Sentari segera menjauh dari Ceisya. Wajahnya masih pucat dan otaknya tidak bisa digunakan untuk berpikir. Biasanya Ramon akan mengabari kalau hendak pulang ke rumah.
Jangan-jangan Ramon mendengarkan pertengkaran dengan Ceisya, pikir Sentari dalam hati.
Kalau iya, pasti setelah ini Sentari akan didepak dari rumah ini karena Ramon sangat menyayangi anak tunggalnya.
"Kenapa ponsel kamu tidak bisa dihubungi?" tanya seorang ayah kepada anaknya dengan penuh nada kekhawatiran.
"Tiga hari ayah menanyakan kamu mau makan apa, tetapi pesan itu tidak terkirim," lanjut Ramon berusaha mendekat kepada dua orang perempuan yang masih mematung karena kehadirannya.
"Aku ...," ucap Ceisya bingung. Jangan sampai keceplosan menjawab kalau ponsel ditahan oleh ibu tirinya. Gadis ini pun mencari cara seribu alasan yang tepat agar ayahnya tidak menaruh kecurigaan.
"Iya. Mana ponsel kamu?"
Ramon mendadak bingung. Pasalnya, Ceisya adalah orang yang tidak bisa jauh dari ponsel. Apalagi sejak istri Ramon meninggal, Ceisya selalu memandangi foto-foto almarhumah mamahnya.
"Ada. Aku lupa mengisi baterai." Terbersit rasa bersalah karena terpaksa harus berbohong kepada ayahnya.
"Kenapa lupa mengisi baterai sampai berhari-hari? Apa ponsel kamu rusak? Atau jangan-jangan dicuri orang?" tuduh Ramon yang mencium kecurigaan.
Bulu kuduk Sentari merinding. Ia tidak bisa membayangkan kalau Ceisya mengatakan sebenarnya.
"Enggak. Ada kok. Ayah tenang saja." Ceisya berusaha mengusir ketegangan ini. "Nanti aku segera isi baterai ponsel."
"Baiklah," jawab Ramon sedikit kecewa. Padahal tadi ia sudah mengirimkan foto-foto pastry kesukaan Ceisya. Anak tunggalnya sangat menyukai kue jenis itu.
Tatapan Ramon sekarang tertuju kepada Sentari. "Terus kenapa kamu ada di sini?"
Sentari mulai panik. Ia memang jarang mengunjungi kamar ini kecuali Ceisya yang memintanya.
"Aku ...," balas wanita itu terbata-bata.
Sementara itu, Ceisya hanya bisa memalingkan wajah karena sudah lelah mendengarkan alasan apa yang akan keluar dari mulut wanita itu. Pasti selalu berbohong.
"Aku hanya mengecek kenapa Ceisya tidak keluar dari kamar. Dia sama sekali belum sarapan. Aku hanya khawatir kalau dia sakit." Sentari mencoba menampakkan muka memelas agar Ramon percaya.
Ayah Ceisya menatap putrinya. Wajahnya yang tanpa riasan memang terlihat pucat. Pria itu mendekat dan menempelkan telapak tangan pada dahi, kemudian tangan Ceisya. Bukan terasa hangat, melainkan sangat dingin seperti es.
"Kamu sakit?" tanya Ramon sedikit curiga.
Gelengan lemah dari kepala Ceisya. "Tidak. Aku hanya sedang sibuk mengerjakan tugas kuliah."
"Makanlah dulu! Kita makan siang bersama."
Kalau ayahnya sudah memberikan mandat seperti itu, mau tidak mau Ceisya harus menurut.
"Ayo kita makan! Mamah eh Tante sudah masak sop iga, sambal goreng hati, sama oseng bihun kesukaan kamu." Sentari berkata dengan bangga.
Semoga tidak diberi racun, batin Ceisya.
Benar saja di meja makan sudah tersedia makanan yang disebutkan oleh Sentari. Itu semua adalah makanan kesukaan Ceisya, tetapi perempuan itu ragu untuk memakannya.
Sentari dengan telaten menyiapkan piring dan menuang gelas dengan air minum. Di depan Ramon, Sentari akan berbuat baik seperti bidadari.
Wanita berusia kepala empat menatap suaminya yang sedang menyeruput kuah sop hangat.
"Sepertinya kamu tampak kelelahan. Akan aku ambilkan vitamin seperti biasa."
