sama dewasa, sudah berubah sikap Weni.Waktu menunjukkan sepertiga malam, dibentangkan sajadah dan bersujud kepadaNya. Rasa syukur serta keluah kesah dipanjatkan. Tak ada penolong kecuali kepadaNya.Pagi hari, Weni sudah terlihat rapi dengan stelan kemeja dan rok selutut bersiap kerja. Ingin sekali Faridah menanyakan keberadaan Aris dan saat Weni mabuk semalam, namun diurungkan. Faridah khawatir Weni akan menjadi marah padanya."Sarapannya sudah, Bu?" Tanya Weni saat mengambil sepatu di rak."Sudah, Nak!"Weni gegas ke ruang makan dan sudah ada Keynan di sana menunggunya makan bersama."Hai, Ma!" Tak ada sahutan dari Weni saat Keynan menyapa dirinya."Ma, suapin Keynan dong!""Tidak, kamu sudah besar dan harus makan sendiri!" Wajah ceria berubah muram setelah mendengar jawaban Weni. Keynan terpaksa makan sendiri meski ada rasa ingin sekali-kali disuapi Ibunya."Biar nenek yang suapin!" Faridah mengambil alih piring Keynan dan menyuapinya sampai habis."Bu, Weni tidak mau tahu. Ibu harus segera menjual rumah warisan bapak dan harus jatuh ke tanganku!" Faridah terkejut saat Weni kembali membahas rumah warisan ayahnya."Ibu tak akan menjualnya, Wen. Jika memang kamu menampung ibu demi warisan bapakmu, lebih baik ibu pulang!" Tak ada yang bisa Faridah kecuali pulang ke kampung demi mengamankan rumah peninggalan suaminya."Ibu nggak perlu mengada-ngada deh, apa Ibu mau hidup merepotkan Fatma yang penghasilan suaminya aja kurang!" Sengaja Weni mengintimidasi Faridah supaya mau menyetujui permintaannya. "Tapi itu kenangan ayahmu!" Faridah mencoba memberi pengertian pada Weni. Weni tak melanjutkan perdebatan dan pergi bekerja begitu saja. Faridah terisak, Weni begitu keras kepala tanpa memahami perasaanya. Disinilah Faridah mulai bimbang, ucapan Weni benar-benar menguji pendirian Faridah. Tidak mungkin dirinya tinggal di kampung dan merepotkan Fatma. Tinggal sendirian di rumah peninggalan suaminya seorang diri pun tak akan mungkin. Fatma pasti akan tahu keadaanya dan membawanya tinggal bersamanya.Hanya istigfar yang bisa diucapkan. Tak berselang lama, Meli datang ke rumah Weni seakan seperti rumahnya sendiri."Faridah, belanjakan bahan untuk membuat tongseng dong! Sekalian kamu masak juga!" Meli tanpa basa basi memberikan sejumlah uang kepada Faridah."Bu, maaf! Saya repot mengasuh Keynan, jadi.."Oh! K
"Nek, Keynan mau sosis," Keynan tergiur saat Meli begitu lahap menikmati sosis bersama telur dan beberapa lauk lain sedangkan dirinya hanya mendapat jatah satu telur ceplok."Tidak usah, anak kecil jangan makan banyak-banyak!" Terlihat rakus sekali saat Meli makan. Keynan terpaksa menahan air liur saat makanan kesukaannya dilahap habis oleh Omanya. Sangat berbeda dengan Faridah, Faridah akan selalu mengedepankan cucunya daripada dirinya. Tak berapa lama terdengar deru mobil Weni memasuki halaman rumah. "Heh, Bocah. Kamu masuk ke kamar sekarang! Makan di kamar sekalian!" Keynan terpaksa membawa piringnya ke kamar atas perintah oma nya. Terlihat sekali wajah Weni begitu muram saat pulang kerja."Ma, maaf ya sudah merepotkan mama menjaga Keynan. Emang dasar wanita tak berguna, mengasuh cucunya saja tidak mau!" Weni emosi ketika pulang kerja. Kini dirinya harus mencari Day Care untuk Keynan jika ibunya tak mau kembali. Untuk itu, Weni harus membayar lebih jika Keynan harus dititipkan k
