"Aku mencintaimu."Satu kalimat terpampang di layar monitor milik Ceisya. Kedua mata mengerjap secara perlahan. Hatinya melambung tinggi. Andai saja orang yang mengatakan itu ada di hadapan Ceisya, pastinya gadis itu langsung berlari untuk memeluknya secara erat.Laki-laki pemilik nama Rayanka Yagiz adalah sosok yang selalu menampilkan tubuh yang membelakangi. Satu tahun berkenalan di dunia maya dengan Ceisya selalu saja menampilkan foto seperti itu. Belum pernah memberikan foto pada bagian wajahnya.Namun, bagi Ceisya itu tidak masalah. Gadis ini merasa jika Rayanka adalah sosok yang dikirim Tuhan untuknya."Brak!"Tanpa permisi, tiba-tiba pintu kamar terbuka dengan keras. Menyebabkan benda itu menghantam dinding kamar dan membuat pemilik kamar tersentak kaget."Astaghfirullahaladzim," ucap Ceisya sembari memegang dada yang sudah berdegup sangat kencang. Sorot tatapan tajam tertuju kepada Ceisya yang sudah ketakutan setengah mati."Masih berhubungan dengan pacar khayalan kamu itu?"
Sentari segera menjauh dari Ceisya. Wajahnya masih pucat dan otaknya tidak bisa digunakan untuk berpikir. Biasanya Ramon akan mengabari kalau hendak pulang ke rumah.Jangan-jangan Ramon mendengarkan pertengkaran dengan Ceisya, pikir Sentari dalam hati.Kalau iya, pasti setelah ini Sentari akan didepak dari rumah ini karena Ramon sangat menyayangi anak tunggalnya."Kenapa ponsel kamu tidak bisa dihubungi?" tanya seorang ayah kepada anaknya dengan penuh nada kekhawatiran."Tiga hari ayah menanyakan kamu mau makan apa, tetapi pesan itu tidak terkirim," lanjut Ramon berusaha mendekat kepada dua orang perempuan yang masih mematung karena kehadirannya."Aku ...," ucap Ceisya bingung. Jangan sampai keceplosan menjawab kalau ponsel ditahan oleh ibu tirinya. Gadis ini pun mencari cara seribu alasan yang tepat agar ayahnya tidak menaruh kecurigaan."Iya. Mana ponsel kamu?" Ramon mendadak bingung. Pasalnya, Ceisya adalah orang yang tidak bisa jauh dari ponsel. Apalagi sejak istri Ramon meningga
Dengan gerak cepat, Ceisya langsung menatap ke arah tangannya yang masih merasa dicekal."Kamu? Lepaskan!" Ceisya langsung menggerakkan tangan ke atas dan bawah. Berharap cekalan di tangan terlepas."Tidak baik seorang perempuan keluyuran di jalanan sendirian."Ceisya langsung melengos, meski tangan laki-laki itu masih menyentuh kulit mulusnya."Lebih tidak baik lagi jika laki-laki yang tidak dikenal tiba-tiba langsung mencekal tangan perempuan," sindir telak Ceisya."Oh, maaf." Ibas sadar diri dan langsung melepaskan pergelangan tangan Ceisya. Kedua mata laki-laki itu membulat ketika melihat pergelangan tangan Ceisya berwarna merah. Mungkin karena terlalu erat menggenggamnya."Mau apa kamu kemari?" Ceisya merasa tidak nyaman karena Ibas selalu mengikuti langkahnya. Padahal ia sudah berjalan beberapa langkah. Sial. Mobil diparkir terlalu jauh."Hanya ingin ketemu sama kamu."Ceisya mengentakkan kaki. "Maaf aku tidak ada keperluan dan urusan sama kamu." "Aku hanya ingin memastikan kam
"Aku tidak tahu. Aku tidak ketemu sama Ibas." Ceisya menyembunyikan perubahan wajahnya agar tidak diketahui oleh Sentari.Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Ceisya. Sikap Sentari memang di luar dugaan."Apa yang kamu lakukan," tutur Ceisya sambil memegang pipinya yang sangat sakit. Pasti kulit di pipi berwarna merah.Ini adalah perbuatan tidak menyenangkan yang dialami pertama kali oleh Ceisya. Ayahnya saja tidak pernah melakukan hal seperti ini. Kenapa Sentari yang merupakan adalah orang lain berani melakukan ini?""Pelajaran buat kamu agar jangan kurang ajar," balas Sentari dengan penuh penekanan di setiap katanya. Ia sangat menjaga kata-katanya agar tidak mengganggu istirahat Ramon."Siapa yang kurang ajar?" Ceisya mulai berani menentang Sentari. "Perbaiki dulu sikap kamu sebelum bicara."Sentari mulai meradang. Emosi yang ia tahan, akhirnya lepas kontrol."Dasar anak tidak tahu diri!"Ceisya melipat kedua tangan di depan dada. "Apa? Anak? Siapa yang jadi anak Tante?"Tangan m