"Ya. Entah kenapa badanku semakin ke sini semakin letih. Oleh sebab itu aku pulang lebih awal. Untung direktur mengizinkan," balas Ramon merasakan daya tubuhnya semakin lemah.
Istri Ramon diam-diam tersenyum. Ia pun langsung pergi mengambil obat yang selama ini di simpan rapi.
Ceisya yang sedari tadi hanya minum, mulai berpikir sejak kapan ayahnya yang biasa kuat mendadak letih seperti ini. Sejak kapan pula ayah Ceisya mengkonsumsi vitamin.
"Apa ayah baik-baik saja?" tanya Ceisya dengan nada sangat khawatir.
Pria itu berdehem. "Aku tidak apa-apa. Mungkin tubuhku saja yang minta diistirahatkan."
Ceisya yang hendak bertanya lagi tiba-tiba ditahan karena kehadiran ibu tirinya. Wanita itu membawa sebutir kapsul.
"Minumalah! Setelah ini harus istirahat!"
"Terima kasih," jawab Ramon menuruti perintah istrinya.
Melihat Ramon yang mulai berdiri dari kursi, Ceisya ikut bangkit.
"Ayah aku izin pergi keluar sebentar," tutur Ceisya minta izin.
Kening Ramon berkerut. "Ke mana?"
"Ada tugas bersama Maya."
"Baiklah. Tapi pulang jangan terlalu malam."
"Baik, Ayah."
"Mau diantar sama sopir Ayah atau bawa mobil sendiri?"
Ceisya berpikir sejenak. Tujuan kepergian kali ini adalah untuk sedikit menenangkan pikirannya.
"Bawa mobil sendiri saja."
"Baiklah. Hati-hati." Ramon berjalan beberapa langkah, kemudian berputar kembali dan bertanya, "Apa uang saku masih cukup?"
Sentari langsung memasang wajah tidak suka. Ceisya tahu kalau mendapatkan tatapan seperti itu. Sayangnya, Ayah tidak tahu bagaimana rupa istrinya sekarang.
"Masih cukup."
Ramon berbalik menuju ke kamar. Kepalanya semakin berat setelah minum obat itu.
Sementara itu, Ceisya langsung berganti pakaian dan segera menyambar tas. Ada banyak yang harus ia bicarakan bersama Maya.
Dari balik jendela, Sentari diam-diam melihat kepergian Ceisya. Ia pun segera mengambil ponsel untuk menelepon seseorang.
"Dia barusan pergi. Tetap ikuti ke mana dia pergi. Kalau bisa dia tidak boleh pulang lagi ke rumah ini.
***
Tujuan pertama Ceisya adalah membeli ponsel baru. Ia sangat butuh itu. Ia perlu berkomunikasi dengan Maya, teman-teman kampus dan juga Rayanka. Lebih enak chat di aplikasi W******p, dibandingkan harus berkirim email. Sudah seperti orang kantoran saja.
Tujuan pertama selesai dan tujuan kedua adalah menemui Maya di rumahnya. Menjemput gadis itu kemudian mengajaknya jalan-jalan.
"Untuk apa kamu menemuiku?" sindir Maya sambil memainkan kemasan minuman rasa vanila latte.
"Ada yang banyak aku ceritakan." Ceisya memasang wajah sangat serius.
Namun, Maya mengabaikan rasa keseriusan sahabatnya dengan lebih menikmati minumnya. "Sudah berapa ratus kali aku chat kamu. Sudah seperti mati saja sampai tidak menghidupkan ponsel."
"Bukan seperti itu," seloroh Ceisya menarik tangan kanan Maya. Alhasil minuman tumpah beberapa tetes mengenai baju Maya.
"Sorry." Dengan sigap, Ceisya mengambil beberapa lembar tisu untuk diserahkan kepada Maya.
"Ponsel aku disita nenek lampir," ucap Ceisya membuka percakapan.
"Maksud kamu itu ibu tiri kamu?"
Ceisya menangguk dengan mantap. "Iya. Dia yang sita ponsel aku."
"Karena alasan apa?"
"Seperti biasa."
"Kamu harus nikah dengan Ibas?"
Ceisya kembali mengangguk. Maya adalah orang yang tahu segala tentangnya.
"Tapi kamu masih bertahan sama pacar khayalan kamu itu?"
"Ya."
"Sadar, Sya. Aku takut kamu jatuh sama orang yang salah." Maya sangat mengkhawatirkan Ceisya. Apalagi sejak awal chat dengan Rayanka.
