"Bu, sarapannya udah siap, belum?" Weni turun dari lantai dua untuk memeriksa semua pekerjaan ibunya, seperti memandikan Keynan, anak lelaki Weni berusia tiga tahun. Pekerjaan Bu Faridah di rumah anaknya sendiri seperti pembantu dan pemgasuh.
Pagi-pagi buta, Bu Faridah sudah berkutat dengan pekerjaan rumah dua lantai ini. Meski sudah berusia lanjut namun pekerjaan berat masih tetap menunggunya. Weni adalah anak kandung Bu Faridah"Belum Wen. Ibu tidak sempat karena Keynan rewel terus. Wen, lihatlah Keynan. Dari tadi Keynan rewel terus, sepertinya lagi kurang enak badan. Apa tidak sebaiknya kamu bawa periksa ke rumah sakit? Ibu khawatir, Wen," Bu Faridah sangat khawatir ketika melihat Rendy sedari tadi muntah dan demam."Bu, maaf ya. Hari ini aku ada meeting dan tidak bisa ditinggal, Bu. Ibu saja deh yang bawa Keynan ke puskesmas terdekat. Lagian juga Keynan sebentar lagi juga sehat."Weni sepertinya tidak menghiraukan keadaan anak lelakinya yang berusia tiga tahun, bahkan menggendongpun tidak dia lakukan. Menggendong Keynan jika ada mertuanya saja agar terlihat seperti Ibu yang menyayangi anaknya di depan mertuanya.Sebenarnya kehidupan Weni, Fatma dan Ibunya cukup sederhana di desa. Rumah kayu dan tanah yang luas serta beberapa lahan sawah warisan almarhum ayahnya. Weni bersemangat sekali ketika diijinkan menempuh pendidikan di sebuah Universitas di Jakarta karena termasuk salah satu mahasiswa yang mendapat beasiswa di Universitas tersebut. Ketika lulus kuliah Weni diterima kerja di salah satu perusahaan besar dan bertemu dengan suaminya bernama Aris yang pada saat itu bekerja sebagai manajer di induk perusahaan tempat Weni bekerja. Hanya saja kehidupan Weni berubah setelah mendapatkan semua yang diinginkan seperti rumah dan pekerjaan tetap.Namun berbeda dengan Fatma, atas permintaan mendiang ayahnya, Fatma terpaksa masuk pesantren sejak lulus sekolah dasar. Fatma menikah dengan seorang pemuda yang berprofesi sebagai guru mengaji. Pendapatannya juga hanya seikhlasnya dari orang tua siswanya. Tak jarang ketika Weni bertemu Fatma, hanya cemoohan yang dilontarkan apalagi kepada suami Fatma."Tapi Wen, Puskesmas itu antri lama, Ibu khawatir sama Keynan. Lihatlah, suhu badannya sangat tinggi! Ibu khawatir dengan keadaan seperti ini." Bukannya menghiraukan Ibunya yang sedang khawatir, Weni malah asik merapikan kerah bajunya. Terdengar kembali tangisan Keynan di gendongan Faridah."Lihatlah dia mulai rewel lagi!" Faridah kembali menidurkan Keynan di ranjangnya dan mengambil handuk untuk mengompres dahi Keynan."Aduh, ibu berisik amat sih! sudah bawa saja ke Puskesmas terdekat, kalau ke rumah sakit biayanya mahal."Ucapan Weni sangat membuat Faridah kecewa, selama ini Faridah mendidik Weni supaya menjadi anak yang pengasih bukan egois dan seenak hati dalam bertindak, apalagi pada Keynan, anak kandungnya sendiri."Tapi, Wen!" Faridah berharap jika Weni mau meluangkan waktu untuk Keynan yang sedang sakit namun Weni malah memutar bola matanya dengan malas bahkan berkacak pinggang di depan Faridah."Daripada bicara terus dan bikin mood Weni berantakan, mendingan ibu sekarang siap - siap ke puskesmas naik becak. Nih uangnya buat naik becaknya!" Weni memberikan uang lima puluh ribu untuk transport naik becak. Hati Faridah bergerimis melihat sikap anaknya seakan pelit dan mengabaikan kesehatan anak kandungnya. Terpaksa demi sang cucu, Faridah segera menggendong Keynan supaya segera sampai ke Puskesmas."Iya Wen, ibu akan bawa Keynan ke puskesmas sekarang," terpaksa Faridah membawa Keynan ke puskesmas terdekat. Jika mempunyai uang lebih, Faridah ingin sekali membawanya ke rumah sakit demi pengobatan cucunya."Ma, sarapannya sudah siap, belum?" suara Aris suami Weni yang turun kebawah."Sarapan di luar saja hari