Koper kecil yang biasa tergeletak di atas lemari, terpaksa diturunkan Ceisya untuk mengemasi pakaian yang akan dibawa.Beberapa pakaian dilempar kasar di atas koper yang sudah terbuka. Kali ini Sentari merasa di atas awan karena sudah berhasil membujuk Ramon. Ceisya merasa kesal, sedih, marah dikarenakan ayahnya lebih membela wanita itu dibandingkan anaknya sendiri.Ditarik koper sampai roda berputar. Saat membuka pintu, Ceisya masih melihat kedua orang tuanya di ruang tengah. Sayangnya, Ayah Ceisya masih perang batin dan memilih memalingkan wajah saat anaknya berdiri dekat dengan dirinya.Ceisya menatap ayahnya yang masih tidak mau melihat ke arah dirinya."Jika ini memang keputusan ayah, aku akan pergi dari sini."Suara Ceisya terdengar parau seperti orang hendak menangis. Setelah ditunggu beberapa detik, ternyata tidak ada balasan dari Ramon."Sampai kapanpun, aku akan menunggu ayah meminta maaf jika tuduhan yang ayah berikan kepada aku itu tidak benar," lanjut Ceisya menarik koper
Telinga Ceisya bergetar hebat dengan kata-kata Rayanka yang menginginkan perpisahan tanpa alasan. Kelopak mata bagian bawah milik Ceisya terasa sangat berat. Buliran bening sudah meronta-ronta untuk dilepaskan. "Apa aku tidak salah dengar?" Ceisya terbata-bata mengatakan hal itu. Ponsel juga ditekankan lebih kuat dengan telinga. Suara embusan napas Rayanka di seberang sana terdengar kuat. "Tidak. Kamu tidak salah dengar." Ceisya mundur beberapa langkah. Sampai pada akhirnya tubuhnya jatuh pada kursi di taman kota. Lampu taman terlihat temaram, layaknya ikut meratapi kesedihan yang dialami Ceisya. "Ray? Apa kamu sedang ada masalah? Jika iya, tolong katakan! Siapa tahu aku bisa bantu kamu," pinta Ceisya penuh harap "Tidak. Kamu salah. Aku baik-baik saja. Aku sedang tidak ada masalah." Ceisya berpikir cepat. "Apa kamu sedang sakit?" "Aku sehat," balas Rayanka memalingkan wajahnya karena Ceisya di sana menatap dengan intens. Ceisya hanya bisa menatap wajah Rayanka dari jauh. Laki
Ibas berjalan kesana kemari sambil menunggu sang Tante datang. Mereka sudah janjian di taman pinggir kota. Benar saja, dalam waktu lima menit datanglah wanita yang menjadi ibu sambung Ceisya. "Ke mana perginya gadis itu?" tanya Ibas kepada Sentari. "Aku sudah mencari sampai ke tempat sahabat Ceisya, tetapi tidak ada." Sentari memasang wajah biasa saja. Entah kenapa Ibas terlalu ambisi dengan anak angkatnya. "Kamu bisa cari lagi sampai ketemu," balas Sentari. Ibas naik pitam. "Harus cari ke mana lagi? Apa perlu teman satu kampus harus aki datangi satu per satu?" Tatapan Ibas sekarang tertuju kepada Sentari. "Apa kamu sengaja melenyapkan Ceisya selamanya?" Sentari panik. "Tidak. Aku hanya memberi pelajaran agar gadis itu menurut saja." "Buktinya sekarang Ceisya pergi entah ke mana." "Besok kita cari bersama. Hari sudah larut malam." Ibas mendengkus kesal. "Keburu gadis itu pergi menjauh." Laki-laki usia matang hatinya sangat kecewa dengan tantenya. Padahal perjanjian awal akan
Ceisya merasakan kesakitan di bagian kepala. Dengan mata yang masih terpejam, pelan-pelan tangan meraba ke bagian kepala dan menemukan perban melingkari kepala. Gadis itu pun panik dan segera membuka mata. Saat sudah siuman, Ceisya tidak merasakan lembabnya tepian sungai dan tidak juga terdengar arus. Ruangan yang sekarang ditempati Ceisya berwarna putih dengan bau obat-obatan yang sangat menyengat hidung. "Aku di mana?" Ceisya mengubah posisi dari terlentang menjadi duduk di tepi tempat tidur. Tubuh Ceisya sangat sakit, terutama di bagian kaki. Mata pun menatap ke bawah. Benar saja, terdapat luka. Namun, luka itu tidak parah. Ceisya pelan-pelan mengingat apa yang sudah terjadi menimpa mereka. Ia telah membuat seseorang celaka karenanya. 'Oh jadi seperti ini rumah sakit di penjara?' batin Ceisya karena ia berada di ruangan sendiri. Tidak ada satu pun pasien yang berada di ruangan ini kecuali Ceisya. Gadis yang masih melamun dikejutkan dengan suara pintu yang terbuka. Di sana buk