"Aku lebih takut jatuh kepada orang yang salah seperti Ibas. Rayanka nyata. Dia ada untuk aku." Diam-diam Ceisya tersenyum mengingat kedekatan dengan Rayanka.
"Kalau dia gentle pasti akan menemui kamu."
"Dia pernah berkata kalau menunggu waktu yang tepat."
"Sampai kapan? Ini sudah setahun. Sudah dengan siapa saja kamu dikenalkan keluarga Rayanka? Ibu? Ayah? Adik atau kakak?"
Ceisya lebih suka menggeleng.
"Itu artinya dia sedang membohongi kamu, Sya."
"Tidak. Dia tidak mungkin berbohong." Ceisya dengan penuh percaya diri.
"Please, Sya. Kamu harus percaya sama aku. Kalau dia sayang sama kamu pasti akan datang ke hadapan ayah kamu."
Tidak ada balasan dari bibir Ceisya.
Maya memegang kedua tangan sahabatnya. "Maaf. Aku tahu kalau kamu sangat mencintai dia. Apalagi dia cinta pertama kamu. Ajak dia ketemu sama kamu. Akan aku temani kamu saat ketemu sama dia."
"Apa pantas seorang perempuan menyuruh laki-laki untuk datang kepadanya?" Ceisya mulai ragu.
"Pantas karena kamu butuh kepastian. Bukan omongan atau janji palsu."
Keraguan menyelimuti hati Ceisya.
"Apa perlu aku yang telepon Rayanka?" tawar Maya.
"Tidak. Terima kasih. Aku saja." Rayanka pasti akan marah jika Ceisya melibatkan orang lain.
"Oke. Kapan pun kamu ketemu sama dia maka aku akan mendampingi kamu."
"Thanks."
"Sama-sama. Aku cabut dulu, ya?" Maya mengemas tas dan minuman.
Kening Ceisya berkerut. Padahal hatinya tenang ketika bersama Maya. Kalau tidak di sini pasti Ceisya mau tidak mau pulang ke rumah dan kembali berurusan dengan Sentari.
"Kemana?"
"Apa kamu lupa kalau jadwal aku adalah jumpa dengan artis yang tampan itu?"
"Angkasa?"
"Bukan Angkasa. Tapi Aksa."
"Sama saja."
"Beda, Sya. Artis satu ini sangat ganteng. Jomblo pula."
"Lantas kamu mau apa? Jadi pacarnya?"
"Kalau dia mau maka tidak apa-apa," balas Maya dengan penuh antusias.
"Dia yang rugi pacaran sama kamu."
"Aku cabut, ya? Aku mau di barisan paling depan." Maya berlari di pinggir trotoar.
"May? Tunggu!"
Gadis yang sedang terburu-buru langsung menengok ke arah Ceisya. "Apa?"
"Punya kenalan teman yang ahli obat-obatan gitu?"
"Untuk?"
"Aku curiga dengan ibu tiri aku yang setiap hari memberikan obat-obatan untuk ayah."
"Nanti aku carikan."
"Terima kasih," ucap Ceisya sambil melambaikan tangan ketika Maya memasuki sebuah taksi.
Ceisya lama merenung di trotoar sampai ada orang yang menarik tangannya dengan kasar.
