Share

Bab 2.

“Dik, sebentar lagi akan ada yang kirim lemari sama kasur ya. Baru setelah itu kita pergi belanja,” kata Mas Bayu sambil menurunkan barang-barang dari taxi online yang kami sewa. 

Sebenarnya kami hanya membawa dua koper tas isi baju-baju kami, dan beberapa dus isi beberapa barang yang aku punya di kosan lama dan beberap kado-kado pernikahan kami. 

Mas Bayu membawaku mengontrak di rumah petak. Aku tidak tahu kenapa. Aku pun tidak bertanya. Khawatir dia tersinggung. Bagaimanapun aku sekarang tahu posisiku di hatinya. Dia masih bersedia mengontrakkan rumah buat kami saja, aku sangat bersyukur. 

Mas Bayu sudah selesai menurunkan barang-barang kami. Dia menumpuk barang-barang kami di pojok, sedangkan aku mengamati rumah yang baru saja kami masuki. Rumah dimana aku akan menghabiskan waktu di awal-awal pernikahanku ini. 

Rumah petak yang kami tinggali terdiri dari tiga sekat. Petak pertama, sepertinya cocok untuk menerima tamu dan aktifitas utama kita lainnya. Petak kedua berukuran lebih sempit, bisa untuk ruang tidur. Dan petak ketiga adalah kamar mandi, yang depannya ada sedikit sisa ruang untuk dapur. 

“Kamu nggak papa kan, kita tinggal disini?” kata Mas Bayu, tiba-tiba sudah berdiri tepat di belakangku. 

“Oh, nggak masalah,” jawabku pendek. Asal bersamaku, pasti semua terasa indah. Itu dulu! Sebelum aku tahu bahwa hatinya belum menerimaku. Entah apa yang terjadi setelah ini, tampaknya aku harus memupuskan harapanku.

Tak lama, terdengar Mas Bayu menerima telpon seseorang. Kuduga itu adalah orang yang akan mengantar lemari dan tempat tidur yang dia pesan. 

Benar saja, tak lama kulihat beberapa orang menggotong lemari, kasur, kulkas, kipas angin, dan tabung gas. 

Bagimanapun, aku takjub. Dia sudah bisa membeli beberapa benda-benda utama yang kami perlukan. Mas Bayu lalu memberi instruksi dimana akan diletakkan barang-barang itu. 

“Ayo, Dik, kita keluar sekaligus cari makan,” kata Mas Bayu setelah urusan rumah beres. 

“Apa kita kenalan ke tetangga dulu?” tawarnya saat melihat dari balik jendela banyak tetangga yang duduk-duduk di luar rumah. 

“Nanti saja, Mas. Sepertinya siang begini kita tidak bisa membedakan mana penghuni sini, mana tamu,” usulku. 

Ya, kontrakan yang kami sewa memang area padat penduduk. Ada sepuluh pintu yang saling berhadapan dengan dipisahkan gang yang cukup untuk lewat satu mobil. Dan hari ini memang terlihat ramai sekali di depan rumah. Mungkin karena Hari Minggu, orang-orang semua ada dirumah. 

“Mari, Bu,” sapa Mas Bayu ke gerombolan ibu-ibu yang kami lewati. Aku mengikutinya sambil memberikan mengangguk dan memberikan senyuman terbaikku kepada mereka yang melihatku. 

“Motor Mas masih di kosan Mas yang lama. Besok sepulang kerja sekalian Mas ambil,” katanya seperti menjawab penasaranku. 

Kami berjalan menyusuri gang. Sesekali kulihat Mas Bayu bertegur sapa dengan orang yang dilewatinya. Ini lah salah satu hal yang dulu membuatku jatuh cinta padanya. Sikapnya yang ramah ke semua orang. Baik yang dikenalnya, ataupun tidak. 

Yang aku tidak tahu, kenapa Mas Bayu memilih mengontrak disini? Apakah uang gajinya tidak cukup untuk mengontrak di kontrakan yang letaknya lebih strategis? Padahal, aku bisa saja menawarkan gajiku untuk berbagi jika dia mau. Tapi ya sudahlah. Mungkin nanti aku akan tahu. 

Kami berdua naik angkutan umum. Aku tidak tahu, apakah Mas Bayu memang terbiasa naik angkutan umum? Sepertinya, dia sudah hafal daerah sini. 

Kami berdua pergi tanpa kata. Aku tak tahu harus bertanya apa. Aku takut dia akan tidak menjawab pertanyaanku jika aku mengajaknya bicara. Siapalah aku. Hanya Anita pengagum gelapnya. Biarlah kita berdua sesaat tenggelam dalam kebisuan. 

Angkutan yang kami tumpangi berhenti di salah satu pusat perbelanjaan setelah Mas Bayu memberi aba-aba untuk turun. 

Kami berdua menyusuri pusat perbelanjaan itu. Dan lagi-lagi, Mas Bayu sangat hafal lokasi yang hendak kami tuju. Sepertinya dia audah terbiasa dengan pusat perbelanjaan ini.

“Kita tidak punya alat masak, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Belilah apa yang sekiranya kita butuhkan,” katanya datar setelah kami masuk dan berdiri di salah satu rak yang menjual aneka perabot rumah tangga. 

Aku mengangguk mengerti. Aku sudah terbiasa pindah-pindah kos. Dari kota tempat kuliahku, ke kota ini, tentu saja aku sudah hafal apa yang aku butuhkan. 

“Bawa kartu ini, pin-nya tanggal pernikahan kita. Belilah apa saja yang kamu inginkan. Aku keluar sebentar,” pamit Mas Bayu usai menerima telpon. 

Lagi-lagi Aku hanya bisa mengangguk. 

Entahlah, setelah kata-katanya kemaren, rasanya seperti hambar. Rasa sukaku kepadanya, sepertinya sedikit pudar. 

Aku bergegas mencari tempat barang-barang yang dibutuhkan. Selain perkakas dapur, aku juga membeli perkakas mandi, perkakas bersih-bersih, dan tak lupa bahan makanan dan cemilan. Hingga akhirnya trolly yang aku dorong sudah hampir penuh. 

Kulirik jam yang tertera ponsel. Mas Bayu belum kelihatan. Kuputuskan untuk berlalu dan membayar saja belanjaan ini. Toh, Mas Bayu sudah memberikan kartu ATM nya. 

Kukeluarkan barang-barang dari trolly, lalu satu per satu dipindai oleh Mbak kasir. Tiba-tiba ekor mataku menangkap sosok yang ada di luar supermarket yang berbatas dinding kaca. 

Sosok yang kutunggu-tunggu kedatangannya, sedang asyik ngobrol seorang wanita. 

Dadaku bergemuruh. Tulang-tulang kakiku seolah lolos dari tubuhku. Tapi kutahan. Cepat ku keluarkan belanjaanku dan kupindahkan barang-barang yang sudah di pindai ke tas belanjaku. Sesak rasa dadaku.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status