Faridah berpikir sejenak, ada rasa ingin kembali ke kota demi Keynan dan ada rasa ragu ketika harus bersama dengan menantunya."Bu, tolonglah Weni. Keynan tak ada yang menjaga, Bu!" Weni mulai bersandiwara memperlihatkan wajah memelas. Fatma malah mencebik ke arah Weni yang pasang wajah memelas."Kalau Keynan dibawa ke kampung saja bagaimana, Mbak? Disini Keynan bisa belajar mengaji, daripada di kota cuma diem aja di rumah!" Andai tidak sedang bersandiwara, ingin sekali Weni menampar mulut Fatma. "Jangan dong! Masa cucuku mau dibawa ke kampung!" Meli terdengar sewot dengan ucapan Fatma. "Disana juga nggak ada yang jaga, lebih baik di kampung saja!" Ucapan Fatma lagi-lagi memancing emosi Weni dan Meli. Dua wanita beda generasi tersebut saling melirik karena kesal dengan ucapan Fatma."Tidak bisa, Keynan tetap tinggal di kota!" Akhirnya Weni memutuskan jika Keynan tetap di kota. Fatma kembali menyimak ucapan Weni dan Meli."Berikan wantu untuk ibu dulu, Nak. Ibu ingin tinggal di kampu
Teriakan Keynan membuat Weni semakin geram. Bagaimana tidak, Keynan memutuskan tinggal bersama Faridah. "Dengar tuh, Bu. Keynan minta tetap bersama Neneknya tapi Weni tidak setuju kalau tinggal di kampung. Ibu harus kembali tinggal disini!" "Supaya bisa jadi babu gratisan? Ingat, Mbak! Nggak seharusnya Mbak Weni kayak gitu pada ibu!" Fatma angkat bicara membela ibunya. Weni berjalan ke arah Fatma dan tiba-tiba mendorongnya hingga Fatma mundur beberapa langkah ke belakang."Jangan pernah ikut campur urusanku lagi! Tau apa kamu susahnya hidup di kota?" "Aku tak akan ikut campur selama ibu bahagia. Kalau kamu memperlakukan ibu seperti pembantu, aku akan tetap ikut campur!" Fatma mendorong balik Weni. Tenaga Fatma tak kalah besar dari Weni meski postur tubuh Fatma hampir sama dengan Weni."Sudah kalian jangan bertengkar! Ibu akan bawa Keynan ke kampung!" Keputusan Faridah saat itu juga. Meli seakan kebakaran jenggot karena Keynan lebih memilih neneknya dari kampung daripada dirinya. M
Faridah senang sekali masih ada rejeki untuk membayar biaya rumah sakit Keynan. Tak ada perhatian sedikitpun dari Weni selama anaknya di rawat. Hanya Faridah yang selalu menemani Keynan. Fatma sesekali datang membawa baju ganti dan membawa makanan untuk Faridah."Nenek pijit ya," Faridah memijit pelan kaki Keynan, tak lupa dilantunkannya sholawat. Sholawat yang selalu Faridah lantunkan menjadi candu bagi Keynan.Seminggu sudah Keynan dirawat dan keadaan mulai membaik. Faridah memutuskan membawa Keynan pulang ke kampung. Melihat sikap dan rasa tidak peduli semakin membuat Faridah mantap membawa dan merawat Keynan ke kampung."Nanti kalau di kampung, Keynan bisa ikut Paman Ridho mengaji ya?" Keynan tersenyum sambil mengangguk cepat. Keynan bersemangat sekali belajar mengaji. Saat Faridah masih mengasuhnya, Faridah selalu mengaji di samping Keynan membuat Keynan ingin bisa mengaji seperti Faridah."Nek, bagus banget ya?" Faridah tersenyum melihat Keynan penuh semangat melihat pemandangan