Dengan gerak cepat, Ceisya langsung menatap ke arah tangannya yang masih merasa dicekal."Kamu? Lepaskan!" Ceisya langsung menggerakkan tangan ke atas dan bawah. Berharap cekalan di tangan terlepas."Tidak baik seorang perempuan keluyuran di jalanan sendirian."Ceisya langsung melengos, meski tangan laki-laki itu masih menyentuh kulit mulusnya."Lebih tidak baik lagi jika laki-laki yang tidak dikenal tiba-tiba langsung mencekal tangan perempuan," sindir telak Ceisya."Oh, maaf." Ibas sadar diri dan langsung melepaskan pergelangan tangan Ceisya. Kedua mata laki-laki itu membulat ketika melihat pergelangan tangan Ceisya berwarna merah. Mungkin karena terlalu erat menggenggamnya."Mau apa kamu kemari?" Ceisya merasa tidak nyaman karena Ibas selalu mengikuti langkahnya. Padahal ia sudah berjalan beberapa langkah. Sial. Mobil diparkir terlalu jauh."Hanya ingin ketemu sama kamu."Ceisya mengentakkan kaki. "Maaf aku tidak ada keperluan dan urusan sama kamu." "Aku hanya ingin memastikan kam
"Aku tidak tahu. Aku tidak ketemu sama Ibas." Ceisya menyembunyikan perubahan wajahnya agar tidak diketahui oleh Sentari.Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Ceisya. Sikap Sentari memang di luar dugaan."Apa yang kamu lakukan," tutur Ceisya sambil memegang pipinya yang sangat sakit. Pasti kulit di pipi berwarna merah.Ini adalah perbuatan tidak menyenangkan yang dialami pertama kali oleh Ceisya. Ayahnya saja tidak pernah melakukan hal seperti ini. Kenapa Sentari yang merupakan adalah orang lain berani melakukan ini?""Pelajaran buat kamu agar jangan kurang ajar," balas Sentari dengan penuh penekanan di setiap katanya. Ia sangat menjaga kata-katanya agar tidak mengganggu istirahat Ramon."Siapa yang kurang ajar?" Ceisya mulai berani menentang Sentari. "Perbaiki dulu sikap kamu sebelum bicara."Sentari mulai meradang. Emosi yang ia tahan, akhirnya lepas kontrol."Dasar anak tidak tahu diri!"Ceisya melipat kedua tangan di depan dada. "Apa? Anak? Siapa yang jadi anak Tante?"Tangan m
Koper kecil yang biasa tergeletak di atas lemari, terpaksa diturunkan Ceisya untuk mengemasi pakaian yang akan dibawa.Beberapa pakaian dilempar kasar di atas koper yang sudah terbuka. Kali ini Sentari merasa di atas awan karena sudah berhasil membujuk Ramon. Ceisya merasa kesal, sedih, marah dikarenakan ayahnya lebih membela wanita itu dibandingkan anaknya sendiri.Ditarik koper sampai roda berputar. Saat membuka pintu, Ceisya masih melihat kedua orang tuanya di ruang tengah. Sayangnya, Ayah Ceisya masih perang batin dan memilih memalingkan wajah saat anaknya berdiri dekat dengan dirinya.Ceisya menatap ayahnya yang masih tidak mau melihat ke arah dirinya."Jika ini memang keputusan ayah, aku akan pergi dari sini."Suara Ceisya terdengar parau seperti orang hendak menangis. Setelah ditunggu beberapa detik, ternyata tidak ada balasan dari Ramon."Sampai kapanpun, aku akan menunggu ayah meminta maaf jika tuduhan yang ayah berikan kepada aku itu tidak benar," lanjut Ceisya menarik koper
Telinga Ceisya bergetar hebat dengan kata-kata Rayanka yang menginginkan perpisahan tanpa alasan. Kelopak mata bagian bawah milik Ceisya terasa sangat berat. Buliran bening sudah meronta-ronta untuk dilepaskan. "Apa aku tidak salah dengar?" Ceisya terbata-bata mengatakan hal itu. Ponsel juga ditekankan lebih kuat dengan telinga. Suara embusan napas Rayanka di seberang sana terdengar kuat. "Tidak. Kamu tidak salah dengar." Ceisya mundur beberapa langkah. Sampai pada akhirnya tubuhnya jatuh pada kursi di taman kota. Lampu taman terlihat temaram, layaknya ikut meratapi kesedihan yang dialami Ceisya. "Ray? Apa kamu sedang ada masalah? Jika iya, tolong katakan! Siapa tahu aku bisa bantu kamu," pinta Ceisya penuh harap "Tidak. Kamu salah. Aku baik-baik saja. Aku sedang tidak ada masalah." Ceisya berpikir cepat. "Apa kamu sedang sakit?" "Aku sehat," balas Rayanka memalingkan wajahnya karena Ceisya di sana menatap dengan intens. Ceisya hanya bisa menatap wajah Rayanka dari jauh. Laki