ini, Mas. Ibu tidak masak hari ini, Keynan rewel karena demam tinggi," tidak ada guratan kekhawatiran dari raut wajah Aris maupun Weni. Mereka mulai sibuk dengan kegiatannya. Rendy anak pertama mereka namun tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuannya. Hanya Faridah yang menyayangi Keynan. Tidak hanya mengasuh Keynan, Faridah juga harus mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga di rumah Weni seperti seorang pembantu yang merangkap menjadi baby sitter."Wen. Ibu boleh tidak, ikut menumpang sampai puskesmas, supaya lebih cepat membawa Keynan ke sana," Faridah berharap jika Weni bersedia memberikan tumpangan padanya dan bisa lebih cepat sampai."Apa, Bu?" Kedua matanya membola sempurna saat Faridah yang tak lain adalah Ibunya sendiri ingin meminta antar untuk ke Puskesmas.Faridah sudah paham dengan sikap Weni melalui ekspresinya. Faridah lebih baik diam daripada melanjutkan ucapannya dan membuat anak perempuannya marah."Apa aku tidak salah dengar?" Faridah tetap tidak membuka suara lagi melihat sikap putrinya sendiri."Tadi ibu sudah Weni beri uang untuk naik becak ke Puskesmas. Kenapa masih harus menumpang pada Weni?" Faridah terkejut dengan jawaban Weni. Ya, sangat terkejut dengan ucapan Weni yang mencengangkan. Weni lebih suka Ibu dan anaknya naik becak dari pada mengantarkannya menggunakan mobil."Tapi, Weni. Keynan anak kamu, apa kamu tidak kasihan sama Keynan?" Faridah berharap ada rasa belas kasihan Weni kepada Keynan."Ibu, sebenarnya Weni mengajak Ibu ke kota karena Weni tidak suka pakai jasa pembantu dan baby sitter."Bagai disambar petir di siang hari setelah mendengar jawaban Weni atas alasannya mengajak Faridah ke kota. Faridah mengira jika Weni akan menjadikannya Ibu sesungguhnya namun ternyata tak lebih dari seorang pembantu.Faridah terpaksa mengikuti ajakan Weni karena kondisi Fatma di kampung tak semulus keadaan Weni. Fatma meminta ibunya tetap di kampung supaya bisa merawatnya di masa tuanya. Apalagi janji manis Weni kepada Faridah yang akan menjadikannya ratu di rumahnya.Semua hanya perkiraan saja, tak ada yang tahu sama sekali apa yang akan terjadi setelahnya. Terpaksa Faridah berjalan sesekali menoleh ke kanan berharap ada becak melintas. Kebetulan sekali ada becak mangkal dekat pos satpam komplek. Gegas Faridah memintanya untuk mengantarkannya ke puskesmas.Sejenak Faridah melupakan perkataan Weni karena sedari tadi Keynan menangis. Demamnya juga semakin tinggi apalagi sejak kemarin tidak mau makan sama sekali. Sesampai di puskesmas, Faridah segera mendaftar dan membawa ke UGD. Keadaan Keynan benar-benar sangat mengkhawatirkan.Usai diperiksa, Dokter menyarankan untuk opname. Demi kesehatan Keynan, Faridah menyetujui anjuran Dokter karena Keynan didiagnosa Typus (tipes)"Dok, boleh saya pinjam ponselnya untuk menghubungi anak saya?" Faridah memberanikan diri meminjam ponsel untuk menghubungi Weni. Untung saja Dokter tersebut baik dan mempersilahkan Faridah menghubungi Weni. Dibukanya dompet bekas tempat perhiasan, tersimpan secarik kertas berisi nomor telepon Weni.Ponsel Weni hanya berdering tanpa diangkat. Faridah berharap Weni segera datang untuk menjaga Keynan yang sedari tadi memanggil ibunya. Panggilan pertama gagal, dicobanya lagi memanggil Weni.Apakah Weni akan peduli dengan anak dan ibunya?Saksikan bab selanjutnya.Panggilan kedua tak ada sahutan dari Weni. Terpaksa Faridah mengambil kembali secarik kertas berisi nomor telepon Fatma memanggilnya untuk meminta bantuan. Tak ada lagi yang bisa dimintai bantuan kecuali Fatma."Fat, ini ibu. Ibu boleh minta bantuan padamu?""Ibu kenapa, kok sepertinya ibu sedang kesulitan," Fatma berhasil menebak kondisi Faridah saat ini."Tolong jualkan gelang emas yang ibu titipkan padamu. Keynan sakit dan harus dirawat sedangkan Kakakmu dari tadi tak bisa dihubungi!""Ba, baik, Bu." Tanpa banyak alasan, Fatma segera menjual gelang emas milik ibunya yang dititipkan kepadanya sebelum berangkat ke kota bersama Weni. Hari semakin sore dan Weni tak kunjung datang ke puskesmas. Bahkan seharian perut Faridah belum terisi makanan apapun. Tak berapa lama Fatma datang bersama suaminya membesuk Keynan. Tak lupa Fatma membawa hasil penjualan gelang dan akan menyerahkannya kepada Ibunya. Faridah cukup lega melihat kedatangan Fatma."Assalamu alaikum, Bu!" Fatma dan Ridho menc
