Share

Bab 4. Kecewa

Sampai menjelang siang, Faridah baru selesai menyiapkan makanan yang diminta Weni. Rendang daging, sop daging dan perkedel Faridah siapkan sendirian. Tak ada niatan bagi Weni untuk membantu ibunya yang berkutata seorang diri di dapur.

"Alhamdulillah selesai," gumam Faridah sambil mengusap peluh usai memasak. Gegas Faridah mandi sebelum melakukan kewajiban shalat dhuhur. Bibir tersenyum ketika melihat Keynan tengah tidur siang setelah makan. Di setiap sujudnya, Faridah tak hentinya mendoakan kebaikan untuk keluarga anak-anaknya.

Prank

Faridah dikejutkan dengan suara pecahan gelas yang berasa dari dapur. Faridah gegas keluar dari kamar dan melihat yang terjadi. Di sana telah berdiri mertua Weni bernama Meli yang tak lain adalah besannya sendiri.

"Lihatlah, Bu Besan! Gelas ini sangat licin sehingga mudah jatuh. Bagaimana anda mencuci gelas ini, bahkan minyak masih menempel di gelas?" Siang ini benar-benar belum bisa istirahat. Besannya datang dan membuat kejutan untuknya. Terlihat besannya melakukan dengan sengaja padahal setiap mencuci piring, Faridah selalu memperhatikan kebersihannya.

"Ma, maafkan saya, Bu Besan. Biar saya bersihkan pecahan gelas ini!" Faridah gegas mengambil sapu dan serok untuk membersihkan pecahan gelas tersebut. Bibir Meli tersenyum puas bisa mengerjai besannya dari kampung. Faridah berusaha tetap sabar dengan semua perlakuan besan dan anaknya sendiri.

"Lain kali yang bersih kalau nyuci!" Tukas Meli sambil berlalu meninggalkan Faridah yang sibuk membersihkan pecahan gelas. Tak ada kata selain istighfar yang bisa dipanjatkan. Meski begitu nyeri di hati namun Faridah berusaha bersikap lapang demi anak dan cucunya. Usai membersihkan pecahan gelas, Faridah ke kamar Keynan sekedar menselonjorkan tubuhnya yang lelah.

Tak berapa lama, Meli bersama anak dan menantunya menikmati makan siang tanpa mengajak Faridah ikut bergabung bersama mereka. Faridah ke kamar Keynan dan mengusap rambut cucu lelakinya sekedar mengalihkan padangannya dari mereka supaya tak ada penyakit hati yang timbul.

"Enak ya masakan ibu kamu?" Weni mengangguk sambil tersenyum atas pujian yang dilontarkan mertuanya. Aris yang kebetulan pulang untuk makan siangpun tak bisa menolak kelezatan masakan Faridah.

"Mulai besok pagi, Mama minta menu yang sama dengan kalian. Jadi ibu kamu harus memasak untuk kami semua!" Faridah mengelus dada mendengar ucapan Meli yang menjadikannya tukang masak di keluarga menantunya. Tak ada kata terima kasih setelah menyantap hasil olahannya melainkan menjadikannya tukang masak setelahnya. Ucapan Meli benar-benar membuat Faridah kesal namun tak busa diungkapkan. Jika diungkapkan pasti Weni akan sanhat marah kepadanya.

"Siap, Ma. Mau bikin makanan apapun, Ibu pasti bisa!" Weni mendukung permintaan mertuanya yang meminta Faridah menjadi tukang masak. Tentu saja Meli kegirangan karena tak perlu ke restoran untuk memesan makanan enak. Cukup memberikan uang seadannya kepada Weni, dirinya dan keluarganya sudah bisa makan enak.

"Ya Allah, berat sekali tugas hambamu ini!" Farudah hanya membatin saja. Tak ada rasa kecewa yang bisa diungkapkan selain dipendam seorang diri.

Tak berapa lama, acara makan siang selesai. Meli membungkus semua lauk yang tersisa di meja. Hanya kuah sop dengan beberapa potongan wortel dan tempe goreng yang disisakan untuk jatah makan siang Faridah.

Ceklek

"Bu, makan sana!" Weni datang ke kamar Keynan dan mengajak ibunya makan. Hatinya berbunga-bunga karena Weni mengajaknya makan.

