Share

Aku Ibumu, Nak!
Aku Ibumu, Nak!
Author: Eka Sa'diyah

Bab 1. Sikap Cuek

"Bu, sarapannya udah siap, belum?" Weni turun dari lantai dua untuk memeriksa semua pekerjaan ibunya, seperti memandikan Keynan, anak lelaki Weni berusia tiga tahun. Pekerjaan Bu Faridah di rumah anaknya sendiri seperti pembantu dan pemgasuh.

Pagi-pagi buta, Bu Faridah sudah berkutat dengan pekerjaan rumah dua lantai ini. Meski sudah berusia lanjut namun pekerjaan berat masih tetap menunggunya. Weni adalah anak kandung Bu Faridah

"Belum Wen. Ibu tidak sempat karena Keynan rewel terus. Wen, lihatlah Keynan. Dari tadi Keynan rewel terus, sepertinya lagi kurang enak badan. Apa tidak sebaiknya kamu bawa periksa ke rumah sakit? Ibu khawatir, Wen," Bu Faridah sangat khawatir ketika melihat Rendy sedari tadi muntah dan demam.

"Bu, maaf ya. Hari ini aku ada meeting dan tidak bisa ditinggal, Bu. Ibu saja deh yang bawa Keynan ke puskesmas terdekat. Lagian juga Keynan sebentar lagi juga sehat."

Weni sepertinya tidak menghiraukan keadaan anak lelakinya yang berusia tiga tahun, bahkan menggendongpun tidak dia lakukan. Menggendong Keynan jika ada mertuanya saja agar terlihat seperti Ibu yang menyayangi anaknya di depan mertuanya.

Sebenarnya kehidupan Weni, Fatma dan Ibunya cukup sederhana di desa. Rumah kayu dan tanah yang luas serta beberapa lahan sawah warisan almarhum ayahnya. Weni bersemangat sekali ketika diijinkan menempuh pendidikan di sebuah Universitas di Jakarta karena termasuk salah satu mahasiswa yang mendapat beasiswa di Universitas tersebut. Ketika lulus kuliah Weni diterima kerja di salah satu perusahaan besar dan bertemu dengan suaminya bernama Aris yang pada saat itu bekerja sebagai manajer di induk perusahaan tempat Weni bekerja. Hanya saja kehidupan Weni berubah setelah mendapatkan semua yang diinginkan seperti rumah dan pekerjaan tetap.

Namun berbeda dengan Fatma, atas permintaan mendiang ayahnya, Fatma terpaksa masuk pesantren sejak lulus sekolah dasar. Fatma menikah dengan seorang pemuda yang berprofesi sebagai guru mengaji. Pendapatannya juga hanya seikhlasnya dari orang tua siswanya. Tak jarang ketika Weni bertemu Fatma, hanya cemoohan yang dilontarkan apalagi kepada suami Fatma.

"Tapi Wen, Puskesmas itu antri lama, Ibu khawatir sama Keynan. Lihatlah, suhu badannya sangat tinggi! Ibu khawatir dengan keadaan seperti ini." Bukannya menghiraukan Ibunya yang sedang khawatir, Weni malah asik merapikan kerah bajunya. Terdengar kembali tangisan Keynan di gendongan Faridah.

"Lihatlah dia mulai rewel lagi!" Faridah kembali menidurkan Keynan di ranjangnya dan mengambil handuk untuk mengompres dahi Keynan.

"Aduh, ibu berisik amat sih! sudah bawa saja ke Puskesmas terdekat, kalau ke rumah sakit biayanya mahal."

Ucapan Weni sangat membuat Faridah kecewa, selama ini Faridah mendidik Weni supaya menjadi anak yang pengasih bukan egois dan seenak hati dalam bertindak, apalagi pada Keynan, anak kandungnya sendiri.

"Tapi, Wen!" Faridah berharap jika Weni mau meluangkan waktu untuk Keynan yang sedang sakit namun Weni malah memutar bola matanya dengan malas bahkan berkacak pinggang di depan Faridah.

"Daripada bicara terus dan bikin mood Weni berantakan, mendingan ibu sekarang siap - siap ke puskesmas naik becak. Nih uangnya buat naik becaknya!" Weni memberikan uang lima puluh ribu untuk transport naik becak. Hati Faridah bergerimis melihat sikap anaknya seakan pelit dan mengabaikan kesehatan anak kandungnya. Terpaksa demi sang cucu, Faridah segera menggendong Keynan supaya segera sampai ke Puskesmas.