Tuduhan atas warisan membuat Fatma sakit hati. Tak ada niatan sedikitpun datang menemani ibunya demi warisan seperti yang dituduhkan. Hanya kesehatan Faridah yang selalu ada di setiap doanya, selain itu Fatma tak menginginkannya."Nggak usah sok baik deh, Fat. Kamu sengaja kan demi warisan ibu!""Hentikan ucapanmu, Weni! Kamu sudah sangat keterlaluan!" Faridah akhirnya angkat bicara karena ucapan Weni."Ibu selalu bela dia," Weni melipat tangannya di dada tanpa melihat Keynan sama sekali. Perlahan kedua mata Keynan mengerjab, bibirnya tersenyum ketika melihat ibunya sudah berada di depannya."Mama," Weni hanya melihatnya saja tanpa menghampiri atau memberikan pelukan untuk Keynan."Mama," Keynan berharap Weni menghampirinya. Keynan sangat merindukan ibunya sendiri."Kamu juga, anak bisanya nyusahin aja! Pakai sakit lagi!" "Astagfirullah!" Gumam Fatma dan Faridah bersamaan.Harapan mendapat pelukan dari ibunya hancur sudah ketika ucapan menyakitkan keluar dari mulut ibunya. Keynan han
Sampai menjelang siang, Faridah baru selesai menyiapkan makanan yang diminta Weni. Rendang daging, sop daging dan perkedel Faridah siapkan sendirian. Tak ada niatan bagi Weni untuk membantu ibunya yang berkutata seorang diri di dapur."Alhamdulillah selesai," gumam Faridah sambil mengusap peluh usai memasak. Gegas Faridah mandi sebelum melakukan kewajiban shalat dhuhur. Bibir tersenyum ketika melihat Keynan tengah tidur siang setelah makan. Di setiap sujudnya, Faridah tak hentinya mendoakan kebaikan untuk keluarga anak-anaknya.PrankFaridah dikejutkan dengan suara pecahan gelas yang berasa dari dapur. Faridah gegas keluar dari kamar dan melihat yang terjadi. Di sana telah berdiri mertua Weni bernama Meli yang tak lain adalah besannya sendiri. "Lihatlah, Bu Besan! Gelas ini sangat licin sehingga mudah jatuh. Bagaimana anda mencuci gelas ini, bahkan minyak masih menempel di gelas?" Siang ini benar-benar belum bisa istirahat. Besannya datang dan membuat kejutan untuknya. Terlihat besan
"Astagfirullah, aku bangun terlambat. Harusnya aku tidur dua jam saja kenapa malah sampai tiga jam? Bagaimana kalau Weni marah?" Faridah gelagapan takut Weni akan memarahinya. Faridah gegas menyiapkan makan malam, sedangkan Keynan bermain sendiri di kamar. Keynan tak pernah mengganggu pekerjaan neneknya.Weni juga tertidur akibat meminum obat pereda nyeri. Faridah bersyukur karena Weni tak sampai memarahinya karena terlambat bangun. Diambilnya beberapa bahan makanan yang akan digunakan untuk menu makan malam. Tak berapa lama menu makan malam selesai, kini Faridah harus memandikan Keynan dan menyuapi setelah mandi. "Cucu nenek sudah ganteng!" Senyum Keynan mengembang karena Faridah selalu memberikan perhatian dan kasih sayang kepada Keynan. Meski lelah namun melihat Keynan tersenyum, sudah cukup membuatnya bahagia."Bu!" Teriakan Weni menggema di penjuru ruangan. Gegas Faridah segera menghampiri Weni setelah mengurus Keynan."Ada apa, Wen?" Wajah Weni memperlihatkan amarah yang besar,
