Share

Terbawa Perasaan

“Jadi, begini karyawan terbaik Light Up?” Rentetan kalimat penuh emosi Rania yang nyaris membuat napasnya sesak itu disambut dengan kalimat dingin Reza. Mata pria itu menatap sanksi pada Rania yang berdiri dengan tubuh gemetar menahan kesal. “Pantas saja perusahaan ini bangkrut dan hasil data menunjukkan kemunduran dari tahun ke tahun. Ayo David!”

BRAK!

Rania meringis pelan ketika pintu sudah ditutup keras dan dirinya tinggal seorang diri di sana, sementara Reza dan David–asistennya sudah pergi menghadiri rapat.

Bukankah statusnya sebagai sekretaris CEO Light Up Rania harus membantu bos-nya meski ada notulen rapat juga, itu masih kewajibannya hadir mendampingi bosnya, bukan?

Tapi Kenapa Reza tadi pergi begitu saja tanpa mengajaknya? Ataukah Rania disuruh mencari lagi semua kesalahannya dari kertas-kertas yang disebar di seluruh ruangan itu dan tak perlu ikut rapat? Atau dia harus bergegas ke sana sekarang karena bosnya sudah pergi duluan?

Atau yang terburuk, apa dia sudah dipecat?

Kepala Rania berkedut dengan pilihan yang belum jelas itu. Tak rela dirinya kehilangan pekerjaan yang menjadi sumber pemasukannya, Rania akhirnya mengambil keputusan. Dia melenggang memasuki ruang rapat, menyusul bosnya yang telah lebih dulu datang.

"Mau apa kamu ke sini?"

"Saya mau ikutan rapat Pak," jawaban ini refleks diberikan Rania.

"Kapan aku menyuruhmu untuk hadir rapat?"

Rania tak bisa bicara apapun. Dia hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan. Wajahnya memerah, Rania menundukkan kepala, tak bisa berargumen. Dia terlihat lemah meski satu tangan yang ada  di balik punggungnya mengepal kuat sembari mencengkram lembaran kertas laporan tadi sebagai luapan emosinya.

Rania yakin kalau dirinya tidak diperlukan Reza dalam ruangan rapat. Untuk apalagi dia tetap di sana? "Maaf Pak saya permisi kalau begitu."

Tapi saat tangannya memegang handle pintu hendak keluar, Rania mendengar lagi sebuah pertanyaan yang Rania yakin sekali ditujukan untuknya. "Apa pekerjaanmu di perusahaan ini?"

Rania memang terlihat cool dan dia masih bisa me-manage dirinya saat berjalan mendekat ke meja rapat, duduk dan melakukan tugasnya. Tapi jauh dalam relung hatinya Rania merasa kesal teramat sangat. Dia merasa dipermalukan oleh Reza.

Siapa sebenarnya yang tidak profesional dalam bekerja? Rania yang dongkol setengah mati itu mencatat semua hal di rapat dengan hati-hati dan teliti. Namun, lagi-lagi usahanya–termasuk pada laporan revisi yang telah ditunggu Reza tadi, terus dituding salah tanpa diberitahu letak kesalahannya di mana.

Wajah geram Reza sore itu membuat Rania lemas.

"David katakan pada kantor pusat SSG, aku tidak bisa datang rapat nanti. Minta mereka mengulur waktu sehari lagi untuk laporannya." Netra pria itu menghunus ke arah Rania. "Karena kebodohan sekretarisku, aku tidak bisa memberikan laporan ke pusat! Menggelikan!”

Sepertinya harapan untuk bekerja di Light Up tidak akan bisa diharapkan lagi.

Reza tak menyukainya. Dia tetapi ingin Rania pergi dari hidupnya. Tak ada yang bisa dilakukan oleh Rania kecuali menerimanya dan mulai berpikir cara bertahan hidup selanjutnya. Apalagi, kalimat terakhir Reza sore itu bagai akhir hidup Rania di Light Up. “Pikirkan kesalahanmu itu di rumah. Kerjakan pekerjaanmu dan besok bawa apa yang aku inginkan!"

