Panggilan kedua tak ada sahutan dari Weni. Terpaksa Faridah mengambil kembali secarik kertas berisi nomor telepon Fatma memanggilnya untuk meminta bantuan. Tak ada lagi yang bisa dimintai bantuan kecuali Fatma.
"Fat, ini ibu. Ibu boleh minta bantuan padamu?""Ibu kenapa, kok sepertinya ibu sedang kesulitan," Fatma berhasil menebak kondisi Faridah saat ini."Tolong jualkan gelang emas yang ibu titipkan padamu. Keynan sakit dan harus dirawat sedangkan Kakakmu dari tadi tak bisa dihubungi!""Ba, baik, Bu." Tanpa banyak alasan, Fatma segera menjual gelang emas milik ibunya yang dititipkan kepadanya sebelum berangkat ke kota bersama Weni.Hari semakin sore dan Weni tak kunjung datang ke puskesmas. Bahkan seharian perut Faridah belum terisi makanan apapun. Tak berapa lama Fatma datang bersama suaminya membesuk Keynan. Tak lupa Fatma membawa hasil penjualan gelang dan akan menyerahkannya kepada Ibunya. Faridah cukup lega melihat kedatangan Fatma."Assalamu alaikum, Bu!" Fatma dan Ridho mencium punggung telapak tangan ibunya. Perjalanan dari kampung ke kota hanya memakan waktu dua jam perjalanan."Waalaikum salam. Maafkan ibu merepotkan kalian, Nak," Faridah sendiri tak sampai hati sebenarnya meminta Fatma datang ke kota mengantarkan uang. Namun keadaan tak bisa berpaling hingga terpaksa meminta bantuan Fatma."Bu, ini nasi kuning untuk ibu makan. Tadi Ridho dapat dari wali murid yang sedang merayakan anaknya khatam Al Quran," sahut Ridho seraya memberikan satu kantong plastik berwarna hitam kepada Fatma. Jujur saja, hati Fatma teriris melihat kebaikan anak keduanya meski keadaannya cukup sulit."Terima kasih, Nak. Semoga kehidupan kalian selalu diberkahi Allah," hampir saja Faridah menitikkan air matanya."Aamiin, terima kasih, Bu. Hanya doa ibu yang akan memberikan beribu-ribu kebaikan kepada keluarga kami!" Sahut Ridho."Mama," suara Keynan terdengar lemah sedang memanggil ibunya. Hingga menjelang malam, Weni dan Arif sama sekali belum terlihat batang hidungnya. Faridah mencoba menenangkan Keynan sedangkan Fatma kembali menghubungi kakaknya. Berkali-kali panggilan darinya diabaikan bahkan ditolak begitu saja."Tidak diangkat, Bu!" Lutut Faridah terasa lemas dengan keadaan Keynan yang memanggil ibunya tanpa henti."Biar Fatma yang datang ke rumah Mbak Weni, Bu!" Ridho setuju dengan usulan istrinya.Gegas Ridho dan Fatma menuju ke kediaman kakaknya dengan menggunakan motor bebek milik Ridho. Betapa terkejutnya ketika sampai di rumah Weni, rumah terdengar begitu ramai. Seperti sedang ada acara di rumahnya."Apa kita tidak salah rumah, Dek?" Ridho ragu melihat rumah Weni. Tak mungkin mengadakan acara di saat anaknya sedang dirawat di rumah sakit."Tidak, Mas. Itu ada mobil milik Mbak Weni. Pasti sedang ada acara di sini!" Fatma tak peduli dengan sikap kakaknya setelah kedatangannya.Tok tokFatma mengetuk daun pintu yang terbuka sambil melihat penampilan Weni saat ini. Layaknya sedang ada sebuah pesta kecil di ruang tamu. Kakak iparnya juga berada di sana mengobrol dengan rekannya juga."Fatma, kenapa kamu kesini?" Weni melihat penampilan Fatma dari atas kebawah. Meski bersaudara, penampilan mereka sangat berbeda. Fatma memakai rok panjang dan kemeja panjang, tak lupa jilnab ukuran besar dia kenakan."Kak, Keynan sakit dan sekarang dirawat!" Fatma tak melihat rasa khawatir di wajah Weni."Oh! Yang penting dia dirawat dengan baik sama Dokter kan?" Ucapan Weni sama sekali membuat Fatma tak percaya. Setega itukah Weni kepada Keynan, anak kandungnya sendiri?"Tapi, Kak!""Sudahlah, pergi sana! Lagian kedatanganmu kesini cukup memalukan. Penampilanmu kayak gembel begitu!" Weni mendorong Fatma hingga mundur beberapa langkah. Fatma berusaha menenangkan dirinya atas tindakan Weni padanya. Bahkan pintu yang tadinya dibiarkan terbuka kini