Tanpa dikomando, air mata yang ditahan sedari tadi akhirnya jatuh juga. Weni sama sekali tak kasihan kepada ibu kandungnya yang dipermalukan di depan teman ibu mertuanya."Ya sudah, kembali masuk kedalam, Faridah!" Faridah gegas ke dapur. Ratna geram melihat majikan serta menantunya tak memiliki hati sama sekali. Tega sekali menghina Faridah tanpa mau tahu perasaannya.Ratna memergoki Faridah menangis di teras belakang. Ratna memahami saat ini hati Faridah benar-benar hancur."Bu, apakah tidak ada lagi keluarga ibu yang lain?" Faridah merasakan pelukan hangat dari perempuan muda seusia Fatma."Ibu sebenarnya punya satu anak lagi namun ibu tidak mau merepotkan mereka."Teringat kehidupan Fatma serba pas pasan namun tak pernah sama sekali mengeluh atau meminta bantuan kepada ibunya sendiri. Fatma hanya berbelanja sesuai kebutuhan, kebutuhan sayur dan beberapa bumbu sengaja ditanam sendiri di halaman belakang rumahnya. "Ratna kesal melihat Bu Faridah dihina terus seperti ini, andai Bu F
"Ibu nggak perlu mengada-ngada deh, apa Ibu mau hidup merepotkan Fatma yang penghasilan suaminya aja kurang!" Sengaja Weni mengintimidasi Faridah supaya mau menyetujui permintaannya. "Tapi itu kenangan ayahmu!" Faridah mencoba memberi pengertian pada Weni. Weni tak melanjutkan perdebatan dan pergi bekerja begitu saja. Faridah terisak, Weni begitu keras kepala tanpa memahami perasaanya. Disinilah Faridah mulai bimbang, ucapan Weni benar-benar menguji pendirian Faridah. Tidak mungkin dirinya tinggal di kampung dan merepotkan Fatma. Tinggal sendirian di rumah peninggalan suaminya seorang diri pun tak akan mungkin. Fatma pasti akan tahu keadaanya dan membawanya tinggal bersamanya.Hanya istigfar yang bisa diucapkan. Tak berselang lama, Meli datang ke rumah Weni seakan seperti rumahnya sendiri."Faridah, belanjakan bahan untuk membuat tongseng dong! Sekalian kamu masak juga!" Meli tanpa basa basi memberikan sejumlah uang kepada Faridah."Bu, maaf! Saya repot mengasuh Keynan, jadi.."Oh! K
"Nek, Keynan mau sosis," Keynan tergiur saat Meli begitu lahap menikmati sosis bersama telur dan beberapa lauk lain sedangkan dirinya hanya mendapat jatah satu telur ceplok."Tidak usah, anak kecil jangan makan banyak-banyak!" Terlihat rakus sekali saat Meli makan. Keynan terpaksa menahan air liur saat makanan kesukaannya dilahap habis oleh Omanya. Sangat berbeda dengan Faridah, Faridah akan selalu mengedepankan cucunya daripada dirinya. Tak berapa lama terdengar deru mobil Weni memasuki halaman rumah. "Heh, Bocah. Kamu masuk ke kamar sekarang! Makan di kamar sekalian!" Keynan terpaksa membawa piringnya ke kamar atas perintah oma nya. Terlihat sekali wajah Weni begitu muram saat pulang kerja."Ma, maaf ya sudah merepotkan mama menjaga Keynan. Emang dasar wanita tak berguna, mengasuh cucunya saja tidak mau!" Weni emosi ketika pulang kerja. Kini dirinya harus mencari Day Care untuk Keynan jika ibunya tak mau kembali. Untuk itu, Weni harus membayar lebih jika Keynan harus dititipkan k
Faridah berpikir sejenak, ada rasa ingin kembali ke kota demi Keynan dan ada rasa ragu ketika harus bersama dengan menantunya."Bu, tolonglah Weni. Keynan tak ada yang menjaga, Bu!" Weni mulai bersandiwara memperlihatkan wajah memelas. Fatma malah mencebik ke arah Weni yang pasang wajah memelas."Kalau Keynan dibawa ke kampung saja bagaimana, Mbak? Disini Keynan bisa belajar mengaji, daripada di kota cuma diem aja di rumah!" Andai tidak sedang bersandiwara, ingin sekali Weni menampar mulut Fatma. "Jangan dong! Masa cucuku mau dibawa ke kampung!" Meli terdengar sewot dengan ucapan Fatma. "Disana juga nggak ada yang jaga, lebih baik di kampung saja!" Ucapan Fatma lagi-lagi memancing emosi Weni dan Meli. Dua wanita beda generasi tersebut saling melirik karena kesal dengan ucapan Fatma."Tidak bisa, Keynan tetap tinggal di kota!" Akhirnya Weni memutuskan jika Keynan tetap di kota. Fatma kembali menyimak ucapan Weni dan Meli."Berikan wantu untuk ibu dulu, Nak. Ibu ingin tinggal di kampu