Share

PERGI

Koper kecil yang biasa tergeletak di atas lemari, terpaksa diturunkan Ceisya untuk mengemasi pakaian yang akan dibawa.

Beberapa pakaian dilempar kasar di atas koper yang sudah terbuka. Kali ini Sentari merasa di atas awan karena sudah berhasil membujuk Ramon. Ceisya merasa kesal, sedih, marah dikarenakan ayahnya lebih membela wanita itu dibandingkan anaknya sendiri.

Ditarik koper sampai roda berputar. Saat membuka pintu, Ceisya masih melihat kedua orang tuanya di ruang tengah. Sayangnya, Ayah Ceisya masih perang batin dan memilih memalingkan wajah saat anaknya berdiri dekat dengan dirinya.

Ceisya menatap ayahnya yang masih tidak mau melihat ke arah dirinya.

"Jika ini memang keputusan ayah, aku akan pergi dari sini."

Suara Ceisya terdengar parau seperti orang hendak menangis. Setelah ditunggu beberapa detik, ternyata tidak ada balasan dari Ramon.

"Sampai kapanpun, aku akan menunggu ayah meminta maaf jika tuduhan yang ayah berikan kepada aku itu tidak benar," lanjut Ceisya menarik koper agak jauh dan memutuskan pergi dari rumah ini.

Ceisya adalah termasuk anak yang menurut kepada orang tua, meskipun harus pergi dari rumah ini juga.

Langkah Ceisya terus berjalan, meski tidak tahu arah dan tujuan.

Sementara itu, Ramon terus memandangi putrinya dari balik gorden. Ia merasa menjadi manusia yang paling jahat karena sudah menyakiti dan menyuruh Ceisya untuk pergi. 

"Kenapa kamu tidak mengejarnya?" tanya Sentari merasa pura-pura ikut bersedih atas kejadian ini.

"Biarkan dia menemukan jati dirinya sendiri." Ramon sendiri ragu mengatakan hal itu. Ceisya tidak pernah bisa hidup selain di rumah ini.

"Dia anak kamu satu-satunya."

Ramon menghela napas panjang. "Sekalinya bersalah dan tidak minta maaf, maka perlu diberikan hukuman yang setimpal."

"Atau aku yang mengejarnya?" Sentari bersiap pergi, tetapi dicegah oleh Ramon. Tangan Ramon menahan tangan istrinya.

"Tidak perlu. Rumah ini selalu terbuka untuk orang bersalah yang sudah minta maaf."

Ramon melepaskan tangan Sentari dan bersiap pergi dari ruangan yang sudah tidak lagi hangat akibat pertengkaran.

"Aku izin pergi sebentar," ucap Sentari agak ragu di situasi yang dirasakan sekarang.

Ramon yang masih membelakangi istrinya pun menjawab. "Kemana?"

"Aku akan jenguk Ibas di rumah sakit. Aku juga akan membujuk dia agar tidak melaporkan kasus ini ke kantor polisi.

Ramon tertunduk. "Aku akan mentransfer sejumlah uang untuk biaya pengobatan Ibas."

"Dua puluh lima juta." Sentari langsung menyebutkan nominal.

"Pergilah! Uang itu akan sampai ke rekening kamu sebelum sampai rumah sakit." Ramon pergi menjauh, bukan ke kamarnya, tetapi ke kamar Ceisya.

Sentari langsung menyambar tas kecil karena sudah mempersiapkan pergi menemui Ibas. 

"Pergi dengan sopir. Jangan sendirian," ucap Ramon menutup pintu kamar Ceisya. Ia ingin memeriksa apa saja yang sudah dibawa putrinya.

Napas Ramon tersendat ketika melihat kartu ATM milik Ceisya sengaja ditinggalkan di atas meja. 

Rencana awal, Ramon akan tetap bertanggung jawab kebutuhan Ceisya di luar sana. Namun, nyatanya putus sudah.

Sementara itu di koridor rumah sakit, Sentari melenggang dengan tenang. Beban di pundak telah sirna sudah.

Di depan sana, sudah ada sosok yang menunggu Sentari. Siapa lagi kalau bukan Ibas.

"Yakin Ceisya memukulimu seperti ini?" Sentari ragu ketika melihat Ibas dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Ibas berdecak sambil memegang pipi kanan yang lebam.

"Aku sewa preman untuk memukuli aku," ucap Ibas.

"Apa kamu yakin jika seorang perempuan bisa memukul separah itu?" Sentari bingung.

"Soalnya luka di perut kurang membuat gadis itu dinyatakan bersalah. Jadi aku sewa preman."

"Hemm."

"Sekarang di mana Ceisya? Apa gadis itu bersalah setelah Ramon memarahinya?" tanya Ibas penuh percaya diri.