"Iya Wen, ibu akan bawa Keynan ke puskesmas sekarang," terpaksa Faridah membawa Keynan ke puskesmas terdekat. Jika mempunyai uang lebih, Faridah ingin sekali membawanya ke rumah sakit demi pengobatan cucunya.

"Ma, sarapannya sudah siap, belum?" suara Aris suami Weni yang turun kebawah.

"Sarapan di luar saja hari ini, Mas. Ibu tidak masak hari ini, Keynan rewel karena demam tinggi," tidak ada guratan kekhawatiran dari raut wajah Aris maupun Weni. Mereka mulai sibuk dengan kegiatannya. Rendy anak pertama mereka namun tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuannya. Hanya Faridah yang menyayangi Keynan. Tidak hanya mengasuh Keynan, Faridah juga harus mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga di rumah Weni seperti seorang pembantu yang merangkap menjadi baby sitter.

"Wen. Ibu boleh tidak, ikut menumpang sampai puskesmas, supaya lebih cepat membawa Keynan ke sana," Faridah berharap jika Weni bersedia memberikan tumpangan padanya dan bisa lebih cepat sampai.

"Apa, Bu?" Kedua matanya membola sempurna saat Faridah yang tak lain adalah Ibunya sendiri ingin meminta antar untuk ke Puskesmas.

Faridah sudah paham dengan sikap Weni melalui ekspresinya. Faridah lebih baik diam daripada melanjutkan ucapannya dan membuat anak perempuannya marah.

"Apa aku tidak salah dengar?" Faridah tetap tidak membuka suara lagi melihat sikap putrinya sendiri.

"Tadi ibu sudah Weni beri uang untuk naik becak ke Puskesmas. Kenapa masih harus menumpang pada Weni?" Faridah terkejut dengan jawaban Weni. Ya, sangat terkejut dengan ucapan Weni yang mencengangkan. Weni lebih suka Ibu dan anaknya naik becak dari pada mengantarkannya menggunakan mobil.

"Tapi, Weni. Keynan anak kamu, apa kamu tidak kasihan sama Keynan?" Faridah berharap ada rasa belas kasihan Weni kepada Keynan.

"Ibu, sebenarnya Weni mengajak Ibu ke kota karena Weni tidak suka pakai jasa pembantu dan baby sitter."

Bagai disambar petir di siang hari setelah mendengar jawaban Weni atas alasannya mengajak Faridah ke kota. Faridah mengira jika Weni akan menjadikannya Ibu sesungguhnya namun ternyata tak lebih dari seorang pembantu.

Faridah terpaksa mengikuti ajakan Weni karena kondisi Fatma di kampung tak semulus keadaan Weni. Fatma meminta ibunya tetap di kampung supaya bisa merawatnya di masa tuanya. Apalagi janji manis Weni kepada Faridah yang akan menjadikannya ratu di rumahnya.

Semua hanya perkiraan saja, tak ada yang tahu sama sekali apa yang akan terjadi setelahnya. Terpaksa Faridah berjalan sesekali menoleh ke kanan berharap ada becak melintas. Kebetulan sekali ada becak mangkal dekat pos satpam komplek. Gegas Faridah memintanya untuk mengantarkannya ke puskesmas.

Sejenak Faridah melupakan perkataan Weni karena sedari tadi Keynan menangis. Demamnya juga semakin tinggi apalagi sejak kemarin tidak mau makan sama sekali. Sesampai di puskesmas, Faridah segera mendaftar dan membawa ke UGD. Keadaan Keynan benar-benar sangat mengkhawatirkan.

Usai diperiksa, Dokter menyarankan untuk opname. Demi kesehatan Keynan, Faridah menyetujui anjuran Dokter karena Keynan didiagnosa Typus (tipes)

"Dok, boleh saya pinjam ponselnya untuk menghubungi anak saya?" Faridah memberanikan diri meminjam ponsel untuk menghubungi Weni. Untung saja Dokter tersebut baik dan mempersilahkan Faridah menghubungi Weni. Dibukanya dompet bekas tempat perhiasan, tersimpan secarik kertas berisi nomor telepon Weni.

Ponsel Weni hanya berdering tanpa diangkat. Faridah berharap Weni segera datang untuk menjaga Keynan yang sedari tadi memanggil ibunya. Panggilan pertama gagal, dicobanya lagi memanggil Weni.

Apakah Weni akan peduli dengan anak dan ibunya?

Saksikan bab selanjutnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status