Share

Bab 2. Kurang Ajar

Panggilan kedua tak ada sahutan dari Weni. Terpaksa Faridah mengambil kembali secarik kertas berisi nomor telepon Fatma memanggilnya untuk meminta bantuan. Tak ada lagi yang bisa dimintai bantuan kecuali Fatma.

"Fat, ini ibu. Ibu boleh minta bantuan padamu?"

"Ibu kenapa, kok sepertinya ibu sedang kesulitan," Fatma berhasil menebak kondisi Faridah saat ini.

"Tolong jualkan gelang emas yang ibu titipkan padamu. Keynan sakit dan harus dirawat sedangkan Kakakmu dari tadi tak bisa dihubungi!"

"Ba, baik, Bu." Tanpa banyak alasan, Fatma segera menjual gelang emas milik ibunya yang dititipkan kepadanya sebelum berangkat ke kota bersama Weni.

Hari semakin sore dan Weni tak kunjung datang ke puskesmas. Bahkan seharian perut Faridah belum terisi makanan apapun. Tak berapa lama Fatma datang bersama suaminya membesuk Keynan. Tak lupa Fatma membawa hasil penjualan gelang dan akan menyerahkannya kepada Ibunya. Faridah cukup lega melihat kedatangan Fatma.

"Assalamu alaikum, Bu!" Fatma dan Ridho mencium punggung telapak tangan ibunya. Perjalanan dari kampung ke kota hanya memakan waktu dua jam perjalanan.

"Waalaikum salam. Maafkan ibu merepotkan kalian, Nak," Faridah sendiri tak sampai hati sebenarnya meminta Fatma datang ke kota mengantarkan uang. Namun keadaan tak bisa berpaling hingga terpaksa meminta bantuan Fatma.

"Bu, ini nasi kuning untuk ibu makan. Tadi Ridho dapat dari wali murid yang sedang merayakan anaknya khatam Al Quran," sahut Ridho seraya memberikan satu kantong plastik berwarna hitam kepada Fatma. Jujur saja, hati Fatma teriris melihat kebaikan anak keduanya meski keadaannya cukup sulit.

"Terima kasih, Nak. Semoga kehidupan kalian selalu diberkahi Allah," hampir saja Faridah menitikkan air matanya.

"Aamiin, terima kasih, Bu. Hanya doa ibu yang akan memberikan beribu-ribu kebaikan kepada keluarga kami!" Sahut Ridho.

"Mama," suara Keynan terdengar lemah sedang memanggil ibunya. Hingga menjelang malam, Weni dan Arif sama sekali belum terlihat batang hidungnya. Faridah mencoba menenangkan Keynan sedangkan Fatma kembali menghubungi kakaknya. Berkali-kali panggilan darinya diabaikan bahkan ditolak begitu saja.

"Tidak diangkat, Bu!" Lutut Faridah terasa lemas dengan keadaan Keynan yang memanggil ibunya tanpa henti.

"Biar Fatma yang datang ke rumah Mbak Weni, Bu!" Ridho setuju dengan usulan istrinya.

Gegas Ridho dan Fatma menuju ke kediaman kakaknya dengan menggunakan motor bebek milik Ridho. Betapa terkejutnya ketika sampai di rumah Weni, rumah terdengar begitu ramai. Seperti sedang ada acara di rumahnya.

"Apa kita tidak salah rumah, Dek?" Ridho ragu melihat rumah Weni. Tak mungkin mengadakan acara di saat anaknya sedang dirawat di rumah sakit.

"Tidak, Mas. Itu ada mobil milik Mbak Weni. Pasti sedang ada acara di sini!" Fatma tak peduli dengan sikap kakaknya setelah kedatangannya.

Tok tok

Fatma mengetuk daun pintu yang terbuka sambil melihat penampilan Weni saat ini. Layaknya sedang ada sebuah pesta kecil di ruang tamu. Kakak iparnya juga berada di sana mengobrol dengan rekannya juga.

"Fatma, kenapa kamu kesini?" Weni melihat penampilan Fatma dari atas kebawah. Meski bersaudara, penampilan mereka sangat berbeda. Fatma memakai rok panjang dan kemeja panjang, tak lupa jilnab ukuran besar dia kenakan.

"Kak, Keynan sakit dan sekarang dirawat!" Fatma tak melihat rasa khawatir di wajah Weni.

"Oh! Yang penting dia dirawat dengan baik sama Dokter kan?" Ucapan Weni sama sekali membuat Fatma tak percaya. Setega itukah Weni kepada Keynan, anak kandungnya sendiri?

"Tapi, Kak!"