Sentari diam. Tidak tahu harus menjelaskan pembicaraan dari mana. Ia pun berpikir keras untuk mengalihkan topik masalah.

"Berapa biaya perawatan di rumah sakit dan sewa preman?" 

Ibas menghitung semua pengeluaran. "Sepuluh juta."

Dalam hati, Sentari bersorak. Ia masih punya sisa uang pemberian Ramon. Wanita ini langsung mengambil ponsel dan segera mengutak-atik ponselnya.

"Sudah aku transfer sebelas juta."

Ibas terbelalak. "Uang siapa?"

"Pastinya bukan uang aku. Melainkan uang Ramon."

"Kelebihan satu juta."

"Tidak apa," balas Sentari karena masih untung banyak.

"Apakah Ramon memarahi Ceisya gara-gara hal ini?" Ibas kembali mengulang pertanyaan karena tadi belum ada jawaban.

"Iya. Ramon mengusirnya." Sentari memasang wajah datar.

Bukan main terkejutnya mendengar akan hal itu. "Apa? Gadis itu diusir oleh ayahnya?"

Sentari mengangguk.

"Tidak mungkin." Ibas belum bisa percaya.

"Ya. Ceisya sudah pergi. Sekarang tidak ada lagi yang mengganggu aku untuk menguasai harta Ramon."

Raut wajah Ibas tidak bahagia. Tidak seperti wajah Sentari saat ini.

"Kenapa malah sedih? Bukankah ini tujuan utama kita dengan menyingkirkan Ceisya? Kita tidak akan lagi hidup susah. Kamu tidak perlu lagi kerja keras di proyek." Sentari berbicara panjang lebar.

"Aku terlanjur jatuh cinta kepadanya," ujar Ibas secara lirih.

Sentari sekarang menjadi merasa bersalah karena dia adalah dalang dibalik ini semua.

"Sekarang tunjukkan kepada Ceisya jika kamu peduli dan perhatian kepadanya, di saat orang tua menyuruhnya pergi."

"Di mana sekarang aku harus mencari dia?" Ibas bingung. Apalagi fisiknya yang sekarang sedang babak belur.

"Ceisya pergi tanpa membawa mobil. Mungkin saja dia belum jauh dari kota ini."

Tanpa permisi, Ibas langsung berlari meninggalkan Sentari.

"Semoga kalian tidak bertemu," ucap Sentari kepada diri sendiri.

***

Seorang gadis sedang menempelkan ponsel di telinga sebelah kanan. Wajahnya sangat murung.

"Jadi aku tidak bisa tinggal di tempat kamu hanya beberapa hari saja?"

"Maaf, Sya. Rumah aku sempit dan tidak ada kamar kosong. Kalau kamu mau nanti aku minta izin kepada bibi. Kebetulan di rumah dia ada kamar kosong."

"Tidak, Ya. Aku bisa cari kos dengan harga murah. Terima kasih." Ceisya menutup teleponnya.

Sudah tiga jam berjalan tanpa arah. Awalnya Maya yang bisa membantunya, tetapi ternyata tidak. 

Mana uang tinggal beberapa lembar saja. Entah cukup untuk hari ini atau malah kurang.

Jalan terakhir adalah menghubungi Rayanka. Siapa tahu dia bisa membantunya. Komitmen dari Rayanka adalah hubungan mereka hanya melalui chat, tidak ada telepon atau pun video call.

Namun, hari ini Ceisya memberanikan diri untuk video call Rayanka.

"Angkat. Aku mohon," pinta Ceisya yang sudah buntu.

Di luar dugaan, Rayanka di seberang tanpa sengaja menekan tombol panggilan telepon. Alhasil mereka saling terkejut melihat wajah mereka masing-masing. Terutama Ceisya yang kedua lututnya mendadak lemas karena di layar telepon menampilkan laki-laki yang sangat tampan.

"Ada apa menelepon?" tanya Rayanka enggan melihat wajah di sana. Sebenarnya ini bukan pertama kali karena Ceisya sering mengirimkan foto gadis itu.

"Ray, tolong jemput aku. Ayah telah mengusir aku dari rumah. Aku tidak tahu harus kemana."

Rayanka mendengar jika gadis yang amat dicintainya sedang menangis terisak.

"Aku tidak bisa menolong atau menjemput kamu."

Bukan main terkejutnya Ceisya mendengar akan hal itu. "Ray? Please? Jemput aku. Aku tidak tahu harus berlindung kepada siapa. Ibas bisa kapan saja menangkapku."

Rayanka menghirup napas panjang dan menatap gadis yang tengah bersedih. "Maaf. Aku tidak bisa. Aku mohon setelah ini jangan menghubungi aku lagi."

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status