ditutup sempurna layaknya kedatangan seorang pengemis.Fatma kecewa, berkali-kali mengusap dadanya supaya lebih tenang. Ridho bahkan tak menyangka jika kakak iparnya bisa setega itu kepada anaknya. Ridho dan Fatma kembali ke rumah sakit membawa kekecewaan dan rasa sedih. Keynan sangat membutuhkan ibunya namun sama sekali kedua orang tuanya tak ada yang peduli.Faridah sudah tahu jawabannya ketika Fatma dan Ridho datang tanpa diikuti Weni dan Aris. Hanya nafas besar yang bisa dihembuskan. Keyna sudah lebih tenang karena Faridah menenangkannya."Kakakmu tak mau datang?" Fatma hanya menggeleng pelan. Dibelainya rambut Keynan yang sudah lelap dalam tidurnya. Hampir tuga tahun semenjak keguguran di kehamilan pertama, Fatma belum lagi diamanahkan untuk hamil lagi. Hanya doa yang dipanjatkan setiap malam demi mendapatkan seorang buah hati dalam pernikahannya. Fatma menceritakan perlakuan kakaknya kepada dirinya saat dia datang.Ridho dan Fatma malam ini menemani Faridah menginap di Puskesmas. Meski tak nyaman karena harus tidur di lantai namun Faridah cukup tenang bisa bersama cucunya.Keesokan harinya, Faridah berharap Weni datang membesuk anaknya namun sama sekali tidak ada tanda-tanda kedatangan Weni dan Aris. Ridho segera membeli sarapan untuk ibu mertua dan istrinya."Nak, meskipun kelak hidup kalian bergelimang harta, jangan pernah lupakan ibadah dan keluarga kalian!" Ridho mengangguk dan tersenyum mendengar nasihat ibu mertuanya."Bu, maafkan Ridho karena hari ini ada tugas mengajar. Biar Fatma yang menemani Ibu menjaga Keynan."Faridah memahami kesibukan menantunya sebagai pengajar. Meski penghasilan tak seberapa namun Ridho cukup amanah dan menjadi guru favorit di tempatnya mengajar. Kegiatan mengaji yang diadakan di lembaga pendidikan cukup memudahkan Ridho untuk berdakwah. Tak jarang, Ridho sering diundang untuk memberikan tausiah di beberapa pengajian.Kini tinggal Fatma dan Faridah menemani Keynan. Meski suhunya tak setinggi kemarin namun Faridah tetap tak bisa tenang sebelum Keynan benar-benar sehat."Bu, apakah Fatma harus datang ke rumah Mbak Weni lagi?" Berharap Weni bisa berubah pikiran dan datang membesuk anaknya."Biarkan saja. Seandainya naluri seorang ibu dia miliki, pasti dari kemarin dia akan datang. Bukan malah membuat pesta di rumahnya saat Keynan sakit."Hati Faridah benar-benar kecewa dengan sikap Weni yang selalu mengabaikan anaknya sendiri. Dokter datang dan memeriksa rutin keadaan Keynan."Bagaimana keadaanya, Dok?" Faridah ingin tahu keadaan Keynan selanjutnya."Suhunya perlahan turun. Jika besok suhunya kembali normal maka bisa diperbolehkan pulang!" Keadaan Keynan yang terus membaik memberikan semangat pada Faridah.Sore hari, Faridah dan Fatma dikejutkan kedatangan Weni tiba-tiba. Tatapan Weni terlihat tidak suka kepada Fatma. Faridah senang sekali ketika Weni telah berubah pikiran untuk mendampingi anaknya di puskesmas."Nih, makan untuk kalian berdua!" Weni melempar begitu saja satu kantong plastik ke arah Faridah dan Fatma. Hati Faridah hancur melihat anak yang dulu mengeyam pendidikan tertinggi dan kini sikapnya mirip orang tak pernah sekolah."Mbak, jangan lempar.."Stop! Kamu kesini sengaja mendekati ibu demi warisan kan?" Bagai disambar petir mendengar tuduhan kakaknya sendiri. Apalagi soal warisan seperti yang diucapkan.Apa yang akan diucapkan Fatma?Nantikan bab selanjutnya.Tuduhan atas warisan membuat Fatma sakit hati. Tak ada niatan sedikitpun datang menemani ibunya demi warisan seperti yang dituduhkan. Hanya kesehatan Faridah yang selalu ada di setiap doanya, selain itu Fatma tak menginginkannya."Nggak usah sok baik deh, Fat. Kamu sengaja kan demi warisan ibu!""Hentikan ucapanmu, Weni! Kamu sudah sangat keterlaluan!" Faridah akhirnya angkat bicara karena ucapan Weni."Ibu selalu