Share

BAB 8.

Hari Minggu pagi, sehabis Salat Subuh, aku langsung beranjak. Tak seperti biasanya yang bermalas-malasan. Setelah membereskan tempat tidur dan semua isi rumah, aku berencana hendak memasak nasi goreng.

Semua bumbu dan bahan sudah kupersiapkan. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 06.00 pagi. Namun, sejak Subuh, Mas Bayu belum pulang dari masjid. Kemanakah dia?

Hatiku mendadak gelisah. Pikiranku kembali mengembara kemana-mana. Mataku melirik rak yang ada di ruang depan, tempat dia biasa meletakkan ponsel.

Tidak ada.

Sejak kapan dia ke Masjid membawa ponsel? Seingatku, biasanya dia tidak pernah membawa benda pipih itu. Kemana dia perginya? Apakah menemui Sinta? Pikiranku berkecamuk. Hatiku menjadi tidak tenang. Nafas kuhela berkali-kali agar sesak di dada menjadi berkurang.

Aku yang tadi sudah bersemangat untuk membuat sarapan, mendadak seleraku sudah hilang. Setega itukah kamu, Mas?

Aku mencoba menguatkan hati. Namun, entah mengapa justru genangan di mata semakin membuat pandanganku kabur. Teringat Sinta, teringat Mas Bayu. Kenapa hatiku menjadi sesakit ini? Salahkah aku menikah dengan Mas Bayu? Bukankah kita juga tak dapat menentukan takdir kita?

Dengan hati yang tak menentu, aku memilih bangkit dari duduk dan menuju kamar mandi. Rendaman cucian di ember yang biasa dicuci oleh Mas Bayu dapat kujadikan pelampiasan. Kutumpahkan kekesalan ini sambil menyikat baju-baju itu. Sesekali aku tergugu, namun suaranya tersamarkan oleh gemericik air kran. Mata ini juga tak dapat menahan genangan yang sedari tadi ingin tumpah, hingga akhirnya terdengar sapaan dari luar.

“Assalamualaikum.”

Aku tak berkeinginan untuk menjawabnya. Hatiku sudah kembali mengeras. Tangis yang semula kutahan, kini sudah pecah. Entah berapa kali aku mengusap air mata dengan lengan bajuku.

“Dik Anita, kenapa?” Suara Mas Bayu terdengar sangat dekat.

Pria itu berdiri di depan pintu kamar mandi yang sengaja aku buka saat aku mencuci. Dari suaranya, sepertinya dia membawa membawa sesuatu di kantong kresek.

Namun, aku enggan untuk menoleh, meski kutahu sikap ini tak benar. Harusnya aku menyambutnya dengan suka cita. Tapi, sakit hatiku mengurungkan semuanya.

“Cuci tanganmu dulu, Dik. Ayo kita sarapan dulu,” ajak Mas Bayu dengan intonasi suara biasa saja, seolah tak terjadi apapun.

Apakah memang ia tidak peka? Melihatku seberantakan ini, sama sekali tak mengusiknya? Tak mau sedikitpun membujukku? Hanya sekali saja menanyakan aku kenapa?

Dengan menahan kesal, aku menggeleng. Pikiranku masih dipenuhi tanda tanya besar. Kenapa sesiang ini dia baru sampai rumah. Tak menganggapkah aku yang sedari tadi menunggunya di rumah? Kemana saja ia pergi?

Dan kini, ia pulang membawa bungkusan makanan? Kenapa dia tidak mengajakku jika ingin pergi ke suatu tempat? Dengan siapa dia pergi? Apakah dengan 'dia' lagi.

“Ayo, Dik. Nanti keburu dingin, nggak enak. Mas beli nasi uduk,” ujarnya lugas. Justru lebih mementingkan sarapan yang dibelinya dibanding perasaanku.

Hatiku perih. Bahkan, saat aku mau menyiapkan sarapan, kenapa dia malah membeli sarapan. Kenapa dia tidak mengatakan padaku dulu kalau hendak membeli sarapan diluar?

Aku terpaksa menghentikan aktifitas mencuci, karena dua kali dia memanggil. Hanya aku tak ingin menjadi istri yang pembangkang. Meski dalam hati kecil, aku menginginkan dia membujuk dan merayuku, tapi rasanya mustahil. Baru beberapa hari saja, aku sudah bisa tahu kalau Mas Bayu bukan tipe seperti itu.

Aku hanya terpekur saat melihat dia sibuk menyiapkan sarapan kami, mengambil piring dan sendok, lalu meletakkan makanan di ruang depan kontrakan kami.

“Ayo bangun, nanti biar Mas saja yang nyuci.” Mas Bayu mendekat, lalu membimbingku bangun dari posisi dudukku di kursi kecil di kamar mandi.

“Kamu nggak perlu nyuci. Biar Mas aja yang mengerjakan,” katanya lagi sambil memapahku ke ruang depan. Air mata ini masih mengambang. Sesekali aku menyekanya dengan lengan baju. Kata-katanya selalu lembut dan perhatian. Namun, sikapnya justru menyakitkan.

“Ayo kita makan dulu,” ujarnya setelah kita duduk berhadapan di atas karpet di ruang depan. Sikapnya sama sekali tak menunjukkan kalau dia melihatku sedang bersedih. Benar-benar tak peka, ataukah dia sudah mulai terbiasa. Atau dia mulai jengah dengan tingkahku yang sedikit-sedikit menangis?

“Sudah, ayo, jangan menangis lagi.” Mas Bayu mengangsurkan nasi uduk dan ayam goreng dalam bungkusan kertas nasi yang terbuka, dengan beralaskan piring, lengkap dengan sendok.