**

"Ini masih sama seperti kemarin!" seru Reza lagi masih dengan kekesalan terlihat di wajahnya. "Bawa laporan sampahmu itu dan ikut denganku!"

Tak ada penjelasan lebih. Bosnya lalu berdiri dan David pun mengikutinya. Rania mau tidak mau hanya bisa menyambar tasnya di meja sekretaris dan pergi mengikuti dua orang yang berjalan sudah lebih dulu menuju lift.

Mereka memasuki lift tanpa berbicara. Bahkan, saat naik ke dalam mobil tak ada satu kata pun terurai untuk memecah kesunyian. Ini yang membuat Rania merasa tak enak. Apalagi David duduk di samping supir sedangkan dirinya harus duduk di samping seseorang yang dari tadi mengomel terus padanya.

Kaku, Rania duduk seperti patung dan untuk menggaruk keningnya yang gatal saja tangannya tak berani bergerak. Hanya bola matanya saja yang melirik ke arah jendela dan kelopak matanya seakan tidak terintimidasi oleh dirinya sendiri untuk beraktivitas normal.

'Lagipula, dia kayaknya gak ingin bicara denganku kan? Daripada aku di sentak!' seru hati Rania sangat yakin.

Karena dari tadi pandangan orang di sampingnya terus saja menatap ke arah laptop di meja di hadapannya.

Rania juga mencoba tetap cool dan me-manage pikirannya selama sekitar satu jam perjalanan yang hening itu. Suasana kaku, ditambah posisi duduk yang tidak nyaman karena grogi membuat tubuh Rania benar-benar serasa seperti habis dilindas truk. Tapi siapa juga yang berani mengajak Reza bicara apalagi dia sedang fokus dengan pekerjaannya?

Ketika mobil berhenti di sebuah gedung tinggi, mata Rania berbinar. Kantor cabang perusahaan Shining Star Group yang ada di Indonesia.

‘Jadi enam tahun lalu, aku tidur sama cucu dari pemilik perusahaan segede ini!’ Entah kenapa jadi ke sana arah pikiran Rania.

Rania terkagum-kagum. Lobi utamanya di dominasi marmer dengan nuansa hitam putih yang terkesan mewah, bersih dan elegan. Seakan menunjukkan kebesaran SSG sehingga siapapun yang masuk ke dalamnya mulai terintimidasi oleh aura keagungannya.

Bersih dan ruangan sangat besar memiliki ceiling yang tinggi dan interior kaca dan kristal juga menambah kesan mewah.

Tak ada suara bising saat mereka memasuki lobi. Dingin, dengan aroma lemon yang menyegarkan dari pengharum udara membuat ruangan terkesan fresh dan segar. Seakan-akan mereka yang masuk ke dalamnya bisa merasa beruntung menghirup udara sesegar itu, jauh dari udara di luar yang panas dan pengap. Manipulasi otak, karena segar dengan kesegaran sesungguhnya, seakan mereka sedang berlibur di pegunungan dengan oksigen yang menyegarkan untuk dihirup.

"Selamat Pagi Tuan Clarke."

Tak ada suara di lobi kecuali suara sapaan wanita yang berada di lobi dan setengah membungkuk saat Reza datang. Namun, si tuan muda yang sedari tadi disapa tak merespons satu pun sapaan itu.

'Sikapnya memang beda sekali sama sikapnya denganku dulu.’ Rania jadi membandingkan sikap Reza dulu padanya. ‘Dia manis banget, gak kasar, gak galak, selalu lembut dan caranya memanjakanku.’