bela dia," Weni melipat tangannya di dada tanpa melihat Keynan sama sekali. Perlahan kedua mata Keynan mengerjab, bibirnya tersenyum ketika melihat ibunya sudah berada di depannya."Mama," Weni hanya melihatnya saja tanpa menghampiri atau memberikan pelukan untuk Keynan."Mama," Keynan berharap Weni menghampirinya. Keynan sangat merindukan ibunya sendiri."Kamu juga, anak bisanya nyusahin aja! Pakai sakit lagi!" "Astagfirullah!" Gumam Fatma dan Faridah bersamaan.Harapan mendapat pelukan dari ibunya hancur sudah ketika ucapan menyakitkan keluar dari mulut ibunya. Keynan han
Sampai menjelang siang, Faridah baru selesai menyiapkan makanan yang diminta Weni. Rendang daging, sop daging dan perkedel Faridah siapkan sendirian. Tak ada niatan bagi Weni untuk membantu ibunya yang berkutata seorang diri di dapur."Alhamdulillah selesai," gumam Faridah sambil mengusap peluh usai memasak. Gegas Faridah mandi sebelum melakukan kewajiban shalat dhuhur. Bibir tersenyum ketika melihat Keynan tengah tidur siang setelah makan. Di setiap sujudnya, Faridah tak hentinya mendoakan kebaikan untuk keluarga anak-anaknya.PrankFaridah dikejutkan dengan suara pecahan gelas yang berasa dari dapur. Faridah gegas keluar dari kamar dan melihat yang terjadi. Di sana telah berdiri mertua Weni bernama Meli yang tak lain adalah besannya sendiri. "Lihatlah, Bu Besan! Gelas ini sangat licin sehingga mudah jatuh. Bagaimana anda mencuci gelas ini, bahkan minyak masih menempel di gelas?" Siang ini benar-benar belum bisa istirahat. Besannya datang dan membuat kejutan untuknya. Terlihat besan
"Astagfirullah, aku bangun terlambat. Harusnya aku tidur dua jam saja kenapa malah sampai tiga jam? Bagaimana kalau Weni marah?" Faridah gelagapan takut Weni akan memarahinya. Faridah gegas menyiapkan makan malam, sedangkan Keynan bermain sendiri di kamar. Keynan tak pernah mengganggu pekerjaan neneknya.Weni juga tertidur akibat meminum obat pereda nyeri. Faridah bersyukur karena Weni tak sampai memarahinya karena terlambat bangun. Diambilnya beberapa bahan makanan yang akan digunakan untuk menu makan malam. Tak berapa lama menu makan malam selesai, kini Faridah harus memandikan Keynan dan menyuapi setelah mandi. "Cucu nenek sudah ganteng!" Senyum Keynan mengembang karena Faridah selalu memberikan perhatian dan kasih sayang kepada Keynan. Meski lelah namun melihat Keynan tersenyum, sudah cukup membuatnya bahagia."Bu!" Teriakan Weni menggema di penjuru ruangan. Gegas Faridah segera menghampiri Weni setelah mengurus Keynan."Ada apa, Wen?" Wajah Weni memperlihatkan amarah yang besar,
Tanpa dikomando, air mata yang ditahan sedari tadi akhirnya jatuh juga. Weni sama sekali tak kasihan kepada ibu kandungnya yang dipermalukan di depan teman ibu mertuanya."Ya sudah, kembali masuk kedalam, Faridah!" Faridah gegas ke dapur. Ratna geram melihat majikan serta menantunya tak memiliki hati sama sekali. Tega sekali menghina Faridah tanpa mau tahu perasaannya.Ratna memergoki Faridah menangis di teras belakang. Ratna memahami saat ini hati Faridah benar-benar hancur."Bu, apakah tidak ada lagi keluarga ibu yang lain?" Faridah merasakan pelukan hangat dari perempuan muda seusia Fatma."Ibu sebenarnya punya satu anak lagi namun ibu tidak mau merepotkan mereka."Teringat kehidupan Fatma serba pas pasan namun tak pernah sama sekali mengeluh atau meminta bantuan kepada ibunya sendiri. Fatma hanya berbelanja sesuai kebutuhan, kebutuhan sayur dan beberapa bumbu sengaja ditanam sendiri di halaman belakang rumahnya. "Ratna kesal melihat Bu Faridah dihina terus seperti ini, andai Bu F