Ibas berjalan kesana kemari sambil menunggu sang Tante datang. Mereka sudah janjian di taman pinggir kota. Benar saja, dalam waktu lima menit datanglah wanita yang menjadi ibu sambung Ceisya. "Ke mana perginya gadis itu?" tanya Ibas kepada Sentari. "Aku sudah mencari sampai ke tempat sahabat Ceisya, tetapi tidak ada." Sentari memasang wajah biasa saja. Entah kenapa Ibas terlalu ambisi dengan anak angkatnya. "Kamu bisa cari lagi sampai ketemu," balas Sentari. Ibas naik pitam. "Harus cari ke mana lagi? Apa perlu teman satu kampus harus aki datangi satu per satu?" Tatapan Ibas sekarang tertuju kepada Sentari. "Apa kamu sengaja melenyapkan Ceisya selamanya?" Sentari panik. "Tidak. Aku hanya memberi pelajaran agar gadis itu menurut saja." "Buktinya sekarang Ceisya pergi entah ke mana." "Besok kita cari bersama. Hari sudah larut malam." Ibas mendengkus kesal. "Keburu gadis itu pergi menjauh." Laki-laki usia matang hatinya sangat kecewa dengan tantenya. Padahal perjanjian awal akan
Ceisya merasakan kesakitan di bagian kepala. Dengan mata yang masih terpejam, pelan-pelan tangan meraba ke bagian kepala dan menemukan perban melingkari kepala. Gadis itu pun panik dan segera membuka mata. Saat sudah siuman, Ceisya tidak merasakan lembabnya tepian sungai dan tidak juga terdengar arus. Ruangan yang sekarang ditempati Ceisya berwarna putih dengan bau obat-obatan yang sangat menyengat hidung. "Aku di mana?" Ceisya mengubah posisi dari terlentang menjadi duduk di tepi tempat tidur. Tubuh Ceisya sangat sakit, terutama di bagian kaki. Mata pun menatap ke bawah. Benar saja, terdapat luka. Namun, luka itu tidak parah. Ceisya pelan-pelan mengingat apa yang sudah terjadi menimpa mereka. Ia telah membuat seseorang celaka karenanya. 'Oh jadi seperti ini rumah sakit di penjara?' batin Ceisya karena ia berada di ruangan sendiri. Tidak ada satu pun pasien yang berada di ruangan ini kecuali Ceisya. Gadis yang masih melamun dikejutkan dengan suara pintu yang terbuka. Di sana buk
Ceisya merasa ketakutan hebat ketika berhadapan dengan pasien yang belum membuka mata.'Bagaimana aku membayar ini semua? Bahkan aku tidak membawa uang sepeser pun. Bagaimana kalau Kaivan melaporkan ini semua ke polisi?'Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui Ceisya. Baru kali ini merasakan ketakutan yang luar biasa. Mengalahkan ketika berhadapan dengan Ibas atau pun Sentari.Jika waktu kejadian, Ceisya melihat Kaivan secara samar-samar. Sosok sekarang lebih terlihat jelas. Laki-laki berperawakan tinggi, memiliki kulit putih, rambut sedikit berwarna cokelat, tetapi tidak menghapus ketampanan.Tangan Ceisya meraih tangan yang terhubung selang infus. "Aku minta maaf."Seharusnya Ceisya yang berada di IGD. Terbujur tidak sadarkan diri, bukan Kaivan.Melihat Kaivan yang belum membuka mata, Ceisya semakin didera rasa bersalah. Ia pun berniat keluar dari ruangan yang membuatnya semakin bersalah.Ketika Ceisya membuka pintu, sosok gadis itu sangat terkejut. Di depan sana terdapat rombon
Randi mendengkus kesal. Percuma seharian mengkhawatirkan Kaivan jika pada akhirnya laki-laki itu malah lebih peduli kepada perempuan asing."Huft. Seharusnya kamu lebih mengkhawatirkan masa depan kamu," sindir Randi.Sementara itu, Ceisya yang berada di belakang Randi hanya bisa menggigit bibirnya sendiri. Sepertinya Kaivan belum menyadari keberadaan Ceisya."Di mana perempuan itu? Cepat katakan!" Kaivan sampai menyingkap selimut dengan logo rumah sakit.Kaivan hanya bisa menelan pahit setelah mengetahui apa yang terjadi dengan kakinya. Penuh dengan perban. Sia-sia perawatan pedicure dua hari yang lalu. Andai Kaivan tidak menolong gadis itu. Andai Kaivan tidak jatuh pasti sudah bisa bergerak bebas."Tahu sendiri kan sekarang kalau kamu tidak bisa jalan?" Randi paham apa yang sedang dipikirkan aktor tersebut."Jawab pertanyaan aku tadi!" Ceisya yang sudah panas dingin tidak bisa berkutik."Oh. Ternyata kamu lebih mementingkan perempuan itu, dibandingkan dengan masa depan kamu sendiri.