Pikiran itu makin meliar. Apalagi sekarang dia berjalan di belakang Reza dan punggung lebar pria yang ditatapnya membuat hatinya lagi-lagi mengingat adegan panas mereka bertahun-tahun lalu. Punggung yang dulu bisa disentuhnya. Punggung yang dulu sering menggendongnya di belakang sana. Punggung yang membuat imajinasi Rania kemana-mana dan tak sangka, dia juga menelan salivanya, makin tak waras.

BUG!

Reza sudah berhenti tepat di depan lift dan Rania terus melangkah hingga dahinya jelas menabrak punggung Reza.

"Ma-maaf pak!"

'Ah, bodoh aku! Kenapa aku gak liat dia berhenti berjalan?'

Reza tak membalikkan badan. Rania bicara terbata-bata sambil mundur menjauh. Kepalanya masih menunduk dan jelas hatinya memaki dirinya sendiri.

Bagaimana dia bisa membuktikan kalau bisa bekerja profesional kalau pikirannya masih bercampur aduk begini?

TING!

Reza tak menjawab Rania hingga pintu lift terbuka. Belajar dari kesalahan tadi, kini Rania menjaga jarak langkahnya selalu berada di belakang kedua orang itu sambil menikmati interior kantor yang serba mewah dan memanjakan mata.

Rania sedikit meringis karena gugup saat Reza memasuki satu ruangan, di mana memang petinggi-petinggi SSG sudah berkumpul. Apalagi aura ruangan itu terkesan kaku dan dingin. Rania tak familiar.

Rapat sudah dimulai. Rania yang bingung mencoba profesional dan mempersiapkan diri, duduk dan mengikuti wanita di sampingnya yang sudah lebih dulu melakukan hal yang mau dilakukannya.

Rania tak tahu siapa dia tapi sepertinya terlihat seperti seorang sekretaris.

"Belajarlah dari Desi. Aku ingin laporan yang tertunda kemarin dan sebelumnya juga siap dalam waktu dua jam!"

"Baik Tuan Clarke." Rania yang canggung pun mengangguk pelan. Dia mengikuti panggilan karyawan lainnya di SSG terhadap Reza.

Dua jam berlalu, Rania yang telah mengetahui di mana letak kekurangan laporannya yang terus ditolak Reza itu kini melenggang masuk ke ruangan si bos dengan percaya diri.

Kali ini, ia yakin betul laporan yang telah disusunnya, hasil dari memperhatikan Desi tadi sudah tidak mungkin ada kesalahan lagi.

"Jadi sekarang kau mengerti bagaimana cara membuat laporan?"

Jantungnya berdebar begitu mendengar laporan yang telah ia revisi akhirnya dinyatakan sesuai.

Sebuah senyum terurai di bibir Rania karena rasa leganya. Bukan senyum menggoda, Rania tulus merasa bersyukur.

"Tak perlu menunjukkan senyummu. Aku tak akan terpesona dengan itu!” cuma tanggapan Reza berbeda. “Kau masih perlu banyak belajar. Jangan senang dulu, karena kinerjamu masih buruk. Ingat, dalam sebulan ini, kau masih dalam masa percobaan!"

Sekarang Rania yakin kalau Reza tidak mengizinkannya untuk sedikit saja bersukacita.

Rania baru saja ingin menjawab kalimat Reza dengan sebuah anggukan, tetapi kalimat seorang wanita yang masuk ke ruangan itu membuat kelu lidahnya.

"Hai Sayang!"

Wanita itu berjalan mendekati Reza, melewati Rania begitu saja. Gestur santainya membuat mata Rania nyaris memelotot tak percaya.

‘Siapa wanita itu? Apa mungkin kekasihnya yang baru?’

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Ira siregar
boleh ngk mulut si Reza di sumpal pakai bon cabe??
goodnovel comment avatar
Elsa Silaban
masih pedih baca kisah Rania, r bisakah bejek2 Reza??
goodnovel comment avatar
Yuni Aden Fina
Sabar Rania
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status