Faridah tersenyum, bayangan bisa menikmati potongan daging sudah di depan mata. Saat memasaknya, Faridah enggan mengambil sekedar mencicipinya, menunggu makan bersama dengan anak dan menantunya. Sesampai di ruang makan, ternyata hanya dua potong tempe dan kuah sop yang tersisa. Keinginan makan daging musnah sudah, berganti dengan potongan tempe menjadi lauk untuknya.

"Jangan mengeluh karena lauk tempe, semua daging sudah dibawa Mama. Jadi ibu cukup makan sisanya saja!" Sahut Weni sambil berlalu meninggalkan Faridah. Diraihnya centong dan mengisi piringnya dengan nasi, kuah sop dan tempe goreng.

"Kuatkan hambamu, Ya Allah!" Gumam Faridah. Hampir saja air mata memenuhi pelupuk matanya namuj dengan cepat Faridah mengusap supaya tak ketahuan Weni. Faridah menikmati makanan tersebut, sesekali beristighfar supaya bisa kembali tenang.

Usai makan, Faridah melanjutkan pekerjaannya merapikan semua sisa makanan serta mencuci semua piring kotor. Faridah betul-betul memperhatikan kebersihan supaya tak menimbulkan kesalahan lagi.

"Bu, bersihkan taman belakang!" Weni datang ke dapur hanya untuk memberikan tuga untuk Faridah.

"Wen, ibu lelah. Ibu ingin istirahat!" Faridah berharap Weni mau memberikan waktu untuknya beristirahat.

"Alah, bilang aja kalau ibu malas. Taman belakang rumputnya sudah tinggi-tinggi, Bu. Apa ibu tidak kasihan kalau Keynan main ke belakang dan berakhir digigit ular karena rumputnya tinggi?"

Sejenak Faridah berpikir, ucapan Weni ada benarnya juga. Rumput yang tidak dibersihkan akan menjadi sarang ular. Tanpa banyak protes lagi, Faridah mengambil gunting rumput untuk membersihkan taman belakang. Meski tubuhnya begitu lelah namun demi keselamatan Keynan, Faridah berusaha melakukannya.

Tak berapa lama, rumput sudah bersih. Faridah menyandarkan tubuhnya di pohon mangga yang sejuk. Karena sangat lelah, Faridah tertidur di bawah pohon.

"Malah tidur, pekerjaan masih banyak padahal!" Weni melihat Faridah tertidur dari balkon lantai dua. Gegas Weni turun dan menghampiri Faridah yang tertidur di bawah pohon.

"Bu, bangun dong! Masih banyak pekerjaan buat ibu!" Bentakan Weni membangun Faridah yang tengah terlelap.

"I, iya, Wen. Ibu lelah sekali. Ibu mohon berikan waktu untuk istirahat!" Seorang ibu sedang memohon kepada anaknya namun Weni hanya mencebik ke arah ibunya.

"Baik, Weni beri waktu istirahat dua jam setelah itu bersihkan lantai dua!"

Weni berbalik dan berlalu meninggalkan Faridah. Faridah bangkit hendak ke kamar sekedar bisa merebahkan bobot tubuhnya yang kepayahan. Begitu nikmat sekali merebahkan tubuh di saat lelah. Ucapan rasa syukur dipanjatkan atas nikmat yang diberikan.

"Semoga kelak jika sudah dewasa, kamu bisa menjadi anak yang penyayang," dibelainya lagi rambut Keynan sembari melantunkan doa untuk Keynan. Perlahan kedua mata Farida mulai terlelap. Tak ada doa keburukan meskipun Weni selalu memperlakukannya layaknya pembantu.

Weni berkeliling sekitar rumahnya untuk mencari sesuatu yang bisa dikerjakan ibunya. Weni sengaja memberikan tugas berat demi bisa mengirit ongkos membayar asisten rumah tangga.

"Semua sudah rapi dan bersih. Sebaiknya aku baca majalah!" Baru saja kaki melangkah hendak meraih majalah di meja, kaki Weni tersandung batu hingga jatuh tersungkur.

Aduh

Kaki Weni berdarah cukup banyak, meski hanya sebuah batu kecil yang membuarnya tersandung.

"Banyak sekali darahnya!" Darah terlihat berceceran saat Weni berusaha melangkahkan kaki meski terasa sangat perih.

"Ah!" Weni mendesah menahan nyeri di jari kakinya.

"Bu, ibu!"

"Dasar, ibu tak berguna!" Tak sahutan sama sekali dari Faridah. Terpaksa Weni berjalan tertatih-tatih mengambil kotak obat. Diraihnya antiseptik dan kasa untuk mengobati luka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status