Share

SEBUAH FITNAH

"Aku tidak tahu. Aku tidak ketemu sama Ibas." Ceisya menyembunyikan perubahan wajahnya agar tidak diketahui oleh Sentari.

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Ceisya. Sikap Sentari memang di luar dugaan.

"Apa yang kamu lakukan," tutur Ceisya sambil memegang pipinya yang sangat sakit. Pasti kulit di pipi berwarna merah.

Ini adalah perbuatan tidak menyenangkan yang dialami pertama kali oleh Ceisya. Ayahnya saja tidak pernah melakukan hal seperti ini. Kenapa Sentari yang merupakan adalah orang lain berani melakukan ini?"

"Pelajaran buat kamu agar jangan kurang ajar," balas Sentari dengan penuh penekanan di setiap katanya. Ia sangat menjaga kata-katanya agar tidak mengganggu  istirahat Ramon.

"Siapa yang kurang ajar?" Ceisya mulai berani menentang Sentari. "Perbaiki dulu sikap kamu sebelum bicara."

Sentari mulai meradang. Emosi yang ia tahan, akhirnya lepas kontrol.

"Dasar anak tidak tahu diri!"

Ceisya melipat kedua tangan di depan dada. "Apa? Anak? Siapa yang jadi anak Tante?"

Tangan milik Sentari kembali melayang dan mendarat di pipi Ceisya. Sayang, gadis itu tahu pergerakan sehingga bisa menghindar.

"Jangan lagi sentuh pipi aku! Mamah atau ayah saja tidak berani menampar atau membentak aku. Kamu itu siapa? Hanya orang baru yang menumpang di kehidupan kami," sindir Ceisya telak kepada ibu tirinya.

"Jaga mulut kamu!" Sentari sudah kehabisan kata-kata.

"Kamu yang harus jaga mulut dan jaga sikap selama di rumah ini. Kamu tidak ada hak apa-apa di sini. Rumah ini adalah milik  mamahku yang sudah meninggal. Jangan berharap satu rupiah masuk ke kantong kamu."

Ini adalah kalimat terpanjang yang keluar dari mulut Ceisya kepada ibu tirinya.

Sentari terbelalak karena Ceisya bisa berhasil menebak jalan pikiran dan tujuan kemari.

"Cukup kamu injak-injak aku terus. Aku tahu niat busuk kamu!" tuding Ceisya sambil menunjuk ke arah Sentari. Kali ini, ia tidak akan gentar atau mengalah.

Wanita itu berpikir sejenak. "Akan aku laporkan kamu ke kantor polisi!"

"Atas tuduhan apa?" Ceisya tidak takut. Kedua mata terus tertuju kepada Sentari yang sudah seperti orang bersalah.

"Penganiayaan kepada Ibas."

Gadis itu memasang wajah pura-pura terkejut. "Apa? Penganiayaan. Tidak salah dengar? Dia sendiri yang kurang ajar."

Diungkit masalah tentang Ibas, Ceisya kembali naik pitam. Bagaimana tidak, gadis itu kembali teringat kejadian di taman.

"Dia sedang di rumah sakit karena kamu telah melukainya."

Rasa terkejut itu sekarang tercetak jelas di wajah Ceisya. Ia kembali mengingat kejadian barusan. Ia hanya menendang perut bagian bawah sampai laki-laki itu tersungkur. Ceisya sama sekali tidak menggunakan senjata tajam atau benda keras. Lantas kenapa Ibas bisa dirawat di rumah sakit?

"Aku hanya menendang karena perlawanan. Dia bersikap kurang ajar."

"Tetap saja kamu salah!" bentak Sentari keras. Dari tadi sangat panik mendengar Ibas di rumah sakit. Untung saja tidak perlu rawat inap. Namun, ia tidak akan memaafkan Ceisya.

"Terserah. Aku tidak peduli." Ceisya memalingkan wajah.

Ramon yang sedang istirahat, tiba-tiba mendengar suara keributan di ruang tengah. Laki-laki itu pun bangkit dari tempatnya istirahat.

Sentari yang melihat pergerakan kenop pintu kamar, wanita ini tahu jika suaminya sudah bangun dan mendengar keributan ini. Ia pun mempunyai akal licik untuk menjatuhkan Ceisya selamanya.

Dengan gerakan cepat, wanita itu merobohkan tubuhnya sendiri untuk menghantam rak pot bunga imitasi. Suara keras pun mengisi keheningan ruangan.

Alhasil tubuh Sentari terjerembab dan beberapa pot ukuran sedang menimpa tubuhnya.

Ceisya bukan main kaget dan terkejut dengan sikap Sentari yang aneh dan tidak disangka.

"Apa yang kamu lakukan," bisik Ceisya masih bingung.

Bersamaan dengan itu, Ramon berhasil membuka pintu kamar dan mendapatkan istrinya jatuh terlentang dekat pot berserakan.