"Sudahlah, pergi sana! Lagian kedatanganmu kesini cukup memalukan. Penampilanmu kayak gembel begitu!" Weni mendorong Fatma hingga mundur beberapa langkah. Fatma berusaha menenangkan dirinya atas tindakan Weni padanya. Bahkan pintu yang tadinya dibiarkan terbuka kini ditutup sempurna layaknya kedatangan seorang pengemis.

Fatma kecewa, berkali-kali mengusap dadanya supaya lebih tenang. Ridho bahkan tak menyangka jika kakak iparnya bisa setega itu kepada anaknya. Ridho dan Fatma kembali ke rumah sakit membawa kekecewaan dan rasa sedih. Keynan sangat membutuhkan ibunya namun sama sekali kedua orang tuanya tak ada yang peduli.

Faridah sudah tahu jawabannya ketika Fatma dan Ridho datang tanpa diikuti Weni dan Aris. Hanya nafas besar yang bisa dihembuskan. Keyna sudah lebih tenang karena Faridah menenangkannya.

"Kakakmu tak mau datang?" Fatma hanya menggeleng pelan. Dibelainya rambut Keynan yang sudah lelap dalam tidurnya. Hampir tuga tahun semenjak keguguran di kehamilan pertama, Fatma belum lagi diamanahkan untuk hamil lagi. Hanya doa yang dipanjatkan setiap malam demi mendapatkan seorang buah hati dalam pernikahannya. Fatma menceritakan perlakuan kakaknya kepada dirinya saat dia datang.

Ridho dan Fatma malam ini menemani Faridah menginap di Puskesmas. Meski tak nyaman karena harus tidur di lantai namun Faridah cukup tenang bisa bersama cucunya.

Keesokan harinya, Faridah berharap Weni datang membesuk anaknya namun sama sekali tidak ada tanda-tanda kedatangan Weni dan Aris. Ridho segera membeli sarapan untuk ibu mertua dan istrinya.

"Nak, meskipun kelak hidup kalian bergelimang harta, jangan pernah lupakan ibadah dan keluarga kalian!" Ridho mengangguk dan tersenyum mendengar nasihat ibu mertuanya.

"Bu, maafkan Ridho karena hari ini ada tugas mengajar. Biar Fatma yang menemani Ibu menjaga Keynan."

Faridah memahami kesibukan menantunya sebagai pengajar. Meski penghasilan tak seberapa namun Ridho cukup amanah dan menjadi guru favorit di tempatnya mengajar. Kegiatan mengaji yang diadakan di lembaga pendidikan cukup memudahkan Ridho untuk berdakwah. Tak jarang, Ridho sering diundang untuk memberikan tausiah di beberapa pengajian.

Kini tinggal Fatma dan Faridah menemani Keynan. Meski suhunya tak setinggi kemarin namun Faridah tetap tak bisa tenang sebelum Keynan benar-benar sehat.

"Bu, apakah Fatma harus datang ke rumah Mbak Weni lagi?" Berharap Weni bisa berubah pikiran dan datang membesuk anaknya.

"Biarkan saja. Seandainya naluri seorang ibu dia miliki, pasti dari kemarin dia akan datang. Bukan malah membuat pesta di rumahnya saat Keynan sakit."

Hati Faridah benar-benar kecewa dengan sikap Weni yang selalu mengabaikan anaknya sendiri. Dokter datang dan memeriksa rutin keadaan Keynan.

"Bagaimana keadaanya, Dok?" Faridah ingin tahu keadaan Keynan selanjutnya.

"Suhunya perlahan turun. Jika besok suhunya kembali normal maka bisa diperbolehkan pulang!" Keadaan Keynan yang terus membaik memberikan semangat pada Faridah.

Sore hari, Faridah dan Fatma dikejutkan kedatangan Weni tiba-tiba. Tatapan Weni terlihat tidak suka kepada Fatma. Faridah senang sekali ketika Weni telah berubah pikiran untuk mendampingi anaknya di puskesmas.

"Nih, makan untuk kalian berdua!" Weni melempar begitu saja satu kantong plastik ke arah Faridah dan Fatma. Hati Faridah hancur melihat anak yang dulu mengeyam pendidikan tertinggi dan kini sikapnya mirip orang tak pernah sekolah.

"Mbak, jangan lempar..

"Stop! Kamu kesini sengaja mendekati ibu demi warisan kan?" Bagai disambar petir mendengar tuduhan kakaknya sendiri. Apalagi soal warisan seperti yang diucapkan.

Apa yang akan diucapkan Fatma?

Nantikan bab selanjutnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status