Aku juga tak ingin menangis, Mas! Teriakku dalam hati. Tapi, kamu yang selalu membuatku menangis. Batinku.

Bahkan, dia tidak berkata apa-apa. Tidak menjelaskan kemana saja dia pergi sepagi ini hingga pulang membawa nasi uduk.

“Ayo dimakan, nanti kamu sakit kalau nggak makan.” Suara Mas Bayu terdengar lagi. Mungkin dia sedang melihatku yang hanya mengaduk-aduk makanan tanpa menyuapnya ke mulut.

Jujur saja, aku sudah kehilangan nafsu makan. Aku ingin tahu dia kemana. Tapi, lidahku sudah kelu untuk menanyakannya.

Namun begitu, dalam hati aku sebenarnya merasa lega karena dia tidak mengajakku. Akupun takut bertemu dengan perempuan itu lagi jika aku ikut keluar. Ah biarlah, apa maumu, Mas. Terserah kamu!

Mataku mencuri pandang ke arah Mas Bayu sudah menghabiskan suapan terakhirnya. Aku tergagap saat dia mengggeser duduknya ke sebelahku.

“Sini. Mas suapin.” Mas Bayu mengambil piring dan sendok dari tanganku.

Aku memberanikan diri menatap wajahnya lekat. Wajah tampan yang dulu dan kini masih aku kagumi ini jelas terlihat sedang berusaha menghindar dari tatapanku. Tak sadar airmata ini kembali meleleh lagi.

Ya Alloh, kenapa ini? Kenapa pernikahanku penuh tangisan? Apa yang salah padaku? Salahkah aku jika mencintainya terlalu dini? Salahkah aku yang sejak dahulu menyimpan perasaan padanya?

Salahkah aku yang selalu meminta kepadaMu untuk mendekatkan dia sebagai jodohku. Apakah aku lancang, ya Alloh. Sok tahu tentang jodohku, dan mendikteMu. Mungkinkah ini teguran dariMu?

Berulang aku bertanya dalam hati. Apa yang salah denganku?

“Ayo, buka mulut.” Mas Bayu menginstruksi dengan lembut. Bahkan, mulutnya ikut membuka, persis seperti sedang menyuapi anak kecil.

Aku tak mengerti dengan sikapnya. Kadang dia terlihat tak peka dan tak berperasaan. Namun tak jarang sangat perhatian seperti ini. Lihatlah, dia memperlakukanku seperti orang sakit yang di ujung kematian, yang jika tidak makan akan mati.

Dia terus membujukku. Padahal, air mataku sedang terurai. Bagaimana mulutku bisa mengunyah makanan?

Mas Bayu meletakkan kembali piring itu di atas karpet tempat kami duduk. Lalu ia menghela nafas. Aku tahu dia kesal. Kesal karena aku tidak mau makan. Tapi, aku bisa apa? Hati ini terlalu sakit, Mas!

Mas Bayu menarik nafas, lalu bangkit ke belakang, entah apa yang hendak dilakukan di sana. Tak lama, dia berujar, “Oh, kamu mau makan nasi goreng ya?” Sepertinya dia melihat bahan-bahan dan bumbu di dapur yang sudah siap dimasak.

“Ayo, Mas bantu memasaknya,” ajaknya sambil membimbingku agar aku bangkit. Wajahnya masih sama, tidak marah. Bahkan mencoba untuk tersenyum manis padaku.

Sebenarnya moodku sudah benar-benar buruk. Tapi, aku nggak mau membuat Mas Bayu kesal sebagaimana perasaanku padanya. Bagaimanapun dia sekarang adalah imamku.

“Sini aku saja. Kamu tinggal bilang saja mana yang harus dikerjain,” katanya sambil menyalakan kompor.

“Maaf ya, Dik. Aku nggak tahu kalau kamu mau masak nasi goreng. Tadi, aku pikir kamu akan kelaparan. Jadi, aku sekalian beli nasi uduk,” ucapnya lagi seraya menuangkan minyak dari botol di atas penggorengan.

Ah aku ngga peduli alasanmu, Mas! aku menggumam dalam hati.

“Ini dulu,” ujarku sambil mengangsurkan copper yang berisi bumbu nasi goreng, saat melihat minyak mulai panas.

Mas Bayu mengangguk. Lalu ia menuangkan bumbu itu ke dalam wajan menggunakan sodet, dan menggongsengnya layaknya chef profesional.

Aroma bumbu nasi goreng menguar dari kontrakan kami.

Aku membantunya menuang bahan-bahan nasi goreng, sedang dia tetap mengaduk-aduknya. Tak lama, nasi goreng buatan kami sudah matang.

“Wah, aku harus sarapan kedua, nih. Pasti nasi goreng buatan kita rasanya lezaaat,” kata Mas Bayu sambil menuangkan nasi goreng itu ke dua buah piring yang sudah aku siapkan.

“Masakan yang dimasak dengan cinta akan selalu lezaaat,” katanya sembari membawa dua piring nasi goreng ke ruang depan.

Satu piring diletakkan di depanku, dan satu lagi di depannya. Ia mulai menyendokkan nasi goreng ke mulutnya.

Aku menatap Mas Bayu yang asyik menikmati sarapan keduanya. Ia makan dengan lahap. Entah dengan perasaan apa. Hatiku masih berubah-ubah. Seperti hatinya yang berubah-ubah.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
jess
tokoh wanitanya lemah
goodnovel comment avatar
Wagiyp Raharti
sulit bukanya gmn ?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status