Dua hari berselang, tidak ada tanda-tanda Weni mengirim pesan atau sekedar menghubungi Fatma melalui ponselnya. Meski tidak menghubungi namun Fatma tetap khawatir akan rencana yang dilakukan Weni. Apalagi Fatma mencurigai Meli di balik perubahan sikap Weni.Fatma asik mengawasi Keynan bermain dengan teman sebaya di halaman rumah Faridah. Sehari-hari Fatma selalu membantu Faridah menjaga Keynan disaat Faridah sedang bekerja di sawah tetangga atau sedang berjualan sayur di pasar. Ridho bahkan lebih senang karena Fatma memiliki sosok teman yaitu keponakannya sendiri. "Bibi, Keynan capek!" Keynan setengah berlari ke arah Fatma. "Jagoan Bibi lelah ternyata," Fatma menggendong Keynan masuk ke rumah Faridah dan memintanya beristirahat. Wajah Keynan begitu ceria, tidak ada lagi wajah sedih yang biasanya ditunjukkan. Keynan membaringkan tubuhnya di dipan bambu samping jendela. Angin sejuk di siang hari membuat kedua mata Keynan perlahan terpejam. Keynan mudah sekali tidur siang jika berada
Keesokan paginya, Fatma bersama Ridho berangkat ke kantor polisi tempat Faridah ditahan. Fatma begitu bersemangat sekali, berharap Ibunya segera bebas. Sesampai di sana, Faridah terlihat duduk bersila di tahanan sementara. Mulut Faridah hanya bisa berdzikir dan beristighfar atas musibah yang menimpanya. "Lapangkan hati hamba, Ya Allah," gumam Faridah di sela-sela dzikirnya. Fatma diijinkan bertemu dengan Faridah. Pertemuan mengharukan, Faridah memeluk Fatma yang menangis di depannya. Faridah berusaha tetap tegar di depan Fatma. Faridah yakin jika Fatma adalah orang yang paling terpukul atas musibah yang menimpanya. Ridho dan salah satu temannya mengurus kasus Faridah dengan menunjukkan beberapa bukti. Bukan itu saja, rekan Ridho juga berhasil mencari bukti data Keynan di rumah sakit dan puskesmas dalam waktu semalam saja. Beberapa polisi mendalami kasus Faridah sejenak. Memastikan bukti yang dibawa pihak Faridah bisa membebaskan Faridah dari tuduhan palsu. "Ibu, Fatma tidak terima
Hari minggu, kebetulan libur kerja dan Weni sengaja bermalas-malasan di rumah mertuanya. Meli hari ini juga malas bertemu Weni meski sementara waktu tinggal di rumahnya."Ratna, makanan sudah siap?" "Sudah, Nyonya!" Meli membuka tudung saji dan menu sarapan sudah terhidang di meja. Meli gegas menikmati sarapan tanpa memanggil Weni terlebih dahulu. Tiba-tiba Weni keluar dari kamar dan menghampiri meja makan. Melihat Weni rasanya kesal sekali karena gagal mendapatkan sertifikat rumah Faridah."Pagi, Ma!" "Hmm," malas sekali Meli saat menjawab sapaan Weni."Mama selesai makan dan sekarang mau rebahan!""Tumben mama nggak nemenin Weni?" Weni merasa aneh dengan Meli. Biasanya Meli akan menemani sekedar mengobrol bersama Weni di saat makan."Mama lagi nggak mood aja," sahut Meli."Mama ada rencana lagi untuk merebut sertifikat itu kah?" Seketika kedua mata Meli berbinar mendengar ucapan Weni. Meli ingin sekali menguasai uang hasil penjualan rumah milik Faridah. Meli kembali duduk bersama