"Ibu nggak perlu mengada-ngada deh, apa Ibu mau hidup merepotkan Fatma yang penghasilan suaminya aja kurang!" Sengaja Weni mengintimidasi Faridah supaya mau menyetujui permintaannya. "Tapi itu kenangan ayahmu!" Faridah mencoba memberi pengertian pada Weni. Weni tak melanjutkan perdebatan dan pergi bekerja begitu saja. Faridah terisak, Weni begitu keras kepala tanpa memahami perasaanya. Disinilah Faridah mulai bimbang, ucapan Weni benar-benar menguji pendirian Faridah. Tidak mungkin dirinya tinggal di kampung dan merepotkan Fatma. Tinggal sendirian di rumah peninggalan suaminya seorang diri pun tak akan mungkin. Fatma pasti akan tahu keadaanya dan membawanya tinggal bersamanya.Hanya istigfar yang bisa diucapkan. Tak berselang lama, Meli datang ke rumah Weni seakan seperti rumahnya sendiri."Faridah, belanjakan bahan untuk membuat tongseng dong! Sekalian kamu masak juga!" Meli tanpa basa basi memberikan sejumlah uang kepada Faridah."Bu, maaf! Saya repot mengasuh Keynan, jadi.."Oh! K
"Nek, Keynan mau sosis," Keynan tergiur saat Meli begitu lahap menikmati sosis bersama telur dan beberapa lauk lain sedangkan dirinya hanya mendapat jatah satu telur ceplok."Tidak usah, anak kecil jangan makan banyak-banyak!" Terlihat rakus sekali saat Meli makan. Keynan terpaksa menahan air liur saat makanan kesukaannya dilahap habis oleh Omanya. Sangat berbeda dengan Faridah, Faridah akan selalu mengedepankan cucunya daripada dirinya. Tak berapa lama terdengar deru mobil Weni memasuki halaman rumah. "Heh, Bocah. Kamu masuk ke kamar sekarang! Makan di kamar sekalian!" Keynan terpaksa membawa piringnya ke kamar atas perintah oma nya. Terlihat sekali wajah Weni begitu muram saat pulang kerja."Ma, maaf ya sudah merepotkan mama menjaga Keynan. Emang dasar wanita tak berguna, mengasuh cucunya saja tidak mau!" Weni emosi ketika pulang kerja. Kini dirinya harus mencari Day Care untuk Keynan jika ibunya tak mau kembali. Untuk itu, Weni harus membayar lebih jika Keynan harus dititipkan k
Faridah berpikir sejenak, ada rasa ingin kembali ke kota demi Keynan dan ada rasa ragu ketika harus bersama dengan menantunya."Bu, tolonglah Weni. Keynan tak ada yang menjaga, Bu!" Weni mulai bersandiwara memperlihatkan wajah memelas. Fatma malah mencebik ke arah Weni yang pasang wajah memelas."Kalau Keynan dibawa ke kampung saja bagaimana, Mbak? Disini Keynan bisa belajar mengaji, daripada di kota cuma diem aja di rumah!" Andai tidak sedang bersandiwara, ingin sekali Weni menampar mulut Fatma. "Jangan dong! Masa cucuku mau dibawa ke kampung!" Meli terdengar sewot dengan ucapan Fatma. "Disana juga nggak ada yang jaga, lebih baik di kampung saja!" Ucapan Fatma lagi-lagi memancing emosi Weni dan Meli. Dua wanita beda generasi tersebut saling melirik karena kesal dengan ucapan Fatma."Tidak bisa, Keynan tetap tinggal di kota!" Akhirnya Weni memutuskan jika Keynan tetap di kota. Fatma kembali menyimak ucapan Weni dan Meli."Berikan wantu untuk ibu dulu, Nak. Ibu ingin tinggal di kampu
Teriakan Keynan membuat Weni semakin geram. Bagaimana tidak, Keynan memutuskan tinggal bersama Faridah. "Dengar tuh, Bu. Keynan minta tetap bersama Neneknya tapi Weni tidak setuju kalau tinggal di kampung. Ibu harus kembali tinggal disini!" "Supaya bisa jadi babu gratisan? Ingat, Mbak! Nggak seharusnya Mbak Weni kayak gitu pada ibu!" Fatma angkat bicara membela ibunya. Weni berjalan ke arah Fatma dan tiba-tiba mendorongnya hingga Fatma mundur beberapa langkah ke belakang."Jangan pernah ikut campur urusanku lagi! Tau apa kamu susahnya hidup di kota?" "Aku tak akan ikut campur selama ibu bahagia. Kalau kamu memperlakukan ibu seperti pembantu, aku akan tetap ikut campur!" Fatma mendorong balik Weni. Tenaga Fatma tak kalah besar dari Weni meski postur tubuh Fatma hampir sama dengan Weni."Sudah kalian jangan bertengkar! Ibu akan bawa Keynan ke kampung!" Keputusan Faridah saat itu juga. Meli seakan kebakaran jenggot karena Keynan lebih memilih neneknya dari kampung daripada dirinya. M