"Apa yang terjadi?" Ramon segera mengangkat tubuh Sentari dan memeluknya dari belakang.

Akting Sentari pun dimulai. Wanita itu menangis terisak di pelukan suaminya.

Di sini Ceisya masih bingung dan belum sadar akan jebakan dari ibu tirinya.

"Apa yang terjadi?" Ramon kembali bertanya karena sudah dihantui rasa penasaran.

Sambil mengusap air mata, Sentari menunjuk ke arah Ceisya. "Dia mendorongku sampai terjatuh."

Di sini Ceisya bersama Ramon sangat terkejut dengan ucapan Sentari.

"Ceisya yang mendorong kamu?" Ramon benar-benar tidak percaya. Ceisya yang Ramon kenal, tidak mungkin seperti itu.

"Iya. Dia yang mendorong aku sampai terjatuh. Itu semua gara-gara dia tidak mau mendengarkan nasihat aku."

"Bohong! Jangan dengarkan ucapan wanita itu, Ayah!" pekik Ceisya dengan lantang karena apa yang dikatakan Sentari adalah fitnah dan kebohongan besar.

"Aku tidak bohong. Terserah kamu mau percaya aku atau Ceisya," ucap Sentari terbata-bata dan kembali menangis di pelukan Ramon.

"Ayah? Aku mohon dengarkan aku. Apa yang dikatakan wanita itu tidak benar," pinta Ceisya memohon agar ayahnya lebih percaya kepadanya saja.

"Sebentar! Tolong jelaskan awal mula pertengkaran kalian," pinta Ramon dengan bijaksana. Laki-laki ini belum bisa memutuskan siapa yang bersalah dan tidak.

Sebelum Ceisya bersuara, Sentari langsung melanjutkan sandiwaranya.

"Aku hanya menasihati kepada Ceisya jika seorang perempuan tidak boleh berbuat kasar kepada laki-laki."

Ceisya panik. Dugaan kuat jika Sentari akan menceritakan kejadian di taman.

"Apa Ceisya telah berbuat kasar?" Ramon masih bingung.

"Ayah? Tolong dengarkan aku dulu!" Ceisya mulai berkaca-kaca di bagian mata.

"Diam dulu! Ayah ingin mendengarkan Mamah kamu menjelaskan!" bentak Ramon yang sudah mulai paham masalah ini.

Ceisya ingin protes kepada ayahnya. Sampai kapan pun tidak akan pernah menganggap Sentari sebagai pengganti mamahnya. Namun, ia tidak bisa bersuara lagi dikarenakan sepertinya ayahnya malah membela Sentari.

"Lanjutkan!" perintah Ramon kepada Sentari.

Wanita licik itu kembali meneteskan air mata sebagai rasa sedih. Ia berharap setelah ini Ramon percaya kepadanya.

"Sebagai seorang ibu..."

Ceisya sangat muak dengan sandiwara Sentari. Ia pun memalingkan wajah, tetapi tidak bisa pergi begitu saja dari sini.

"Sebagai seorang ibu wajib mengingatkan anaknya jika salah. Apalagi anak tersebut telah menyakiti orang lain."

"Siapa orang yang disakiti Ceisya?" serobot Ramon sudah tidak sabar.

"Ibas. Dia sekarang dirawat di rumah sakit karena Ceisya menendang sampai berdarah."

Gadis yang situasi seperti di ujung tanduk, langsung berteriak, "Bohong! Kamu pembohong!"

Teriakan Ceisya sangat keras membuat Ramon memberikan tatapan tajam.

"Ceisya! Jaga mulut kamu! Dia ibu kamu!"

"Mau sampai kapan pun, aku tidak akan mengakui dia sebagai ibu aku," balas Ceisya secara cepat.

Sentari langsung memeluk Ramon dan menangis histeris. "Padahal aku sudah menganggap Ceisya sebagai anak aku sendiri."

"Sudahi drama kamu!" teriak Ceisya sambil menuding Sentari.

"Ceisya diam!" bentak Ramon.

Sekarang, Ceisya sangat sedih karena ayahnya bolak-balik membentaknya berulang kali.

"Katakan di mana sekarang Ibas?" Ramon melepaskan pelukan Sentari.

Wanita itu pun langsung menunjukkan sebuah foto di mana Ibas di rumah sakit.

"Ya Tuhan. Dia sampai seperti ini?" keluh Ramon menyayangkan ulah putrinya.

Sekarang tatapan Ramon tertuju kepada Ceisya. "Apa yang membuat kamu berulah seperti ini?"

Emosi Ramon meledak kepada Ceisya.

"Ayah? Tolong buka mata-mata lebar-lebar jika mereka sedang menghancurkan kita. Sadar ayah?" Ceisya sudah berlinang air mata.

Tangan Ramon menunjukkan ke arah pintu. "Pergi dari rumah ini. Ayah tidak ingin melihat kamu lagi di hadapan Ayah."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status